Ingatan tentang Om Malik yang selalu marah dan ketus ketika dia tidak membereskan rumah. Mungkin Ayah juga seperti itu. Dia ingat ketika minta bando ke Ayah, seperti perkataan ibu dan Om Anton. Tidak boleh merepotkan ayah, nanti ayah tidak menerima dia.Mereka baru bertemu, seharusnya ia tidak minta apapun, bisa bersama Ayah selama sebulan kedepan saja seharusnya dia sudah bersyukur. Jadi, sebenarnya sikap ketus ayahnya kemarin karena dia merepotkan? Pasti karena dia minta bando. Cheril merasa bersalah. Dia harus maaf kepada ayahnya dan tidak akan mengulangi lagi. Apakah jika seperti itu ayahnya akan menerima dia?"Elil mau Ayah." Meskipun kemarin meronta ingin pulang ke ibu, tapi rasa rindunya ke ayah masih begitu besar. Sebenarnya belum ingin berpisah. Apalagi jika pulang tidak tahu kapan lagi bisa bertemu ayah. Dia berjanji akan lebih rajin bersih-bersih dan tidak akan merepotkan. Juga tidak akan minta bando yang mirip punya Zila. Supaya ayah mau menerimanya.Kalau sampai Ayah me
Bagai cahaya yang menyinari dunianya, pelukan hangat dari ayah. Permintaan maafnya, serta bando yang diberikan. Semuanya terasa menghapus rasa sedih dan kecewa. Harapan untuk menghabiskan waktu bersama sampai ramadhan kembali bersinar. Cheril senang dan sekarang memberikan senyum terbaiknya untuk Ayah. "Ayo pulang," ucap Rizal. Cheril mengangguk, bocah itu menoleh ke belakang. Ada Husna yang mengamati mereka. Melihat dengan rasa terharu, lalu memberikan senyum. "Makasih sudah menemani Cheril." Kata Rizal. "Asih Tante.""Sama-sama, kalian hati-hati di jalan."Husna melambaikan tangan, ia ikut terharu melihat ayah dan anak itu mengungkapkan isi hatinya. Rizal mengangkat Cheril, menggendong bocah itu keluar rumah dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya memegang tote bag putih berisi bando. Semalaman tidak tidur, mencari toko yang buka bahkan membangunkan kenalannya. Mencari bando yang diinginkan Cheril, supaya anak itu mau memaafkannya. Tidak disangka malah Cheril yang duluan
Bubur ayam ditambah, tidak terlalu banyak. Mungkin takut tidak habis. Cheril segera makan lagi, menghabiskan bubur ayam dengan lahap.Bi Sarah sudah selesai makan dan membersihkan kulkas sembari menunggu Cheril selesai. Mengeluarkan buah yang sudah tidak segar. Biasa dibungkus untuk dibawa pulang dan mengganti dengan buah baru. Setelah Cheril selesai makan dia mandi, diberikan baju bagus yang dibeli di mall kemarin. Bajunya dari Lampung benar-benar dibuang. "Ayah Non tidak membelikan mainan apapun, ya?" tanya Bi Sarah. Dia mencari sesuatu yang bisa digunakan Cheril untuk bermain. Rambut Cheril sudah disisir, sekarang memakai bando cantik yang ayahnya belikan. Dia memang tidak pernah bermain, jadi tidak tahu harus main apa. "Nonton TV." Kata Cheril.Sewaktu disuruh menunggu Rizal menyuruhnya nonton TV, dia juga suka nonton kartun. Di rumah Om Malik Cheril selalu mencuri kesempatan lihat kartun setiap Zila datang. "Nonton TV terus nggak baik, bentar Bibi carikan mainan."Bi Sarah k
Angin berembus menerbangkan helain rambutku, Mas Malik meminjam mobil kakak iparnya. Kami menuju ke Menggala, kabupaten Tulang Bawang rumah bibi dan pamanku. Besok adalah hari pertama puasa, mau ziarah ke makan orang tuaku sekaligus nenek kakek Mas Malik. Kampung halaman Mas Malik dari pihak Ayah ada di Tulang Bawang. Keluarga Mas Malik kenal dekat dengan paman dan bibi karena orang tua mereka pernah satu sekolah. Lalu memperkenalkan kami, menjodohkan kami yang katanya cocok. "Kenapa ibu nggak mau ikut, Mas?" tanyaku. "Jaga rumah." Mata Mas Malik fokus melihat ke jalan, sebenarnya dia punya motor. Biasanya kami ke Menggala atau ke daerah lain berboncengan. Namun hari ini dia bersikeras untuk meminjam mobil. Katanya takut kandunganku yang sudah memasuki usia ke sembilan kenapa-napa. Perhatiannya terkadang membuatku luluh, berpikir mungkin masih ada kebaikan dan rasa sayang darinya. Melunturkan sikap kasar yang selama ini telah menyakiti perasaanku. "Kalau Bapak, lebaran tahun ini
