"Mama tidak akan setuju. Mama pernah bilang kalau tidak akan ada pernikahan kakak dengan kakak, adik dengan adik. Jika kakak si perempuan menikah dengan kakak si lelaki, maka tidak ada pernikahan antara adiknya. Mama tidak akan menerima hal konyol seperti itu." Nuri tersenyum miris. Jelas sekali terlihat suaminya cemburu pada Willy. Berarti dengan Tika suaminya tidak ada hubungan. Bisa saja Tika yang selalu over PD memperlihatkan betapa ia dekat dengan majikannya. Mengalahkan istri majikan sendiri. Ini sudah jelas, bahwa Dika cemburu dan tidak suka kabar Willy akan menikahi Nura. Nuri yang tadinya duduk di depan suaminya, kini berdiri. Ia berpindah duduk menjadi di samping suaminya. "Mas cemburu?" bisik Nuri dengan ekspresi santai. Dika terkejut dengan sindiran Nuri yang tiba-tiba. Wajah pria itu kembali tegang dengan butiran keringat mulai membasahi dahinya. "Cemburu apa?" tanya Dika tak paham. "Jangan mengelak lagi, Mas. Mas itu menyukai Nuri, adik saya, tetapi Mas malah menik
"Tika, saya risih dengan pakaian pendek kamu hari ini. Apa kamu sudah kehabisan baju yang lebih panjang?" tegur Nuri saat memperhatikan Tika yang bolak-balik memakai baju terus pendek sepaha. Ditambah tanpa lengan. "Bu, saya lagi gerah banget. Biasanya juga saya gak pakai baju begini'kan?" Nuri menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. "Ini sudah sore, sebentar lagi Mas Dika pulang, saya harap kamu sudah mengganti pakaian kamu dengan yang lebih sopan." Tika cemberut, kemudian gadis itu mengangguk tidak ikhlas. Nuri melanjutkan kegiatan memasang kancing baju di depan televisi, sambil menahan kesal pada Tika. Tidak lama berselang, suara motor suaminya berhenti di depan rumah. Nuri merapikan semua alat jahatnya dengan cepat. Ia tidak ingin suaminya cemberut karena melihat dirinya masih sibuk dengan alat jahit setelah di rumah. "Eh, sudah pulang, Pak," suara renyah Tika membuat Nuri menggeram. Ia pergi menyusul Tika yang sudah di depan pintu menyambut suaminya masih dengan pakaia
Dika menghabiskan cepat mi rebusnya. Ia tidak mau sampai Tika keluar lagi dari kamarnya dengan pakaian mengerikan. Gara-gara tanpa sengaja melihat belahan dada pembantunya, senjatanya bereaksi. Ia normal dan ia pun butuh, tetapi karena perasaannya pada Nuri belum tumbuh, makanya ia tidak bisa menyentuh istrinya itu. Bagi seorang Dika, haram hukumnya bercinta jika tidak didasari oleh cinta. Oleh karena itu, melihat Tika yang berlebihan seperti tadi, membuatnya ngeri sendiri. Setelah isi mangkuk habis, begitu juga dengan gelas air putih yang sudah ia bikin kosong. Kini Dika naik kembali ke kamarnya. Pria itu menekan kenop pintu. Ia mendapati lampu kamar sudah mati, itu pertanda Nuri sudah tidur. Dika masuk dan langsung naik ke ranjang, tetapi ia tidak berbaring karena baru saja makan. Bisa-bisanya perutnya yang rata, terdorong ke depan jika ia tidur sehabis makan. Apalagi malam malam. Lemak dan penyakit aka senang berdiam diri dalam tubuhnya. "Mas, saya masuk angin. Kerokin ya?""Ad
"Nuri, maaf, ya Tuhan, apa yang sudah saya lakukan? Maafkan saya, Nuri." Dika panik setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istrinya. Tika tersenyum penuh kemenangan, berdiri di dekat majikannya tanpa berniat ikut campur. Hari ini ia sudah cukup puas melihat majikan perempuannya ditampar oleh Dika. "Tika! Eh, malah bengong! Cepat bawakan air es di baskom!" Sentak Dika, membuat Tika berjengkit kaget. "Oh, i-iya, Pak, sebentar!" Tika cemberut, tetapi karena ini adalah perintah Dika, maka ia melakukannya dengan senang hati. "Maafin saya, Nuri, astaghfirullah apa yang saya lakukan." Nuri menepis tangan suaminya. Ia ingin sekali berteriak memaki, tetapi lidahnya begitu kelu. Ia bukanlah wanita yang gampang mengumpat karena keluarganya tidak pernah mengajarkan atau mencontohkan mengumpat kalimat kasar. Ia ingin menangis, tetapi tidak bisa karena air matanya yang tidak mau keluar. Ia menahan sesak di dada, tetapi tidak bisa ia keluarkan dalam bentuk air mata. Tangannya masih
