Aku tidur sampai dzuhur di rumah orang yang tidak kukenal, kamar yang di atasnya dihiasi pernak-pernik bintang. Foto di nakas menampilkan keluarga dengan seragam baju batik. Sepasang orang tua, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Sempurna sekali keluarga ini. Tidak semua orang diizinkan bahagia seperti mereka, salah satunya adalah aku. Sekalipun sudah berusaha sekuat tenaga memiliki keluarga dan bahagia, nyatanya dari awal aku tidak memiliki apapun dan sampai sekarang tetap tidak memilikinya. Aku keluar dari kamar, belum berkenalan dengan pemilik rumah. Semoga mereka mau mengabulkan keinginanku untuk tinggal selama 3 hari. Itu waktu yang cukup sampai Mas Malik mencariku lewat Diandra. "Kamu sudah bangun, Nak. Istirahat saja, nanti kalau sudah mau buka puasa Bunda panggil."Bunda? Ramah sekali memintaku memanggil bunda. Wajahnya cantik meski memasuki usia separuh baya, memakai kacamata dan bibir yang terus tersenyum. "Aku udah mendingan, Bu." Mataku melihat sekeliling, rum
Aku membantu wanita yang aku panggil bunda itu membuat masakan buka puasa, ternyata beliau tidak terlalu ahli memasak. Dibandingkan denganku yang memiliki mertua dan suami yang suka protes. Bunda hanya masak makanan sederhana. Meskipun demikian, aku yakin suami dan anak-anak Bunda tidak protes. Keluarga ini sangat baik dan sempurna, mereka tidak ada yang menyuruh-nyuruhku, meskipun aku hanya tamu tidak diundang.Baru ini kegiatan masak menyenangkan, si anak perempuan keluarga ini datang ke dapur. Ingin membantu membuat kolak katanya. "Kakak kan hamil, duduk saja. Biar aku yang bantu Bunda." Katanya. Mungkin karena dibesarkan dari keluarga baik-baik, anak perempuan ini juga tumbuh dengan baik. Sekali lagi aku iri. Andai aku memiliki keluarga seperti ini. Setelah berbuka bersama, aku sangat bersyukur karena kepala rumah tangga ini alias ayahnya Kahfi memberi izin tinggal. Aku boleh menempati kamar atas, milik anak pertama. "Tidur sama aku aja, kalau ke kamar atas nanti diapa-apain
Langit mendung, angin berembus kencang menerbangkan dedaunan. Terkadang mengenai mobil yang tengah melaju di jalan tol menuju Magelang, Jawa tengah. Hujan rintik-rintik mulai turun perlahan membasahi bumi.Bagi pengendara mobil gerimis tidak menjadi masalah, namun bagi pengendara motor di jalan kecil samping jalan tol harus berhenti. Memakai setelan jas hujan ataupun payung. Tangan Rizal mengelus rambut Cheril yang tengah tidur di pahanya. Bocah itu nyenyak dalam pangkuan sang ayah. Perjalanan sudah memakan waktu 5 jam, tinggal satu jam lagi sampai ke rumah sakit tujuan. Supir yang disewa menguap, terlihat lelah mengemudi tanpa henti. Matanya melihat ke arah spion dalam. "Pak, kita isi bensin sebentar di pom depan."Rizal tak peduli, pandangan matanya melihat keluar jendela yang sudah basah karena air hujan. Mobil keluar dari jalan tol. Menuju jalan biasa dan mampir ke pom bensin. "Nanti beli makan di depan." Pinta Rizal. Sekarang sudah jam 12 siang, waktunya Cheril makan. Bocah
Pandangannya beralih melihat ke arah luar jendela, hujan masih mengguyur kota Magelang. Pikirannya melayang, perasaan ingin hadir di hidup Hana dan memanfaatkan keadaan ini untuk merebut Hana tiba-tiba muncul. Cheril begitu ingin keluarga lengkap, dia dan Hana bersatu. Apakah mungkin bisa? Itu berarti dia menjadi perusak rumah tangga orang. Walaupun memang rumah tangga itu sedang retak. Terlebih bagaimana dengan Marsha yang sudah dia beri harapan? "Yah, udah." Kata Cheril. Makanan di piring habis tanpa sisa. Hal yang membuat Rizal kagum, biasanya anak seusia Cheril akan pilih-pilih makanan atau menyisakan makanan di piring. Cheril berbeda, dia sangat menghargai makanan. Selesai makan mereka mampir ke mushola, shalat dzuhur sebelum ke rumah sakit. Hujan masih deras di luar. Membuat jalan berlubang tergenangi air. "Yah, sepatu Elil." Bocah itu melihat ke teras mushalla. Sepatunya tidak ada. "Tadi Cheril taruh mana?""Cini."Dia menunjuk sepatu Rizal dan Pak supir. Hanya sepatu mil
