Kania langsung saja menarik tangannya dari genggaman Adi, lalu menatap pria itu cukup lekat.
"Pak, ini nggak benar. Jangan terlalu gamblang bersikap pada saya!" ucapnya mengingat Adi.Adi pun terdiam sebentar untuk meresapi sikap serta perkataan Kania barusan. Benar apa Kania, dirinya terlalu gamblang bersikap pada seorang art seperti Kania ini."Saya hanya ingin membantu. Ini juga salah saya. Saya gegabah," kata Adi, mengaku."Kesalahan yang sudah terjadi biarkan saja terjadi, Pak. Akan lebih sakit sebenarnya jika harus mengulangi kesalahan yang sama. Jadi, lebih baik menghindar dari pada harus tenggelam di kubangan yang sama."Tangan Adi berhenti sejenak dari aksinya yang ingin ikut membantu memberikan sisa kaca usai mendengar perkataan Kania barusan. Adi jadi teringat tentang malam itu. Apa yang harus Adi lakukan? Padahal niatnya baik ingin membantu Kania, tapi kenapa justru dialah yang membuat perempuan itu kian menderita."Saya bilang saya akan bertanggung jawab atas kesalahan saya sama kamu. Silakan benci saya atau apa, asalkan biarkan saja ikut membantu saat kamu kesulitan," ujar Adi, tulus.Kania hanya diam tak lagi menyahuti. Dia menahan tangis dalam dada, tak bisa percaya kalau hidupnya akan berjalan cukup pahit seperti ini. Sakit sekali.Kania terus saja diam disela keduanya membersihkan lantai. Sesekali Adi terus menatap perempuan yang terpaut sepuluh tahun darinya itu dengan perasaan bersalah."Ah, Kania," panggil Adi saat Kania akan berlalu pergi."Ya, Pak?" Kania menyahut."Bisa tolong buatkan saya kopi? Saya rasa kepala saya hampir pecah karena memikirkan tentang semua ini."Kania bergeming sebentar lalu menjawab, "Memikirkan yang mana, Pak? Apa isi pikiran Bapak itu termasuk saya di dalamnya? Jika memang iya, solusinya bukan kopi tapi saya. Kalau Bapak mau, Bapak boleh pecat saya agar kepala Bapak nggak sakit lagi.""Nggak-nggak! Jangan berpikir seperti itu, Kania. Saya sama sekali nggak menyinggung tentang kamu. Saya hanya–""Saya buatkan kopinya dulu, Pak!" sela Kania, terlihat tidak minat m mendengar omong kosong Adi.Perempuan itu segera berlalu pergi dengan perasaan yang campur aduk. Sebenarnya ingin dirinya mengundurkan diri dari pekerjaan ini, tapi balik lagi, kalau Kania berhenti uang apa yang harus dia kirim untuk keluarga di kampung?Selama ini seluruh gajinya untuk orangtuanya. Satu-satunya hal yang membuat Kania berprofesi ganda, untuk memenuhi kebutuhannya. Memang benar, Arumi menyediakan segalanya seperti makan dan tempat tinggal.Tapi, tidak selamanya Kania betah dengan segala sikap Arumi. Arumi terlalu banyak maunya. Katanya, kalau Kania menginap maka uang kamar akan dipotong dan tidak boleh keluar setelah jam tujuh malam.Itulah kenapa Kania lebih memilih tidak tidur di rumah Arumi, agar lebih bebas dan uang gajinya penuh.Dan hari ini, Kania kembali teringat tentang pesan ibunya. Dia terus merasa bersalah dalam hatinya, karena telah gagal menuruti perintah sang ibu. Apalagi tentang malam itu. Malam yang di mana Kania benar-benar mengutuk habis-habisan dunia terutama Aditama Atmaja, suami dari majikannya itu!***"Kania!" panggil Arumi ditengah Kania merapikan lemari Azka.Mendengarnya, Kania pun buru-buru berjalan menghampiri Arumi yang terdengar baru saja kembali setelah malam tadi bertengkar lalu memilih pergi. "Ya, Bu?""Tolong bawakan dres saya yang warna merah dari kamar. Saya lagi males ketemu sama Bapak," suruh Arumi benar-benar terkuat gusar dari raut wajahnya."Tapi, Bu. Bapak kayaknya masih tidur di kamar–""Emang kenapa? Kayak dia presiden aja sampai nggak boleh diusik? Lagian kamu masuk terus ambil barang yang saya minta, udah beres. Habis itu langsung pergi saja. Biarkan dia tidur samaunya. Bagus sekalian nggak usah bangun!" sela Arumi.Kania jadi ragu-ragu. Dia masih bergeming sesaat sebelum Arumi menegur, "Hei, kok malah bengong?""Eh, iya, Bu. Saya ambil sebentar," ucap Kania, menyetujui.Perlahan-lahan langkahnya pun sampai di depan pintu kamar Adi. Dia masih enggan, sekaligus segan. Pasalnya, yang ada di dalam sana adalah seorang laki-laki terlebih-lebih juga suami dari majikannya. Tidak enak rasanya jika harus masuk dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilihat.Biasanya Adi belum terjaga di jam-jam seperti ini. Alasan kenapa Kania malah tidak mengetuk pintu. Kakinya berjalan masuk begitu saja setelah membuka pintu. Begitu pandangannya masuk ke dalam sana, berapa terkejutnya Kania saat melihat potret Adi yang baru saja selesai mandi dengan tubuh yang dibalut oleh handuk putih sepinggul."Ma-maaf, Pak. Sa-saya mengira Bapak belum bangun," ucap Kania setelah sebelumnya refleks membalikkan badan.Apa pula dengan reaksi Adi yang justru tersenyum kecil. "Nggak apa-apa. Kenapa? Arumi nyuruh kamu ngapain?" tanya Adi, tahu maksud kedatangan Kania."Ibu minta ambilkan dresnya yang warna merah, Pak," jawab Kania apa adanya."Ya udah, ambil. Saya nggak tahu yang mana."Kania jadi semakin resah karena sikap Adi ini. Sudah tahu dirinya masih dengan tampilan seperti itu, tapi dengan seenaknya mengatakan untuk mengambilnya sendiri. "Tapi, Pak.""Saya nggak kenapa-napa, Kania. Lagi pula saya sudah tidak lagi peduli. Harga diri saya sudah jatuh sejak-""Pak!" Kania memotong. "Tolong masuk ke kamar mandi atau apa. Harga diri Bapak yang sudah hilang, bukan rasa hormat saya. Tolong saling mengerti."Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m