Kalau suka cerita ini jangan lupa dukung lewat vote ya. Info visual ada di Igeh @ka_umay8
Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T
Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.
Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah
Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h
Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J
"Ibu, Elil laper." Ungkap bocah itu sembari memegang perutnya. Aku menatapnya dengan iba, merasa bersalah telah membuat anak yang sebentar lagi berusia 4 tahun berada di situasi ini. Dia yang seharusnya merasakan masa kecil dengan penuh kebahagiaan malah harus menderita bersamaku.Cucian baju masih banyak, ibu mertua tidak akan memberi makan kami jika belum menyelesaikan semua pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, akibat kehamilan yang memasuki usia 8 bulan setengah membuatku tidak segesit dulu. Kami pun jadi sering kelaparan.Padahal sebentar lagi bulan ramadhan, kandungan yang besar pasti semakin membuatku kewalahan. Aku akan sulit mendapat jatah makan untuk Cheril. Apakah aku harus menyuruh Cheril puasa supaya tidak merengek minta makan? "Sabar ya sayang, Ibu beresin ini dulu."Cheril duduk di pojokan dengan wajah murung, terlihat lemas dan kurang nutrisi. Tubuhnya kurus meski dalam masa pertumbuhan. Pintu kamar mandi dibuka dengan keras, terlihat Mas Malik melotot
Lampu kota Jakarta menyala terang, gedung pencakar langit menghiasi pemandangan malam ini. Afrizal melihatnya melalu balkon apartemen. Duduk di sana sembari menikmati secangkir kopi dan cemilan. Tangannya menscrol tablet. Melihat berita yang tengah hangat.Pertama kali masuk ke perusahaan WterSun group, ia menjadi karyawan magang karena harus melanjutkan S2, bukan hanya karena suruhan Yuno, sahabat sekaligus bosnya. S2 di UI memang cita-cita dari dulu. Dia berjuang, mengumpulkan uang. Hingga sekarang sukses lulus S2 dan menjadi sekretaris pribadi presiden direktur WterSun group, Yuno Bagaskara. Handal dan bisa melakukan apapun.Dulu dia hanyalah anak panti asuhan yang miskin, bahkan untuk ikut lomba cerdas cermat saja tidak punya sepatu yang layak sampai dipinjami Yuno. "Aku pulang dulu, sebelum tidur tolong kau cek sekali lagi email dari hacker." Yuno memakai sepatunya, sejak menikah temannya itu tidak pernah lagi menginap di apartemen ini. Membuat hari-hari yang dilalui Rizal sem
Nampan di tanganku jatuh ke lantai, menimbulkan suara keras hingga membuat Ibu mertua berteriak. Pandanganku masih terpaku ke layar televisi. Kak Afrizal sedang menjadi bintang tamu di sebuah acara televisi sebagai perwakilan WterSun Group. Orang yang sampai detik ini masih ada di hati meski aku sudah memiliki suami, walaupun rasa kecewe menggunung tetap tidak tidak mengurangi rasa cinta untuknya. Dia adalah satu-satunya orang yang memperlakukan diriku dengan baik. Plak!Mas Malik memukul belakang kepalaku hingga aku terhuyung ke depan. Hampir jatuh jika saja tidak meraih meja."Kamu ini tidak dengar ibu teriak?" Aku jongkok dan menaruh lututku di lantai untuk mengambil nampan, susah payah berdiri dengan kehamilan yang semakin berat. "Maaf, Mas." "Dasar istri nggak guna," dengusnya sembari berlalu. Cheril berlari ke arahku setelah Mas Malik pergi, di tangan kecilnya ada kain lap. Selama ini Cheril tidak boleh bermain, setiap hari harus bantu beres-beres. Jika tidak maka kami tid