Share

9. Acuh tak Acuh

"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?"

"Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika."

"Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup."

"Tapi saya gak.... "

Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira.

Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi.

"Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma dua, Pak. Iya, nanti saya beresin kolam ikan sama aquarium. Iya, saya akan beri makan ikan juga sekalian. Belinya di toko yang waktu itu kita pernah ke sana kan, Pak? Oke, siap, Bos. Bapak kapan pulang?" Nuri mendengar suara riang Tika yang sudah pasti berbicara dengan suaminya.

Wanita itu memutuskan pergi dari sana dan tidak mau mendengar obrolan keduanya. Hatinya akan semakin sakit jika ia berlama-lama menguping. Dika amat sangat irit bicara di telepon dengan Tika, tetapi dengan istri sendiri, malah seperti. Nuri menggeram dalam hati. Ia pergi keluar rumah hanya membawa ponsel dan dompet kecil yang ada di saku celana kulot.

Kakinya melangkah hingga keluar dari komplek perumahan suaminya. Ia tidak tahu mau ke mana dalam keadaan hati kecewa seperti ini. Nuri melihat pos satpam yang sedang kosong. Mungkin satpam sedang ke kamar mandi karena motornya parkir di dekat pos. Nuri mengecek sesuatu di ponselnya. Ia mencari rumah mode terdekat dari rumah suaminya. Ya, ia sudah putuskan untuk menyibukkan diri saja dengan bakatnya, daripada berkali-kali kecewa dengan sikap suaminya.

"Permisi, saya mau ikut kelas design. Apakah masih bisa?" tanya Nuri pada seorang gadis muda berwajah menarik yang berjaga di meja dekat pintu masuk ruko tiga lantai itu.

"Boleh, Kak, silakan duduk." Nuri disambut dengan ramah.

"Apa punya pengalaman di bidang design sebelumnya?"

"Gak ada, Mbak, saya hanya bisa menjahit, itu pun bukan karena kursus, tetapi otodidak saja karena ibu saya penjahit. Saya mau coba design karena saya suka gambar," kata Nuri dengan senyuman amat merekah.

"Boleh, silakan diisi formulir ini dan membayar uang pendaftaran satu juga rupiah dan uang kursus pernah tiga semester sebesar tiga juta rupiah. Jadwalnya seminggu tiga kali. Dari jam sembilan pagi sampai jam dua belas siang. Senin, Rabu, dan sabtu. Bagaimana?" Nuri mengangguk setuju.

"Jika saya mau ambil kelas setiap hari bisa gak, Mbak?" tanya Nuri lagi.

"Jadwalnya memang seminggu tiga kali, Mbak. Karena akan ada tugas setelah hari ini masuk. Jadi memang sudah terjadwal satu minggu tiga kali. Boleh ganti hari, selasa, jumat, dan minggu. Nanti bisa diatur sama kami."

"Baik, saya mau deh, senin, rabu, dan sabtu ya." Nuri tersenyum sambil mengisi formulir yang diberikan tadi padanya.

Setelah semua beres dan ia juga melakukan pembayaran uang kursus pernah tiga bulan, Nuri pergi ke toko buku untuk mencari alat apa saja yang ia perlukan untuk menggambarkan. Meskipun sudah mendapatkan alat design dari tempat kursus. Nuri merasa ia harus banyak latihan di rumah dengan alatnya sendiri.

Hari ini jadwalnya Dika pulang dari Bogor, bertepatan dengan hari pertama Nuri kursus design. Tentu saja suaminya adalah prioritas baginya, meskipun bagi Dika, dirinya ada di urutan terakhir.

Hari pertama yang seru. Nuri diajarkan bagaimana teknik dasar design baju untuk kelas pemula. Namun, karena basic-nya Nuri memang sudah sedikit terbiasa dengan mode, ia tidak terlalu sulit untuk mengikuti.

Getar ponselnya terasa saat ia sedang menunggu ojek online di depan ruko. Sore ini suaminya akan tiba di rumah, sehingga ia harus sudah ada di rumah menyambut Dika.

