"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?"
"Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira.Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi."Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma dua, Pak. Iya, nanti saya beresin kolam ikan sama aquarium. Iya, saya akan beri makan ikan juga sekalian. Belinya di toko yang waktu itu kita pernah ke sana kan, Pak? Oke, siap, Bos. Bapak kapan pulang?" Nuri mendengar suara riang Tika yang sudah pasti berbicara dengan suaminya.Wanita itu memutuskan pergi dari sana dan tidak mau mendengar obrolan keduanya. Hatinya akan semakin sakit jika ia berlama-lama menguping. Dika amat sangat irit bicara di telepon dengan Tika, tetapi dengan istri sendiri, malah seperti. Nuri menggeram dalam hati. Ia pergi keluar rumah hanya membawa ponsel dan dompet kecil yang ada di saku celana kulot.Kakinya melangkah hingga keluar dari komplek perumahan suaminya. Ia tidak tahu mau ke mana dalam keadaan hati kecewa seperti ini. Nuri melihat pos satpam yang sedang kosong. Mungkin satpam sedang ke kamar mandi karena motornya parkir di dekat pos. Nuri mengecek sesuatu di ponselnya. Ia mencari rumah mode terdekat dari rumah suaminya. Ya, ia sudah putuskan untuk menyibukkan diri saja dengan bakatnya, daripada berkali-kali kecewa dengan sikap suaminya."Permisi, saya mau ikut kelas design. Apakah masih bisa?" tanya Nuri pada seorang gadis muda berwajah menarik yang berjaga di meja dekat pintu masuk ruko tiga lantai itu."Boleh, Kak, silakan duduk." Nuri disambut dengan ramah."Apa punya pengalaman di bidang design sebelumnya?""Gak ada, Mbak, saya hanya bisa menjahit, itu pun bukan karena kursus, tetapi otodidak saja karena ibu saya penjahit. Saya mau coba design karena saya suka gambar," kata Nuri dengan senyuman amat merekah."Boleh, silakan diisi formulir ini dan membayar uang pendaftaran satu juga rupiah dan uang kursus pernah tiga semester sebesar tiga juta rupiah. Jadwalnya seminggu tiga kali. Dari jam sembilan pagi sampai jam dua belas siang. Senin, Rabu, dan sabtu. Bagaimana?" Nuri mengangguk setuju."Jika saya mau ambil kelas setiap hari bisa gak, Mbak?" tanya Nuri lagi."Jadwalnya memang seminggu tiga kali, Mbak. Karena akan ada tugas setelah hari ini masuk. Jadi memang sudah terjadwal satu minggu tiga kali. Boleh ganti hari, selasa, jumat, dan minggu. Nanti bisa diatur sama kami.""Baik, saya mau deh, senin, rabu, dan sabtu ya." Nuri tersenyum sambil mengisi formulir yang diberikan tadi padanya.Setelah semua beres dan ia juga melakukan pembayaran uang kursus pernah tiga bulan, Nuri pergi ke toko buku untuk mencari alat apa saja yang ia perlukan untuk menggambarkan. Meskipun sudah mendapatkan alat design dari tempat kursus. Nuri merasa ia harus banyak latihan di rumah dengan alatnya sendiri.Hari ini jadwalnya Dika pulang dari Bogor, bertepatan dengan hari pertama Nuri kursus design. Tentu saja suaminya adalah prioritas baginya, meskipun bagi Dika, dirinya ada di urutan terakhir.Hari pertama yang seru. Nuri diajarkan bagaimana teknik dasar design baju untuk kelas pemula. Namun, karena basic-nya Nuri memang sudah sedikit terbiasa dengan mode, ia tidak terlalu sulit untuk mengikuti.Getar ponselnya terasa saat ia sedang menunggu ojek online di depan ruko. Sore ini suaminya akan tiba di rumah, sehingga ia harus sudah ada di rumah menyambut Dika.Kontak suaminya muncul di layar."Halo, assalamu'alaikum, ya, Mas.""Kamu di mana, Nuri? Saya pulang malah ketemunya Tika.""Loh, bukannya, Mas, baru pulang sore?""Saya sudah di rumah. Karena saya dari luar kota, jadi saya gak perlu ke kantor hari ini. Kamu di mana? Keluyuran setiap hari kata Tika ya. Cepat pulang!" Belum lagi sempat ia membalas tuduhan suaminya, sambungan itu sudah diputuskan sepihak oleh Dika. Intonasi suaranya terdengar marah dan tidak suka.Bicara di telepon bisa saja akan