Share

3. Apa Hubungan Tika dengan Suaminya?

Sejak kejadian saat sarapan tadi, Nuri tidak berani melakukan apapun di rumah suaminya. Ia khawatir akan mendapat masalah jika ia bergerak, ingin membantu pekerjaan rumah, tetapi ujungnya malah salah. Pengantin baru satu hari dan paginya sudah dibanting sendok. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana perasaan Nuri. 

Suara pintu diketuk, membuat Nuri menoleh. 

"Nuri, apa Mama boleh masuk?" 

"Boleh, Ma, masuk saja." Nuri bergegas turun dari ranjang  untuk menyambut mertuanya dengan wajah gembira. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memperhatikan isi kamar pengantin yang masih rapi. Kelopak mawar yang ia sebar sudah tidak ada lagi. Semua bersih dan rapi. Bu Widya tersenyum pada Nuri, kemudian memilih duduk di pinggir tempat tidur. 

"Kenapa kadonya belum ada yang dibuka?" tanya Bu Widya pada Nuri. 

"Saya menunggu Mas Dika saja, Ma. Kalau katanya buka kado, kita buka sama-sama. Amplop dari tamu undangan yang diberikan langsung pada Mas Dika juga masih ada di laci, saya belum berani buka." Bu Widya mengangguk paham. Wanita itu menghela napas, seperti ingin mengatakan sesuatu pada menantunya. 

"Bagaimana kabar Nura? Apa semua baik-baik saja?" tanya Bu Widya. 

"Alhamdulillah baik, Ma." Nuri ingin menambahkan ucapan terima kasih pada Willy, karena telah dengan sigap menolong adiknya waktu itu.

Yah, Nura bisa dekat dengan Willy karena pemuda itu sangat baik. Justru adiknya lebih dahulu mengenal keluarga suaminya, barulah ia.

"Mama belum bisa menjenguk ke rumah sakit. Nanti saja kalau Nura sudah kembali ke rumah almarhum Dadang." Nuri pun mengangguk paham. Obrolan yang sangat canggung dengan Bu Widya membuatnya sedikit tidak nyaman. Apakah dirinya yang ragu atau memang Bu Widya yang sungkan. Seperti ada yang ingin dikatakan oleh mertuanya itu, tetapi entah apa? 

"Nuri, Mama mau minta maaf perihal perlakuan Dika tadi pagi. Sepertinya ia sedang ada masalah, sehingga emosinya sedang berapi-api. Ini baru hari pertama sebagai istri, masih ada esok, esok, dan esok lagi yang harus kamu lalui sebagai suami dan istri, hingga memiliki anak cucu nanti. Mama berharap, jika Dika sedang emosi, jangan diambil hati ya, karena itu sifatnya sebentar saja. Lihat deh siang nanti, pasti Dika sudah baik-baik saja sama kamu, seperti tidak terjadi apapun. Kunci rumah tangga adalah sabar. Selagi tidak main tangan, kita istri harus kuat dan bersabar." Nuri kembali mengangguk paham atas nasihat yang diberikan Bu Widya. 

Baru permulaan, tidak mungkin ia baper dengan perlakuan suaminya yang sangat berbeda dari sebelum mereka menikah. Nura saja bisa bertahan dengan Dadang yang super menguras emosi, apalagi dirinya. Ia tidak sendirian, ibu mertuanya nampak menerima dan menyayanginya. Masih ada keluarga yang akan membelanya nanti. 

Sore hari, Nuri sedang berbincang dengan ibu mertuanya di teras rumah, saat mobil suaminya masuk ke garasi. Entah dari mana suaminya karena tidak mengatakan apapun padanya. Pengantin baru yang seharusnya diam di kamar, tetapi suaminya malah keluyuran. 

"Loh, Tika, kamu kenapa bisa keluar dari mobil Dika?" tanya Bu Widya terheran. Nuri pun sama terkejutnya, tetapi wanita itu tidak mau suudzon. 

"Tadi Nyonya suruh saya beli aneka buah di depan kan? Nah itu buahnya banyak di bagasi mobil. Pas saya mau pesan taksi online, Pak Dika rupanya lewat. Ya sudah saya nebeng, lumayan irit ongkos kan, Nyonya." Tika menyeringai. Lalu dengan gerakan cepat mengangkat aneka buah di dalam bagasi untuk dibawa ke dapur. 