Kontak suaminya muncul di layar.

"Halo, assalamu'alaikum, ya, Mas."

"Kamu di mana, Nuri? Saya pulang malah ketemunya Tika."

"Loh, bukannya, Mas, baru pulang sore?"

"Saya sudah di rumah. Karena saya dari luar kota, jadi saya gak perlu ke kantor hari ini. Kamu di mana? Keluyuran setiap hari kata Tika ya. Cepat pulang!" Belum lagi sempat ia membalas tuduhan suaminya, sambungan itu sudah diputuskan sepihak oleh Dika. Intonasi suaranya terdengar marah dan tidak suka.

Bicara di telepon bisa saja akan menimbulkan salah paham yang lain. Untuk itu ia harus segera bertemu suaminya da menjelaskan semuanya. Ojek yang ditunggu pun tiba. Ia sempat tersenyum pada dua temannya yang juga sedang menunggu dijemput.

Begitu sampai di rumah, Nuri mengucapkan salam, tetapi tidak ada jawaban dari Tika ataupun suaminya. Wanita itu menutup pintu depan, lalu berjalan hendak naik ke kamar, tetapi suara bercakap-cakap terdengar dari arah taman belakang.

"Sabar, Pak, nanti ditanya baik-baik saja sama Ibu, sebenarnya Ibu pergi ke mana. Tapi pulangnya gak pernah malam kok, Pak. Siang udah balik atau sore, bawa alat jahit gitu, tapi saya mau tanya sungkan." Terdengar helaan napas panjang Tika.

"Terima kasih atas sarannya, Tika."

"Sama-sama, Pak." Keduanya saling diam, menatap taman, memunggungi Nuri yang sejak tadi berdiri di belakang mereka.

"Kalian ini cocok sekali. Kenapa kemarin tidak menikah dengan Tika saja, Mas? Kayaknya lebih akrab dan lebih banyak bicara dengan Tika."

"Ibu, m-maaf, kapan Ibu pulang?" tanya Tika gugup. Entah berpura-pura atau memang gugup.

"Maaf saya pulang terlambat, Mas, saya ikut kursus." Nuri berbalik, meninggalkan suaminya dan Tika di taman belakang. Ia tidak ingin menuduh, bisa saja memang diantara suami dan ART-nya memiliki hubungan yang tidak ia ketahui. Entah siapa yang sebenarnya disukai suaminya, adiknya ataukah Tika?

Nuri masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rambutnya sengaja ia basahi dan beri sampo agar panas dari dalam bisa mereda.

"Kamu salah paham, Nuri," ujar Dika ketika istrinya itu baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk pendek saja. Wanita itu tertawa miris. Sungguh rumah tangga amat menyedihkan yang tidak pernah ada dalam mimpinya.

"Jika tidak tahu apa-apa, jangan asal menuduh. Tika itu hanya ART yang sudah lama denganku dan tentu saja dekat."

"Oh, iya saya orang baru dan memang gak cocok terlalu dekat dengan suami sendiri, ha ha  .... Waktu itu saya dengar, Mas menyukai Nura. Lalu menurut pengamatan saya selama menjadi istri jadi-jadian di rumah ini, Mas juga sangat dekat dengan Tika. Lebih dekat dengan pembantu daripada dengan istri sendiri.  Jika ingin bercerai, mumpung saya juga belum disentuh, silakan saja, Mas. Saya gak papa. Mungkin emang belum jodoh.  Saya gak keberatan kalau Mas talak." Nuri tersenyum, tetapi Dika bungkam. Pria itu memalingkan wajahnya karena Nuri saat ini tengah melepas handuknya untuk memakai celana dalam.

"Baiklah, diamnya lelaki juga artinya iya, bukan? Ya sudah, biar saya saja besok ke kantor pengadilan untuk menggugat cerai."

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Maria E. Malwewan
mungkin nuri sudah jenuh
goodnovel comment avatar
Jack David
kadang terbalik yaaa. aneh hidup manusia kadang tak bisa di tebak
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
cukuplah sudah kesabaran nuri,..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status