menimbulkan salah paham yang lain. Untuk itu ia harus segera bertemu suaminya da menjelaskan semuanya. Ojek yang ditunggu pun tiba. Ia sempat tersenyum pada dua temannya yang juga sedang menunggu dijemput.Begitu sampai di rumah, Nuri mengucapkan salam, tetapi tidak ada jawaban dari Tika ataupun suaminya. Wanita itu menutup pintu depan, lalu berjalan hendak naik ke kamar, tetapi suara bercakap-cakap terdengar dari arah taman belakang."Sabar, Pak, nanti ditanya baik-baik saja sama Ibu, sebenarnya Ibu pergi ke mana. Tapi pulangnya gak pernah malam kok, Pak. Siang udah balik atau sore, bawa alat jahit gitu, tapi saya mau tanya sungkan." Terdengar helaan napas panjang Tika."Terima kasih atas sarannya, Tika.""Sama-sama, Pak." Keduanya saling diam, menatap taman, memunggungi Nuri yang sejak tadi berdiri di belakang mereka."Kalian ini cocok sekali. Kenapa kemarin tidak menikah dengan Tika saja, Mas? Kayaknya lebih akrab dan lebih banyak bicara dengan Tika.""Ibu, m-maaf, kapan Ibu pulang?" tanya Tika gugup. Entah berpura-pura atau memang gugup."Maaf saya pulang terlambat, Mas, saya ikut kursus." Nuri berbalik, meninggalkan suaminya dan Tika di taman belakang. Ia tidak ingin menuduh, bisa saja memang diantara suami dan ART-nya memiliki hubungan yang tidak ia ketahui. Entah siapa yang sebenarnya disukai suaminya, adiknya ataukah Tika?Nuri masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Rambutnya sengaja ia basahi dan beri sampo agar panas dari dalam bisa mereda."Kamu salah paham, Nuri," ujar Dika ketika istrinya itu baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk pendek saja. Wanita itu tertawa miris. Sungguh rumah tangga amat menyedihkan yang tidak pernah ada dalam mimpinya."Jika tidak tahu apa-apa, jangan asal menuduh. Tika itu hanya ART yang sudah lama denganku dan tentu saja dekat.""Oh, iya saya orang baru dan memang gak cocok terlalu dekat dengan suami sendiri, ha ha .... Waktu itu saya dengar, Mas menyukai Nura. Lalu menurut pengamatan saya selama menjadi istri jadi-jadian di rumah ini, Mas juga sangat dekat dengan Tika. Lebih dekat dengan pembantu daripada dengan istri sendiri. Jika ingin bercerai, mumpung saya juga belum disentuh, silakan saja, Mas. Saya gak papa. Mungkin emang belum jodoh. Saya gak keberatan kalau Mas talak." Nuri tersenyum, tetapi Dika bungkam. Pria itu memalingkan wajahnya karena Nuri saat ini tengah melepas handuknya untuk memakai celana dalam."Baiklah, diamnya lelaki juga artinya iya, bukan? Ya sudah, biar saya saja besok ke kantor pengadilan untuk menggugat cerai."Setelah sekian lama menghubungi papanya, akhirnya panggilan itu diangkat juga oleh Daniel. "Luna, Sayang, ada apa?" suara Daniel berat, seperti orang baru saja bangun dari tidur. "Papa, Bunda pingsan di rumah. Sekarang ada di rumah sakit bersama Luna dan Bu guru. Kenapa Papa susah ditelepon. Ini masalahnya Bunda terus menangis. Bunda bilang papa jahat. Ada apa sih, Pa?" "Hah? A-apa? Nuri dirawat. Luna, apa bisa kamu berikan ponsel kamu pada bunda, Papa harus bicara dan Papa mohon, kamu keluar dari kamar perawatan ya, Nak. Karena ini pembicaraan orang dewasa.""Iya, Pa, sebentar, Luna kasih Bunda." Remaja itu berjalan masuk ke dalam bilik Nuri. Bunda sambungnya itu masih menangis sesegukan sejak tadi. Belum pernah sedetik pun berhenti. Bantalnya saja sampai basah. Suster membujuk untuk bercerita, tetapi Nuri memilih bungkam. "Bunda, ada telepon dari Papa." Luna berujar pelan. Lalu meletakkan ponselnya di samping Nuri. Remaja itu keluar dari ruang perawatan VIP. Masuk ke dalam lift
