"Pantas." Fajar mengangguk-anggukkan kepala. Dia paham sekali dengan apa yang dikatakan oleh Kafka.
"Saya tau kamu pintar. Gak mungkin seceroboh itu sampai memberitahukan sesuatu tidak penting."
"Nah, itu tau." Kafka menjentikkan jarinya.
"Baik. Saya akan membantu kalau bisa. Kalau saya merasa keberatan, gak bakalan saya bantu."
Kafka menoleh ke aku. Dia kemudian mengangkat bahu. Menatap Fajar dalam-dalam.
Beberapa detik diam, Kafka akhirnya mengangguk.
Adikku itu memberitahukan semua rencananya. Sementara Fajar menyimak. Kami juga ikut menyimak, tanpa memotong penjelasan Kafka sedikit pun.
"Ah, cerdas sekali." Fajar menggelengkan kepalanya. "Sayangnya, umur kamu belum mencukupi. Bisa-bisa, saya yang kena masalah."
"Begitu." Kafka menganggukkan kepala. Dia menatap Fajar serius sekali.&nbs
"Serius pernah kesana?" tanya Kafka mulai tertarik mendengar kata-kata Fajar barusan."Ya. Pernah kesana. Lumayan tau soal detail tempatnya.""Ah, bagus sekali. Nyariin siapa yang tau, ternyata orangnya ada di sini."Kafka nyengir. Dia menjentikkan jarinya. Terlihat senang sekali."Oke—"Bang Tirta lebih dulu menarik tangan Kafka. Dia juga ikut menarik lenganku, mau ngapain, sih? Kan sudah mau berangkat. Apa harus pakai adegan bertengkar dulu?Haduh, aku tidak paham dengan pola pikir mereka berdua."Apaan sih, Bang?" tanya Kafka kesal. Dia melepaskan genggaman tangan Bang Tirta, kemudian mendelik padanya."Jangan asal masukin orang, dong. Iya, kita tau kalau si Fajar itu pengacara. Tapi dia gak bisa terlalu dipercaya juga, kan? Sahabat bisa jadi musuh, lho, Kaf."Aku
"Fajar! Udah lama gak ke markas ini!"Aku memperbaiki posisi duduk. Fajar sudah sampai di dalam ternyata. Sudah ada yang menyapanya juga.Sekarang, aku hanya takut dia malah ketahuan. Itu lumayan berbahaya."Iya. Baru ada waktu. Gimana kabarnya semua, nih?""Baik semua.""Oy, Fajar!""Kayaknya, dia disegani banget," gumam Bang Tirta. "Iyalah. Abang gak tau aja semua riwayat pendidikan dia. Dia bukan orang sembarangan. Masuk kesana aja karena sesuatu."Mataku menyipit menatap Kafka. Lumayan penasaran dengan masa lalu Fajar. Apa dia benar orang hebat di masa lalu?"Oy, Rian! Apa kabar, nih? Apa kerjaan sekarang? Kayaknya sihuk banget. Mana pakaiannya hitam terus. Gak ganti?" tanya Fajar sambil menepuk pundak Rian."Ada pekerjaan sesuatu, lah. Itu penting banget dan lagi sibuk. Kerj
"Hah?! Mama kamu?" tanyaku terkejut.Aku, Bang Tirta, juga Kafka saling berpandangan dengan informasi yang diberikan oleh Rini. Ini benar-benar di luar dugaan."Iya. Rini dengar sendiri tadi, Mbak.""Rini!" Terdengar teriakan Mamanya dari jauh."Aduh, Mbak. Rini matiin ya, teleponnya. Nanti Rini kirim videonya. Yang penting Mba tau dulu."Telepon benar-benar dimatikan. Aku menghela napas pelan. Menoleh ke Kafka yang mengusap wajah."Kamu udah prediksi sebelumnya, Kaf?""Enggak." Kafka menggelengkan kepala. Dia juga terlihat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Rini.Kami memang memasukkan Mamanya Mas Reno dalam list yang harus dicurigai, tapi tidak menyangka juga kalau Mama Mas Reno ikut terlibat. Apalagi anaknya terlihat tidak tahu menahu."Penasaran s
