Langit sore menampilkan awan hitam, hampir tak ada celah cahaya untuk masuk. Waktu menunjukkan pukul lima, Rizal tidak sabar pulang untuk berbuka puasa bersama Cheril. Dia menumpuk berkas dan menaruhnya di pojok kanan, lalu memasukkan laptop di tas hitam serta beberapa berkas yang akan dikerjakan di rumah. "Mau ke mana?" tanya Yuno. "Pulang, ini kan sudah habis jam kerja." "Kamu nggak mau lembur?""Nggak, terima kasih." Rizal berjalan keluar dari ruangan, tidak menghiraukan panggilan Yuno yang berteriak. Baginya pekerjaan bisa dilakukan nanti, sekarang yang terpenting adalah berbuka puasa bersama putri kecilnya. Lift penuh, dia harus menunggu beberapa menit dan mengantri bersama karyawan lain untuk turun ke bawah. Sesampainya di lobby ternyata Rizal sudah ditunggu Marsha. Gadis bermata cantik dengan rok abu-abu. Terlihat sangat anggun. "Buka puasa bareng, yuk?" Ajaknya. Rizal bingung, dia sudah berjanji akan berbuka puasa bersama Cheril. Tidak boleh ingkar janji. Lagi pula anak
Semudah itukah Marsha menerima semuanya? Terbuat dari apa hati wanita di hadapannya ini? Sangat lembut tak terkira sampai membuat Rizal tercengang. Apakah Marsha bisa menjadi Ibu sambung yang baik untuk Cheril? Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Rizal membalas genggaman tangan Marsha sembari tersenyum. Mereka melanjutkan makan lalu shalat magrib di masjid tidak jauh dari sana sebelum mengantarkan Marsha pulang. Sementara itu di apartemen, Cheril murung karena ayahnya tidak pulang untuk buka puasa bersama. Dia membantu Bi Sarah membereskan meja makan. Mengelapnya meski Bi Sarah melarang, dia kangen ibu yang mungkin sedang mengelap meja sepertinya. "Ayah Non Cheril sedang sibuk kerja, cari uang untuk Non Cheril. Jangan sedih, besok kan masih bisa buka puasa bareng.""Elil gak suka uang." Seberapa pun uang yang diberikan tidak bisa membeli kebersamaan yang dia inginkan. Padahal kata Ayah, mereka kan menghabiskan waktu bersama. Apakah benar itu bisa terwujud? Pintu ap
Rumah tangga bukan atas dasar cinta, kerinduan yang tak pernah ada. Keharmonisan bagaikan impian semu yang tidak akan terwujud. Kupikir semuanya masih bisa kulalui asal kami tetap saling memiliki satu sama lain. Bagaimana bisa hati ini bertahan jika Mas Malik membawa perempuan lain ke dalam rumah tangga? Istana yang sudah retak kini menjadi hancur. Aku tidak bisa melihat rumah tangga ini bisa diperbaiki lagi. Bagiku, Mas Malik adalah orang kedua setelah Cheril yang paling penting dalam hidupku. Meskipun dia cuek dan kasar, selama ini aku masih berharap bahwa rumah tangga kami akan tetap bertahan. "Hana ini Ratih, Ratih ini Hana. Kalian harus akur." Ungkap Mas Malik ketika Mbak Ratih datang dengan koper besar dan tas ransel.Hari yang aku takutkan itu datang, lebih cepat dari dugaan. Persiapanku belum sempurna. Hanya sempat mengambil foto copy bukti nikah berupa surat-surat yang Mas Malik palsukan untuk menipuku. Dulu, pernikahan bagiku bagikan istana. Ikrar saling setia, sebuah ke
Aku kembali ke kamarku, dekat dengan dapur. Sempit dan kasurnya keras. Sejak dari rumah Paman aku sudah menangis setiap hari. Sekarang ingin menangis lagi air mataku terasa kering. Toh, bukan sekali dua kali menderita. Tas ransel di pojok lemari aku keluarkan, mengemasi barang-barang yang bisa aku bawa pergi. Tempat kaburku hanya kepada Diandra, sekarang dia ada di kota Metro. Hanya satu jam dari Bandar Lampung. Sebelum sahur aku harus pergi ke terminal. "Aku tidak boleh membawa Cheril dalam rumah tangga seperti neraka ini." Foto Cheril ikut aku masukkan ke dalam ransel. Celengan berbentuk ayam aku buka menggunakan pisau, menghitung uang seribuan. Hanya ada tujuh ratus ribu. Biaya persalinan tidak akan cukup, semoga Diandra bisa membantu. Aku tidur hanya tiga jam, jam dua pagi menyelinap keluar dari pintu belakang. Tidak meninggalkan surat apapun. Mereka tidak akan sadar sampai sahur. Berjalan kaki cukup jauh menuju terminal. Jam tiga pagi terminal bus sudah ramai orang, aku memes