Langit gelap dengan gumpalan awan hitam yang menurunkan hujan, rumput hijau di halaman rumah sakit basah dan tergenang air. Cheril mengulurkan tangan merasakan tetesan air hujan dengan telapak tangannya, matanya mendongak ke langit. Belum ada tanda-tanda bahwa hujan akan berhenti. Kepalanya menoleh ke belakang, tadi Ayahnya menyuruh dia keluar ruangan bersama supir. Menunggu di luar karena harus bicara berdua dengan neneknya. Tidak tahu apa yang dibicarakan sampai dia tidak boleh dengar. "Non Cheril keliling rumah sakit bareng Mbak, yuk." Ajak perawat neneknya yang berjongkok menyeimbangkan tubuh dengan Cheril. Bocah itu tidak kenal, kata Ayah tidak boleh ikut dengan sembarang orang. Nanti diculik. Cheril menoleh ke Seno, supirnya. Pria berkumis itu mengangguk. "Biar saya temani juga," katanya. Setelah mendengar itu Cheril baru mengangguk setuju, dia menerima uluran tangan perawat nenek. Berjalan keliling rumah sakit dan melihat banyak hal. Sementara itu di dalam kamar, suasana
Kali ini Rizal berani menatap mata ibunya, meski terlihat tegar di luar. Hatinya terasa tercabik. Kerinduan yang lama terpendam berubah menjadi kebencian. Pertanyaan yang tersimpan berubah menjadi hardikan. "Kamu... mengalami semua itu?" "Aku bukan anak yatim, kenapa harus tinggal di panti asuhan sampai besar?" tanyanya. Itulah pertanyaan yang sering terlintas di pikirannya, dia sama seperti anak lain. Memiliki kedua orang tua yang lengkap. Tapi kenapa dibesarkan di panti asuhan? Kenapa Tuhan begitu tidak adil padanya. Dia sering menyalahankan semua yang terjadi."Maaf...." Ibunya menangis tersedu-sedu. "Maaf... Anakku. Maaf...." Ibu terus menangis. Air mata Rizal menggenang di sudut matanya, segera dihapus sebelum jatuh. Kalimat maaf dari ibunya terasa menjadi hujan di hatinya yang gersang. Segala pertanyaan dan rasa sakit terjawab. Hidupnya yang gelap tanpa kasih sayang, merasa bahwa tidak diinginkan dan dibuang. Kini dia tahu bahwa sebenarnya ibu menyayanginya. Tidak sepenuhn
Bayi dalam gendonganku menyusu dengan semangat, berjenis kelamin perempuan dengan berat 3,1 kilo gram. Lahir lebih cepat dua minggu dari perkiraan normal. Terpaksa cecar karena ketuban kering. Mungkin karena banyak pikiran dan aku tidak menjaga kondisi tubuh, juga karena stres dengan semua masalah yang sedang terjadi. Bayiku keluar lebih cepat. Aku tahu Diandra sudah berusaha semaksimal mungkin, mengurusku selama seminggu di rumahnya dan menyembunyikan keberadaanku dari Mas Malik. "Ratih pulang duluan, besok akan ke sini lagi. Gara-gara kamu uangku habis." Kata Mas Malik mendengus kesal. "Aku akan berusaha menggantinya, jadi ceraikan aku." Mendengar itu matanya nyalang menatap, seakan bisa memakanku bulat-bulat. Aku memalingkan wajah, melihat ke arah lain dengan embusan napas. Lelah mengatakan hal yang sama berulang-ulang."Aku tidak akan melepaskan dirimu apapun yang terjadi." Ancamnya. Beberapa hari yang lalu, Diandra membawaku ke rumah sakit yang ada di kota Metro. Dekat denga
Pagi harinya aku dikejutkan dengan tamu yang tidak pernah disangka. Berdiri di depan pintu dengan dahinya yang berkerut, melihatku dari atas sampai bawah. Memang penampilanku tidak terurus. Aku cuma pembantu di rumah ini, mana mungkin bisa berdandan. "Hana, apa kabar?" "Kak Afrizal kenapa ke sini? Apa Kakak ingin mengembalikan Cheril? Ini kan belum lebaran." Apa dia tidak menerima Cheril dan mau mengambalikan anak itu? Kupikir Cheril diterima, ternyata tidak. Padahal tinggal seminggu lagi lebaran. Kasihan Cheril yang ingin lebaran bersama ayahnya. Keinginan kecil anak itu tidak bisa terwujud. Miris."Tidak, aku tidak akan mengembalikan Cheril ke sini. Aku hanya ingin bertanya, apa--""Siapa yang bertamu?" tanya Mas Malik. Aku segera menoleh ke belakang. "Masuk dulu, Kak." Aku mempersilakan Kak Afrizal masuk ke dalam, matanya melihat ke sekeliling ruangan sebelum duduk di kursi. Mbak Ratih keluar kamar dengan menggendong anakku. "Anda siapa?" Tanya Mas Malik setelah duduk. "Saya