Share

Kampung Lamuna
Kampung Lamuna
Penulis: Sabrina Nurul fuaddah

Nama Aku Ayuna

Sampai di kampus, aku sudah ditunggu oleh Daffa, Rafael, Vita dan Ilham. Mereka adalah teman aku sejak saat SMA. Kami sudah bersahabat sangat dekat. Dan aku juga tidak menyangka akan satu universitas dengan mereka berempat. 

"Ayuna!" Teriak Daffa. 

"Daffa." kataku sambil menghampiri Daffa. 

"Kenapa kamu terlambat datang? Semua orang sudah berada di kelas." Kata Daffa. 

"Tadi aku terlambat bangun dan mengalami macet saat di perjalanan." Kataku. 

"Begitu, aku sudah menduga itu." Kata Daffa. 

"Ayo kita masuk ke kelas." Kataku. 

Aku dan Daffa masuk ke kelas. Semua mahasiswi melihat ke arahku. Mereka pasti tidak suka aku berada didekat Daffa. Ada dua mahasiswa yang membicarakan sebuah kampung. 

"Kamu tahu tidak ada sebuah kampung yang menakutkan dan berisi banyak keanehan yang terjadi. Di sana ada air putih menjadi merah seperti darah dan makanan juga berubah menjadi ulat bulu dan kaki seribu. Lalu, siang hari menjadi gelap seperti malam dan juga sebaliknya. Yang paling aneh ada suara yang tidak jelas dari mana asalnya." kata mahasiswa itu.

"Benarkah? Menakutkan sekali kampung itu, apa namanya?" tanya mahasiswa lain. 

"Tidak tahu juga dam belum pernah ada orang yang sampai di kampung itu. Karena saat terjebak akan sulit kembali." Kata mahasiswa itu. 

"Begitu." Kata mahasiswa lain. 

Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka berdua. Lalu, Daffa bilang kepada aku. 

"Itu tidak mungkin, mereka masih saja percaya dengan hantu." Kata Daffa. 

"Kamu benar, Daffa." kataku. 

"Ayo ke kelas!" Kata Daffa. 

"Apa aku harus bersama dengan kamu?" tanyaku. 

"Maksud kamu apa, Ayuna?" tanya Daffa. 

"Tidak, hanya aku merasa sedikit tidak enak saja berjalan dengan kamu." Jawabku. 

"Kenapa begitu? Kamu itu sahabat aku, apa salahnya?" tanya Daffa. 

"Kamu itu mahasiswa terhindar di kelas dan pandai bermain musik. Kamu juga idola semua mahasiswi di sini." Kataku. 

"Apa aku idola kamu juga, Ayuna?" tanya Daffa. 

"Apa? Kita itu teman masa aku mengidolakan teman aku sendiri."  Kataku. 

"Artinya kau tidak tampan menurut kamu." Kata Daffa. 

"Tidak, bukan begitu. Kamu tampan karena kamu pria." Kataku sambil tersenyum. 

"Hanya itu saja, tidak ada yang lebih." Kata Daffa. 

"Maksudnya? Sudah, apa kamu sudah mengerjakan tugas kemarin?" tanyaku. 

"Sudah, memangnya kamu belum mengerjakan tugas kamu?" tanya Daffa. 

"Sudah tapi tinggal satu pertanyaan lagi. Ini sangat sulit jadi aku tidak tahu apa jawabannya." Jawabku.

"Kalau begitu aku akan mengajari kamu." Kata Daffa. 

"Terima kasih, Daffa!" Kataku. 

Saat aku belajar bersama dengan Daffa. Vita datang dan langsung ikut belajar dengan kami berdua. 

"Aku juga belum mengerjakan tugas, Daffa." Kata Vita. 

"Kamu pasti sengaja tidak mengerjakan tugas supaya dapat bertanya kepada aku." Kata Daffa. 

"Memangnya salah bertanya kepada sahabat sendiri?" tanya Vita. 

"Tidak juga, aku hanya aneh terhadap kamu. Tapi kamu selalu tidak mengerjakan tugas kuliah. Kenapa?" tanya Daffa. 

"Aku hanya lupa." Kata Vita. 

Ilham berbicara kepada Vita. 

"Vita, aku bisa mengajari kamu pertanyaan itu." Kata Ilham. 

"Tidak perlu, aku hanya ingin dengan Daffa." Kata Vita. 

"Baik." Kata Ilham. 

"Baik, terserah kamu saja." Kata Daffa. 

Ilham terlihat sangat sedih dan aku menghampiri dia. 

"Kamu kenapa, Ilham?" tanyaku.

"Aku bingung, Ayuna." Jawab Ilham. 

"Bingung kenapa?" tanyaku. 

"Aku menyukai Vita tapi aku rasa dia menyukai Daffa. Aku memang jauh dari Daffa. Dia tampan dan pintar. Sedangkan aku hanya pandai membuat puisi itu juga tidak akan bisa membuat Vita tertarik terhadap aku." kata Ilham sambil terlihat sedih. 

"Kamu menyukai Vita?" tanyaku. 

"Benar, Ayuna." Jawab Ilham. 

"Kamu jangan pesimis, puisi kamu adalah puisi yang sangat indah aku saja tersentuh membacanya. Ini sangat bagus." Kataku. 

"Terima kasih, Ayuna!" Kata Ilham. 

"Tidak masalah, apa yang kamu rasakan dapat kamu ceritakan kepada aku. Kita ini sahabat, bukan?" tanyaku. 