"Eh, mau ke mana?" tanya Dika pada Nuri saat wanita itu berjalan ke arah belakang mobil. 

"Mau bantuin Tika, Mas." Jawaban Nuri membuat Dika menggelengkan kepala. 

"Biar saja Tika yang urus. Kamu buatkan saya teh saja ya. Saya mau mandi dulu." Dika masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke kamar. Bu Widya tersenyum pada menantunya.

"Tuh, kan, benar kata Mama apa, Dika ngambeknya sebentar saja. Sudah sana, buatkan teh untuk Dika. Ingat, gulanya hanya satu sendok. Terus tehnya harus pekat, dua sachet." Nuri mengangguk paham.

Dengan langkah lebar, Nuri pergi ke dapur. Di sana sudah ada Tika yang sibuk membersihkan buah, menatanya di keranjang dan sebagian lagi simpan di dalam kulkas. Wanita itu tersenyum penuh hormat, saat Nuri juga tersenyum padanya. 

"Pak Dika mau teh ya, Bu? Itu, gulanya yang rendah kalori, Bu." Tika menunjuk toples bertuliskan gula rendah kalori yang ada di rak paling atas. Gadis itu ikut membantu mengambilkan karena tubuhnya yang lebih tinggi dari Nuri. 

"Gulanya saya simpan tinggi, Bu, soalnya biar gak ketuker saat saya masak," kata Tika memberitahu agar majikan barunya tidak bingung. 

"Makasih atas informasinya, Tika. Saya masih pendatang baru di rumah ini, tentunya masih bingung mau apa, dimana, dan bagaimana. Terima kasih kamu udah mau ajarin dan kasih tahu saya."

"Sama-sama, Bu, jangan sungkan." Nuri tersenyum, lalu dengan cekatan membuat teh seperti keinginan suaminya. Dengan menggunakan nampan, Nuri membawa teh ke dalam kamar. Suaminya baru saja selesai mandi dan masih memakai handuk saja.

Sebagai wanita normal, tentu saja jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia masuk ke kamar. Namun, Nuri mencoba bersikap biasa saja karena ia malu kalau terang-terangan menatap suaminya dengan penuh damba. Pasti rasanya sangat nyaman berada di dalam dekapan suami saat malam tiba. 

"Nuri, kamu bengong kenapa? Itu tehnya taruh saja di meja. Saya juga udah lapar nih, makan di kamar saja deh. Ambilkan makan sore hari ini ya, tapi bukan yang kamu masak tadi pagi. Ambilkan lauk yang dimasak Tika. Katanya tadi dia masak semur ayam." Nuri tersenyum sambil mengangguk. Ia menutupi rapat hatinya yang tersentil karena ucapan suaminya yang mengatakan tidak mau makan masakannya. Apakah masakannya benar-benar buruk? 

Sabar, Nuri, sabar. Ini baru satu persen saja dari kedukaan yang adik kamu pernah alami.  Ingat, ada mertua super baik yang selalu mendukung kamu. Batin Nuri menguatkan dirinya. 

Nuri kembali ke dapur untuk mengambilkan makanan untuk suaminya. Nasi, ayam semur, lalapan timun, dan juga sambal. Semua ia masukkan dalam satu piring. Lalu ia juga mengiris buah apel yang ia letakkan di atas piring kecil. 

"Bu, maaf, kalau Pak Dika, lauknya jangan disatukan semua, nanti salah. Ayam sama nasi dalam satu piring. Timun dan sambal di piring kecil khusus sambal dan lalapan. Sebentar saya ambilkan piringnya." Nuri hanya bisa terdiam melihat ART suaminya begitu hafal dengan rutinitas dan apa yang suka dan apa yang tidak disukai suaminya. Semua harus sempurna dan jika ingin jujur, ini sungguh melelahkan. 

"Bapak mah gitu, Bu, padahal gak usah cari istri ya. Kan jadinya ribet ngasih tahunya. Saya saja yang melakukan semuanya juga sudah perfect." Bik Tika yang masih berusia dua puluh tahun itu tertawa geli. 

"Tika, tolong bicara yang sopan dengan menantu saya ya. Bagaimanapun ia majikan kamu! Tentu saja anak saya tidak mungkin memilih pembantu untuk jadi istri." Bu Widya berdiri di samping Nuri dan menatap ART anaknya dengan tatapan tidak suka. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
AsK'A'R'A❤️
dih Tika penggoda
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
tika yang perasan...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status