Sesampainya di rumah paman dan bibi, Mas Malik langsung disambut, garis bawahi bahwa yang disambut hanyalah Mas Malik. Bukan diriku. "Assalamualaikum." Sapaku dan Mas Malik berbarengan."Waalaikumsalam.""Harusnya kemarin kita ke sini, tapi karena repot baru bisa sekarang." Ungkap Mas Malik. Padahal kemarin ketika aku ajak ke sini dia bilang malas berangkat malam saja, biar tidak perlu menginap katanya. Sore ke makam dan langsung pulang. Jadi kami berangkat tengah malam. Dan di sini hanya siang hari. Ibu mertua juga mengomel kalau sampai kami menginap, katanya lebih baik berangkat malam dari pada menginap di rumah orang. "Kami nunggu dari pagi, Bibi sudah masakin gule kambing." Bibi sangat antusias dan senang. Paman dan bibi memiliki dua anak, semuanya kerja di Jakarta. Mereka masih muda dan belum menikah. Bilqis bekerja sebagai SPG dan Nazir sebagai satpam. Pulang ke Lampung hanya saat lebaran. "Makasih, Bik." Kami masuk dan makan siang bersama, shalat dzuhur lalu Mas Malik ng
Bagi Rizal, keluarga adalah sesuatu yang semu. Bagaimana rasanya memiliki keluarga dia tidak tahu. Ingatan tentang orang tuanya yang harmonis tidak ada sama sekali. Hanya bapak yang suka memukul, ibu yang selingkuh dan dirinya yang terus menangis. Lebaran baginya sama saja dengan hari biasa, tidak ada yang harus dia sungkem tangan untuk minta maaf. Ada bunda di panti asuhan. Tapi tidak terlalu dekat. Dia lepas dari panti sejak lulus SMP. Diterima di SMA negeri di Bandar Lampung dengan beasiswa. Lanjut kuliah di UNILA dengan beasiswa juga.Untuk kebutuhan sehari-hari dia bekerja, menghidupi diri sendiri. Dalam kesendirian, tanpa teman karena terlalu sibuk bekerja. Tidak ada keluarga, apalagi pacar. Kesamaan nasib dengan Hana membuat mereka dipertemukan dalam satu lebaran yang berkesan. Saling mengisi makna lebaran hingga lupa bahwa mereka tidak memiliki keluarga. "Aku emang nggak punya keluarga, Kak. Tapi aku janji sama diri sendiri kalau anakku nanti harus lebaran bareng keluarga."
"Ayah angan angis," ucap Cheril. Menghapus air mata Rizal yang terus menetes. Sekarang, apa bedanya dia dengan ibu? Tidak ada. Malah dia lebih buruk, walaupun sudah menemukan ibu yang tengah sakit. Rizal tidak memaafkan dan menemui saja tidak mau. Tapi Cheril, meski sudah ditinggalkan tetap mau memanggilnya 'Ayah' bahkan meminta maaf padahal tidak salah. Juga menghapus air matanya. Rizal berjongkok, dia membawa Cheril ke dalam pelukannya. Erat seperti tidak akan pernah dia lepaskan. "Maaf, maafkan Ayah." Tangan Cheril melingkar di leher Rizal, tidak tahu apa yang membuat ayahnya menangis sampai semua orang di rumah sakit itu mengamati mereka. Satu hal yang Cheril tahu, dia tidak suka ayahnya sedih. Hatinya juga ikut terluka melihat ayahnya mengeluarkan air mata. "Ayah akit?" tanyanya. Mencari tahu kenapa ayahnya bisa menangis sampai segitunya. "Maafkan, Ayah. Maaf, Nak. Maaf." Kalimat itu terus Rizal ulangi dengan derai air mata, berusaha melepaskan beban berat di hati meskipu
Langit sore menampilkan awan hitam, hampir tak ada celah cahaya untuk masuk. Waktu menunjukkan pukul lima, Rizal tidak sabar pulang untuk berbuka puasa bersama Cheril. Dia menumpuk berkas dan menaruhnya di pojok kanan, lalu memasukkan laptop di tas hitam serta beberapa berkas yang akan dikerjakan di rumah. "Mau ke mana?" tanya Yuno. "Pulang, ini kan sudah habis jam kerja." "Kamu nggak mau lembur?""Nggak, terima kasih." Rizal berjalan keluar dari ruangan, tidak menghiraukan panggilan Yuno yang berteriak. Baginya pekerjaan bisa dilakukan nanti, sekarang yang terpenting adalah berbuka puasa bersama putri kecilnya. Lift penuh, dia harus menunggu beberapa menit dan mengantri bersama karyawan lain untuk turun ke bawah. Sesampainya di lobby ternyata Rizal sudah ditunggu Marsha. Gadis bermata cantik dengan rok abu-abu. Terlihat sangat anggun. "Buka puasa bareng, yuk?" Ajaknya. Rizal bingung, dia sudah berjanji akan berbuka puasa bersama Cheril. Tidak boleh ingkar janji. Lagi pula anak