Nuri dilarikan ke rumah sakit oleh Luna, dibantu juga oleh guru homeschooling-nya. Bu Cici dan Bu Mila sedang keluar untuk jogging dan dua orang nenek itu tidak membawa ponsel. Jadilah Luna membawa Nuri ke rumah sakit dengan mobil sedan lama milik gurunya. Kunci pagar dan juga rumah, dititipkan Luna pada pembantu di sebelah rumahnya. Luna memberi tahu kan hal itu pada papanya. Remaja itu menghubungi papanya, tetapi tidak bisa. Ponsel Daniel memang masih mati. Lebih tepatnya dimatikan sengaja oleh Angel. "Papa ke mana sih? Ini masih pagi loh," gerutu remaja itu kesal. "Sabar, Luna. Papa kamu sedang meeting mungkin. Coba tinggalkan pesan saja. Bilang bunda kamu lagi di rumah sakit karena pingsan di kamar.""Oh, gitu, ya Bu. Ya sudah, saya tinggalkan pesan WA saja." Luna menurut saran darin gurunya. Ia pun mengetik dengan cepat pesan untuk sang Papa yang saat ini ternyata tengah mandi. Mobil yang dikendarai guru Luna berhenti di lobi IGD rumah sakit. Ia meminta tolong pada salah satu
"Kamu terlalu menganggap remeh aku, Mas Daniel. Apa kamu tidak tahu sedang mempermainkan perasaan siapa? Kamu nampak begitu tidak sudi padaku, bahkan menikahi janda dari kampung itu tanpa mengundangku. Ya ampun, padahal kamu duda, tetapi kenapa aku malah bucin berat sama kamu. Padahal kamu jelas tidak suka padaku. Baiklah, jika aku sudah ikuti aturan main kamu, maka kamu pun harus ikuti aturan main aku, Mas. Tuhan itu adil, membawa kamu padaku." Angel kembali mencium rakus bibir Daniel yang tidak sadarkan diri di bawah pengaruh obat perangsang dan juga obat tidur yang ia cekoki saat pria itu tak sadarkan diri. Tubuh telanjangnya benar-benar menyukai senjata milik Daniel yang berhasil mengobrak-abrik organ intimnya. Bercak darah perawan juga tercecer di seprei dan selimut mereka. Angel puas, bahkan amat sangat puas. Rencananya berhasil tanpa perlu ikut campur dari orang tua Daniel. Saat ia tahu Daniel sedang ada di Singapura, maka ia pun mendapatkan ide ini. Foto itu ia kirimkan pad
Pukul dua siang, Nuri sudah diantar pulang ke rumah suaminya. Tidak lupa Bu Widya membelikan banyak vitamin untuk Nuri dan juga makanan. Bu Widya bahkan membelikan daster cantik untuk putrinya itu. Ya, bagi seorang Bu Widya, Nuri adalah putrinya. Jika putrinya tertekan, maka ia pun akan sangat sedih. Selagi Nuri tidak sampai di dipukul oleh mertua yang sombongnya gak tertolong itu, maka ia harus menahan diri. "Mama, terima kasih jalan-jalannya dan oleh-olehnya." Nuri begitu senang setelah meluapkan semua kesedihannya pada Bu Widya. Wanita paruh baya itu selalu mengerti dirinya. Bersikap begitu bijak dan tidak memanas-manasinya untuk durhaka pada suami atau mertua. Bu Widya hanya memintanya kuat dan juga memperjuangkan haknya. Jika sudah dianggap keterlaluan, maka ia harus bisa melawan. Bukan melawan tanda tidak hormat, tetapi untuk menyelamatkan mentalnya. "Iya, Sayang, Mama. Minggu depan Mama ke sini lagi ya. Kita ke salon. Hari ini gak keburu mau ke salon. Ingat pesan Mama ya, Can
"Ibu siapa?" tanya Bu Cici saat Bu Widya sudah berada di teras rumahnya. Wanita begitu jengah karena sejak kemarin ada saja saudara Nuri yang datang. Apakah wanita itu menceritakan pada keluarganya bahwa ia di sini diperlukan seperti pembantu? Tapi bukankah Nuri gak punya siapapun di Jakarta? "Saya adik ayahnya Nuri. Kebetulan sedang ada bisnis di sini. Saya mau ajak Nuri makan di luar. Apakah boleh, Bu?" Bu Cici memperhatikan Bu Widya yang tampilan glowing dengan emas yang ia pakai. Mulai dari gelang, cincin, kalung besar, jam tangan mahal, serta gamis yang dipakai Bu Widya adalah gamis seharga lima jutaan ke atas. "Baik, tapi Nuri tidak diijinkan keluar terlalu lama oleh suaminya. Itu pesan Daniel. Jadi sebelum jam dua siang, sudah kembali ya." "Baik, Bu, terima kasih atas pemaklumannya." "Nuri Sayang, kamu ganti baju dulu ya, Tante tunggu di sini saja gak papa.""Ah, itu sopir saya! Sini, Cep!" Pria dari luar pagar berlari untuk memberikan kunci mobil pada Bu Widya. Dengan ang