"Tentu saja, kita sahabat." jawab ilham sambil tersenyum. 

"Kalau begitu, aku kembali ke tempat duduk aku dulu." Kataku. 

Rafael datang ke kelas dan memberi aku sebuah gambar. 

"Ini untuk kamu, Ayuna." kata Rafael sambil menaruh gambar di atas mejaku.

"Bagus sekali, gambarnya terlihat sangat cantik." Kataku.

"Tentu saja, ini seperti kamu Ayuna." kata Rafael sambil tersenyum.

"Kmau bisa saja, aku cantik. Terima kasih, Rafael!" Kataku. 

"Santai saja, kalau kamu suka atau kan menggambarkan yang lebih bagus lagi." Kata Rafael.

Lalu, semua mahasiswi meminta Rafael untuk menggambarkan wajah mereka.

"Aku juga ingin digambarkan oleh kamu, Rafael." Kata mahasiswi lain. 

"Tidak, maaf aku sangat sibuk." Kata Rafael. 

Rafael langsung kembali ke meja dia. Rafael juga menjadi idola di kelas kami. Daffa dan Rafael membuat aku menjadi sangat sibuk. Karena semua mahasiswi meminta untuk dapat berfoto dengan mereka berdua.

"Kalian memang idola semua mahasiswi." Kataku. 

"Tentu saja, aku memang tampan. Benar, bukan Ayuna?" tanya Rafael. 

"Benar, karena kamu pria." Kataku.

Daffa tertawa dan langsung berbicara kepada Rafael. 

"Rasakan itu." Kata Daffa. 

"Apa maksud kamu, Daffa?" tanya Rafael. 

"Ayuna memuji kamu karena kamu seorang pria." Kata Daffa. 

"Aku juga yakin Ayuna berbicara hak yang sama terhadap kamu, Daffa." Kata Rafael. 

"Tidak." kata Daffa sambil gugup. 

"Benar, kalian berdua memang pria." Kataku. 

"Haha.. Rasakan itu Daffa. Jangan sombong jadi orang." Kata Rafael. 

"Baik, tapi aku jauh lebih baik dari kamu." Kata Daffa 

"Sudah hentikan! Kalian selalu saja bertengkar saat mulai berbicara berdua." Kataku. 

"Dia yang memulai, Ayuna." kata Daffa.

"Tidak salah itu, kamu yang memulai malah menyalahkan aku." Kata Rafael. 

"Sudah sebentar lagi dosen datang ke kelas." Kata Vita.

"Benar, nanti kalian bisa dihukum." Kata Ilham. 

"Diam cupu!" Teriak Daffa. 

"Berisik sekali kamu, Ilham." Kata Rafael. 

"Kalian jangan bicara seperti itu kepada Ilham. Dia berita baik tapi kalian begitu." Kataku dengan kesal. 

"Maaf Ayuna, aku tidak bermaksud seperti itu." Kata Rafael. 

"Benar, Ayuna." Kata Daffa. 

"Jangan meminta maaf terhadap aku tapi Ilham." Kataku. 

"Baik, maafkan aku Ilham." Kata Rafael. 

"Aku juga, Rafael." Kata Daffa. 

"Tidak apa apa." Kata Ilham. 

"Kalian harus mencontoh Ilham, dia bersikap dewasa tidak seperti kalian berdua." Kataku. 

"Apa? Kita harus mengikuti Ilham?" tanya Rafael. 

"Kamu bercanda, bukan?" tanya Daffa. 

"Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan Ilham?" tanyaku. 

"Tidak, hanya saja kami itu berbeda Ayuna." kata Daffa.

"Benar Ayuna, kita tidak dapat seperti Ilham karena dia hebat." kata Rafael. 

"Justru karena hebat kalian berdua harus menirukan sikap dia." Kataku. 

"Ayuna memang suka bercanda." kata Rafael sambil tertawa. 

"Benar, Ayuna lucu banget." Kata Daffa. 

"Apa yang lucu? Tidak ada yang lucu, aku hanya ingin kalian belajar dewasa." Kataku. 

"Sudah kamu hentikan Ayuna, kamu berbicara yang tidak masuk akal." Kata Vita. 

"Kamu juga berpikir seperti mereka berdua?" tanyaku.

"Jelas, Ilham itu bukan pria yang keren. Dia itu cupu. Dan Daffa sudah sangat keren, tidak mungkin dia menirukan Ilham. Jangan membuat aku tertawa, Ayuna." Kata Vita. 

"Kalian keterlaluan terhadap Ilham, aku sungguh kecewa dengan sikap kalian berdua." Kataku. 

"Keterlaluan apanya? Kita bicarakan hal yang benar." kata Vita. 

"Sudah, terkadang kita tidak sepemikiran." Kataku.

Ilham pergi dari kelas. Lalu, aku mengejar Ilham. 

"Ilham! Kenapa kamu lari?" tanyaku. 

"Tidak ada apa apa, mereka benar." Kata Ilham. 

"Tidak, justru mereka itu salah. Kamu berpikir begitu juga?" tanyaku. 

"Benar, harusnya kamu jangan membela aku." Kata Ilham. 

"Kenapa?" tanyaku. 

"Justru aku yang bertanya, kenapa kamu membela aku?" tanya Ilham. 

"Karena kamu teman aku, tidak mungkin aku tidak membela kamu." Kataku. 

"Terima kasih, Ayuna." Kata Ilham

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status