"Eh?" Aku jadi terkejut sendiri. "Maaf. Gak lihat tadi."Aku menelan ludah berkali-kali. Berharap pria itu tidak mengenaliku siapa.Ah, tidak mungkin sepertinya. Pria itu diam sejenak, matanya bertemu pandang dengan mataku. Persis seperti foto yang dikirimkan oleh Fajar tadi."Sama. Maaf juga. Saya yang salah. Buru-buru tadi."Pria itu menatapku beberapa detik, kemudian melangkah lagi. Ketika dia sudah menghilang dari padanganku, aku baru bisa menghela napas lega.Tadi sudah takut kalau dia punya niat macam-macam. Itu sama sekali tidak lucu."Mbak!" Kafka berlari mendekatiku.Di belakangnya juga Bang Tirta berlari-lari. Mereka terlihat panik sekali."Mbak gak ketemu sama pria misterius itu, kan?""Eh?" Aku diam sejenak. Apa yang akan mereka pikirkan ketika aku mengatakan bertemu tadi?Padahal hanya sekilas saja. Namun, aku paham seka
"Bau semua badan Mama ini. Ngeselin banget. Baru juga datang, udah kayak dikerjain gini."Memang dikerjain. Bukan kayak lagi. Aku mengambil makanan ringan, sibuk menyimak obrolan mereka di kamar.Sementara aku masih menunggu Bang Tirta dan Kafka yang masih siap-siap."Udahlah, Ma. Yang penting ada tempat tinggal. Mama mau kayak gelandangan di jalanan? Malu-maluin? Kalau ketemu sama teman Mama yang sering lihat Mama posting perhiasan itu gimana? Tambah malunya.""Ck, tapi gak gini juga, Ren. Kita udah kayak lagi dimanfaatin tau gak.""Ma, itu memang hak mereka. Kita gak bisa mengelak mereka. Apalagi sudah jelas sekali di surat perjanjian itu.""Gak bisa dibatalin aja apa?" tanya Mamanya ketus, membuatku tertawa kecil. Lumayan juga kalau sampai mereka keluar dari rumah ini."Sampai Mama melanggar peraturan di surat perjanj
Ponsel Fajar berdering. Membuat kami menoleh ke arahnya. Sejak tadi, hanya aku yang banyak bertanya, mengkhawatirkannya.Apalagi kami memang membutuhkan bantuan Fajar sekali di sini. Aku mengusap dahi. Menghela napas pelan."Udah di mana, Ri?"Fajar diam sejenak. Sesekali, dia melirik aku, kemudian tersenyum tipis."Oke. Aku langsung ke sana," katanya sambil mematikan telepon."Dia udah sampai. Aku ke sana dulu. Doain aja yang terbaik. Semoga gak terjadi apa-apa."Ah, ini yang paling menyebalkan. Aku menghela napas kesal, mengusap wajah berkali-kali."Gak bisa aja ditunda dulu gitu?" tanyaku kembali takut."Gak bisa, Nin. Si Rian malah semakin curiga nanti. Cuma ketemu, ngobrol sebentar. Ngorek informasi. Selesai. Pulang."Enak sekali dia bicara. Seolah tidak pu
"Apa untungnya aku jawab itu?" tanyanya sambil menatap Fajar.Aku dan Bang Tirta saling berpandangan. Apa yang akan dikatakan oleh Fajar?"Banyak. Kamu mau masuk ke penjara, kan? Kebetulan kami juga sudah dapat bukti soal Mamanya si Reno yang ikut terlibat.""Ikut terlibat?" Wajah Fajar tampak keheranan."Iya. Mamanya si Reno terlibat dalam kasus pembunuhan, kan? Di mana kamu dan dia bekerja sama. Bukankah begiu?"Beberapa detik terdiam, Fajar tertawa mendengar perkataan Fajar. Kami sampai saling berpandangan mendengar tawanya. Kenapa dia tertawa? Apakah ada yang lucu?"Kamu berapa tahun jadi pengacara, Jar? Kok gak bisa mikir dulu gitu."Eh? Itu sama saja menghina bukan?"Jelas. Ini videonya. Kamu bisa dengar sendiri rekamannya. Tolong jang
"Apa itu, Mbak?" tanya Kafka sambil mendekat padaku. Dia sepertinya penasaran dengan apa yang aku pegang."Foto." Aku menjawab pendek.Beberapa menit, aku berusaha mengingat tentang foto itu. Tentangku, juga seorang pria yang pernah mengisi hariku.Ah, namanya Angkasa. Pria tampan dulu di sekolahku. Namun, dia ternyata pergi lebih cepat.Entah kenapa, aku juga lupa dulu. Sudah lama sekali kejadiannya, apalagi masih remaja, labil. Yang pasti, aku ingat sekali. Bukan aku yang membuatnya meninggal."Kok mirip si Rian?" tanya Bang Tirta mengagetkan kami berdua.Aku menghela napas pelan, mengusap wajah berkali-kali.Angkasa memang mirip Rian. Sangat mirip, apa jangan-jangan ...."Siapa namanya, Nin? Bukan si Rian, kan?""Angkasa, Bang. Dia dulu teman satu SMP-k