Dika masuk ke kamar. Ini sudah jam sepuluh malam. Nuri biasanya sudah tidur, tetapi malam ini istrinya masih fokus di depan ponsel, serta ada kertas dan juga pensil di atas pangkuannya. Nuri seperti tengah mengikuti gambar yang ada di ponsel. Karena terlalu asik, Nuri tidak menyadari kehadiran suaminya. Dika meletakkan bokongnya di ranjang, pada saat itulah Nuri menoleh dan menyadari ada Dika di sampingnya. "Mau tidur, Mas?" tanya Nuri sambil meletakkan alat tulis dan kertasnya tadi di atas meja. "Iya, kamu juga tidur, lanjut besok saja," kata Dika yang sudah berbalik badan memunggungi istrinya. Nuri kembali menghela napas. Ia turun dari tempat tidur untuk memastikan lampu kamar. "Mas sepertinya sedang kesal. Apa karena Tika dan saya bertengkar tadi?" tanya Nuri saat ia sudah berada dalam selimut yang sama dengan suaminya. "Bukan, " jawab Dika singkat. "Kalau begitu, apa karena Nura dan Willy? Saya dapat WA dari Nura, mereka sedang memilih kartu undangan, meskipun masih dua bula
"Mas apa gak papa sama Pak Kades malam minggu main ke rumah saya?" tanya Nuri yang saat ini kasih berusia sembilan belas tahun. "Bapak gak tahu. Saya rasa belum waktunya untuk tahu juga. Saat saya siap untuk melamar kamu, baru saya katakan pada orang tua saya." Daniel menggenggam jemari gadis muda yang membuatnya bolak-balik ke kampung hanya untuk bisa bertemu dengan Nuri. Gadis satu kampung yang berhasil membuatnya bucin. "Memangnya mau melamar saya?" Nuri menunduk, tidak berani menata wajah pria dewasa tampan yang terang-terangan menyukai dirinya. Daniel mengangguk. "Kamu boleh gak percaya sekarang. Saya sedang mengumpulkan uang untuk maju kepada bapak dan mengatakan akan menikahi kamu. Pokoknya cinta kamu, hati kamu, semua yang ada pada kamu, sebentar lagi jadi milik saya. Tahun depan, saya rasa tabungan saya sudah cukup. Kamu juga sudah berumur dua puluh tahun. Sudah pas menjadi istri." Daniel mencium tangan kekasihnya dengan lembut.Nuri tidak bisa berkata-kata lagi. Ia terlal
"Ini salah kamu, Nuri, bukan salahku. Kamu yang mulai, jadi kamu harus tuntaskan." Dika menarik kasar piyama istrinya hingga semua kancing terlepas. Nasib nahas, karena Nuri memang tidak pernah memakai bra jika tidur. Sehingga bukit kembarnya terekspos begitu saja saat kancing piyama sudah terlepas. Dengan kedua tangannya, Nuri mencoba menutupi dadanya. Namun, Dika berhasil menyingkirkan tangan itu dengan kasar. Bibir suaminya sudah berada di puncak dada yang membusung. Nuri menggelengkan kepala dengan kuat. Kedua tangannya dicengkeram di atas kepala. Bibir Dika terus menjelajah leher, dada, pusat, lalu naik lagi ke leher dan berhenti di bagian dada istrinya. Dika mengulum bagaikan bayi yang amat kehausan. Nuri pun akhirnya kalah, ia mendesah atas sentuhan bertubi-tubi yang diberikan oleh suaminya. "Sial! Pakai baju kamu lagi, Nuri! Tidak, ini salah, aku menginginkan Nura, bukan kamu!" Dika berlari masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Nuri yang tergugu dengan air mata tumpah dengan der
Nuri terkejut saat melihat Tika menangis di depan pintu kamar mandi dengan handuk yang sangat pendek. Bahkan Nuri bisa melihat area intim pembantunya itu karena handuk yang dikenakan Tika sangat pendek. Apa yang terjadi jika suaminya yang melihat ini? Bisa-bisa ia ijin untuk menikahi Tika. "Kamu kenapa, Tika? Kenapa bisa jatuh?" tanya Nuri yang berusaha membantu Tika untuk berdiri. "Aw! Sakit, tulang ekor saya, Bu, pelan-pelan!" Tika meringis pedih. Air matanya belum mau berhenti mengalir karena rasa panas di bokong yang tidak kunjung hilang. "Aduh, gimana dong? Saya cari bantuan ya." Nuri berlari ke halaman belakang, lalu memberikan handuk pada Tika. "Pakai itu, handuk yang lebih panjang! Handuk pendek kamu ini jangan dipakai lagi kalau masih ingin bekerja di sini. Di sini kamu pembantu, bukan penari telanjang yang pakai baju seperti tidak pakai baju. Pahami itu!" Nuri memang menolong Tika, tetapi sebelum hal itu ia lakukan, terlebih dahulu ia harus menegur Tika yang nekat sekali