115. Dika benar-benar tidak bisa menahan emosinya sepulang dari menjenguk Nuri. Ibu Mertua Nuri tadi bahkan tidak mempersilakannya masuk dan malah mengomel, mengatakan urusan rumah tangga Nuri bukanlah urusannya, jadi Dika tidak perlu ikut campur. Bagaimana Dika bisa berdiam diri kalau melihat secara nyata Nuri diperlakukan buruk seperti itu? Mumpung Tika sedang sibuk menonton, Dika langsung menelepon adiknya, Willy, untuk mengabarkan apa yang dilihatnya di rumah Daniel tadi. Untung saja Willy langsung mengangkat teleponnya sehingga ia tidak perlu repot-repot menambah emosi. Setelah berbasa-basi sejenak, Dika pun mulai bercerita kepada Willy. Sang adik tentu saja terkejut mendengar apa yang terjadi kepada kakak iparnya itu. "Mas mau minta saran dari kamu, nih, WIil. Apa yang harus Mas lakuin sekarang? Rasanya nggak tega ngeliat Nuri dijadikan babu seperti itu," ujar Dika setelah selesai bercerita. "Duh, gimana, ya, Mas. Aku juga bingung. Gini aja, aku minta tolong Mas buat serin
Dika tidak bisa melupakan kata-kata mamanya kemarin. Tentu saja tentang Nuri, bukan tentang Tika. Kalau hal yang berhubungan dengan Tika, Dika sudah tidak heran lagi. Ia sudah menyaksikan sendiri betapa menjengkelkannya sang istri. "Apakah aku harus datang sendiri untuk memastikannya?" Dika bertanya kepada dirinya sendiri. Tanpa bisa dipungkiri, Dika merasa iba kepada Nuri kalau memang mantan istrinya itu diperlakukan seperti babu oleh keluarga suaminya. Padahal saat masih menjadi istrinya dulu, setidaknya Dika tidak pernah melihat mamanya memperlakukan Nuri dengan buruk. "Iya, sepertinya aku memang harus datang ke sana," tekad Dika. Berbekal alibi mereka adalah ipar, Dika pun nekat ingin menemui Nuri di rumah Daniel. Ia sengaja tidak memberitahukan hal tersebut kepada ibunya, apalagi kepada Tika. Bisa-bisa Tika guling-guling di depannya kalau sampai ia meminta izin untuk hal yang satu itu. "Din, saya minta alamat Nuri dong!" pinta Dika ketika menemui Udin. "Loh, buat apa, Pak?"
"Aduh, kenapa halaman depan masih banyak daun jatuh, ya, Nuri? Bukannya saya udah sempat nyuruh kamu bersihin, ya? Kalau sampai ada tamu penting yang datang bagaimana? Mereka bisa ilfeel melihatnya!" Mendapati pertanyaan seperti itu saat sedang sarapan, membuat Nuri kesusahan menelan air yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Untung saja cairan itu tidak menyembur ke wajah Bu Cici. "Maaf, Ma. Saya sudah bersihkan halaman semalam, kok. Namanya juga ada pohon hidup, Ma. Wajar kalau ada daun yang jatuh lagi," jawab Nuri setelah berhasil menelan minumannya. "Berarti harusnya kamu inisiatif, dong, bersihin subuh-subuh. Jadi waktu saya bangun, halamannya sudah bersih. Saya kan jadi tidak perlu buang-buang waktu buat negur kamu." Nuri menghela napas panjang. Ingin membalas ucapan sang Mertua, tetapi malas berdebat. Alhasil, ia pun mengalah. "Baik, Ma. Setelah sarapan saya bersihkan halamannya.""Ya, udah, yang cepat sarapannya. Jangan sengaja lama-lamain karena malas mengurus rumah!" Nuri
Tika sedang berada di boncengan motor suaminya. Seperti biasa, Tika memeluk tubuh Dika terlalu erat, sehingga pria itu tidak nyaman. Napasnya terasa sesak, sehingga mengakibatkan Dika tidak fokus mengendarai motornya. Beberapa kali ia menabrak begitu saja polisi tidur, hingga Tika terguncang. "Mas, pelan dong!" protesnya. "Kamu juga jangan kuat-kuat peluk saya. Napas saya jadi sesak. Saya gak fokus bawa motor!" omel Dika balik. "Bukannya lelaki itu suka kalau dipeluk erat istri, ini malah protes!" Dika menghentikan motornya di pinggir trotoar. Lalu pria itu menoleh ke belakang dengan wajah marah. "Sekali lagi kamu balikin ucapan saya, kamu turun di jalan! Kita mau ke dokter, jadi jangan rusak suasana!" Tika terdiam sambil menunduk. Di dalam hatinya masih sangat kesal dengan Dika, tetapi justru ia juga semakin cinta. Apalagi setelah melihat senjata suaminya secara tidak sengaja yang seguede timun suri. Membayangkan benda itu masuk ke miliknya, membuat Tika bergetar, sekaligus bergi