Aku tidur sampai dzuhur di rumah orang yang tidak kukenal, kamar yang di atasnya dihiasi pernak-pernik bintang. Foto di nakas menampilkan keluarga dengan seragam baju batik. Sepasang orang tua, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Sempurna sekali keluarga ini. Tidak semua orang diizinkan bahagia seperti mereka, salah satunya adalah aku. Sekalipun sudah berusaha sekuat tenaga memiliki keluarga dan bahagia, nyatanya dari awal aku tidak memiliki apapun dan sampai sekarang tetap tidak memilikinya. Aku keluar dari kamar, belum berkenalan dengan pemilik rumah. Semoga mereka mau mengabulkan keinginanku untuk tinggal selama 3 hari. Itu waktu yang cukup sampai Mas Malik mencariku lewat Diandra. "Kamu sudah bangun, Nak. Istirahat saja, nanti kalau sudah mau buka puasa Bunda panggil."Bunda? Ramah sekali memintaku memanggil bunda. Wajahnya cantik meski memasuki usia separuh baya, memakai kacamata dan bibir yang terus tersenyum. "Aku udah mendingan, Bu." Mataku melihat sekeliling, rum
Aku membantu wanita yang aku panggil bunda itu membuat masakan buka puasa, ternyata beliau tidak terlalu ahli memasak. Dibandingkan denganku yang memiliki mertua dan suami yang suka protes. Bunda hanya masak makanan sederhana. Meskipun demikian, aku yakin suami dan anak-anak Bunda tidak protes. Keluarga ini sangat baik dan sempurna, mereka tidak ada yang menyuruh-nyuruhku, meskipun aku hanya tamu tidak diundang.Baru ini kegiatan masak menyenangkan, si anak perempuan keluarga ini datang ke dapur. Ingin membantu membuat kolak katanya. "Kakak kan hamil, duduk saja. Biar aku yang bantu Bunda." Katanya. Mungkin karena dibesarkan dari keluarga baik-baik, anak perempuan ini juga tumbuh dengan baik. Sekali lagi aku iri. Andai aku memiliki keluarga seperti ini. Setelah berbuka bersama, aku sangat bersyukur karena kepala rumah tangga ini alias ayahnya Kahfi memberi izin tinggal. Aku boleh menempati kamar atas, milik anak pertama. "Tidur sama aku aja, kalau ke kamar atas nanti diapa-apain
Langit mendung, angin berembus kencang menerbangkan dedaunan. Terkadang mengenai mobil yang tengah melaju di jalan tol menuju Magelang, Jawa tengah. Hujan rintik-rintik mulai turun perlahan membasahi bumi.Bagi pengendara mobil gerimis tidak menjadi masalah, namun bagi pengendara motor di jalan kecil samping jalan tol harus berhenti. Memakai setelan jas hujan ataupun payung. Tangan Rizal mengelus rambut Cheril yang tengah tidur di pahanya. Bocah itu nyenyak dalam pangkuan sang ayah. Perjalanan sudah memakan waktu 5 jam, tinggal satu jam lagi sampai ke rumah sakit tujuan. Supir yang disewa menguap, terlihat lelah mengemudi tanpa henti. Matanya melihat ke arah spion dalam. "Pak, kita isi bensin sebentar di pom depan."Rizal tak peduli, pandangan matanya melihat keluar jendela yang sudah basah karena air hujan. Mobil keluar dari jalan tol. Menuju jalan biasa dan mampir ke pom bensin. "Nanti beli makan di depan." Pinta Rizal. Sekarang sudah jam 12 siang, waktunya Cheril makan. Bocah
Pandangannya beralih melihat ke arah luar jendela, hujan masih mengguyur kota Magelang. Pikirannya melayang, perasaan ingin hadir di hidup Hana dan memanfaatkan keadaan ini untuk merebut Hana tiba-tiba muncul. Cheril begitu ingin keluarga lengkap, dia dan Hana bersatu. Apakah mungkin bisa? Itu berarti dia menjadi perusak rumah tangga orang. Walaupun memang rumah tangga itu sedang retak. Terlebih bagaimana dengan Marsha yang sudah dia beri harapan? "Yah, udah." Kata Cheril. Makanan di piring habis tanpa sisa. Hal yang membuat Rizal kagum, biasanya anak seusia Cheril akan pilih-pilih makanan atau menyisakan makanan di piring. Cheril berbeda, dia sangat menghargai makanan. Selesai makan mereka mampir ke mushola, shalat dzuhur sebelum ke rumah sakit. Hujan masih deras di luar. Membuat jalan berlubang tergenangi air. "Yah, sepatu Elil." Bocah itu melihat ke teras mushalla. Sepatunya tidak ada. "Tadi Cheril taruh mana?""Cini."Dia menunjuk sepatu Rizal dan Pak supir. Hanya sepatu mil