Sejak kejadian saat sarapan tadi, Nuri tidak berani melakukan apapun di rumah suaminya. Ia khawatir akan mendapat masalah jika ia bergerak, ingin membantu pekerjaan rumah, tetapi ujungnya malah salah. Pengantin baru satu hari dan paginya sudah dibanting sendok. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana perasaan Nuri.
Suara pintu diketuk, membuat Nuri menoleh.
"Nuri, apa Mama boleh masuk?"
"Boleh, Ma, masuk saja." Nuri bergegas turun dari ranjang untuk menyambut mertuanya dengan wajah gembira. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memperhatikan isi kamar pengantin yang masih rapi. Kelopak mawar yang ia sebar sudah tidak ada lagi. Semua bersih dan rapi. Bu Widya tersenyum pada Nuri, kemudian memilih duduk di pinggir tempat tidur.
"Kenapa kadonya belum ada yang dibuka?" tanya Bu Widya pada Nuri.
"Saya menunggu Mas Dika saja, Ma. Kalau katanya buka kado, kita buka sama-sama. Amplop dari tamu undangan yang diberikan langsung pada Mas Dika juga masih ada di laci, saya belum berani buka." Bu Widya mengangguk paham. Wanita itu menghela napas, seperti ingin mengatakan sesuatu pada menantunya.
"Bagaimana kabar Nura? Apa semua baik-baik saja?" tanya Bu Widya.
"Alhamdulillah baik, Ma." Nuri ingin menambahkan ucapan terima kasih pada Willy, karena telah dengan sigap menolong adiknya waktu itu.
Yah, Nura bisa dekat dengan Willy karena pemuda itu sangat baik. Justru adiknya lebih dahulu mengenal keluarga suaminya, barulah ia.
"Mama belum bisa menjenguk ke rumah sakit. Nanti saja kalau Nura sudah kembali ke rumah almarhum Dadang." Nuri pun mengangguk paham. Obrolan yang sangat canggung dengan Bu Widya membuatnya sedikit tidak nyaman. Apakah dirinya yang ragu atau memang Bu Widya yang sungkan. Seperti ada yang ingin dikatakan oleh mertuanya itu, tetapi entah apa?
"Nuri, Mama mau minta maaf perihal perlakuan Dika tadi pagi. Sepertinya ia sedang ada masalah, sehingga emosinya sedang berapi-api. Ini baru hari pertama sebagai istri, masih ada esok, esok, dan esok lagi yang harus kamu lalui sebagai suami dan istri, hingga memiliki anak cucu nanti. Mama berharap, jika Dika sedang emosi, jangan diambil hati ya, karena itu sifatnya sebentar saja. Lihat deh siang nanti, pasti Dika sudah baik-baik saja sama kamu, seperti tidak terjadi apapun. Kunci rumah tangga adalah sabar. Selagi tidak main tangan, kita istri harus kuat dan bersabar." Nuri kembali mengangguk paham atas nasihat yang diberikan Bu Widya.
Baru permulaan, tidak mungkin ia baper dengan perlakuan suaminya yang sangat berbeda dari sebelum mereka menikah. Nura saja bisa bertahan dengan Dadang yang super menguras emosi, apalagi dirinya. Ia tidak sendirian, ibu mertuanya nampak menerima dan menyayanginya. Masih ada keluarga yang akan membelanya nanti.
Sore hari, Nuri sedang berbincang dengan ibu mertuanya di teras rumah, saat mobil suaminya masuk ke garasi. Entah dari mana suaminya karena tidak mengatakan apapun padanya. Pengantin baru yang seharusnya diam di kamar, tetapi suaminya malah keluyuran.
"Loh, Tika, kamu kenapa bisa keluar dari mobil Dika?" tanya Bu Widya terheran. Nuri pun sama terkejutnya, tetapi wanita itu tidak mau suudzon.
"Tadi Nyonya suruh saya beli aneka buah di depan kan? Nah itu buahnya banyak di bagasi mobil. Pas saya mau pesan taksi online, Pak Dika rupanya lewat. Ya sudah saya nebeng, lumayan irit ongkos kan, Nyonya." Tika menyeringai. Lalu dengan gerakan cepat mengangkat aneka buah di dalam bagasi untuk dibawa ke dapur.
"Eh, mau ke mana?" tanya Dika pada Nuri saat wanita itu berjalan ke arah belakang mobil.
"Mau bantuin Tika, Mas." Jawaban Nuri membuat Dika menggelengkan kepala.
"Biar saja Tika yang urus. Kamu buatkan saya teh saja ya. Saya mau mandi dulu." Dika masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke kamar. Bu Widya tersenyum pada menantunya.
"Tuh, kan, benar kata Mama apa, Dika ngambeknya sebentar saja. Sudah sana, buatkan teh untuk Dika. Ingat, gulanya hanya satu sendok. Terus tehnya harus pekat, dua sachet." Nuri mengangguk paham.
Dengan langkah lebar, Nuri pergi ke dapur. Di sana sudah ada Tika yang sibuk membersihkan buah, menatanya di keranjang dan sebagian lagi simpan di dalam kulkas. Wanita itu tersenyum penuh hormat, saat Nuri juga tersenyum padanya.
"Pak Dika mau teh ya, Bu? Itu, gulanya yang rendah kalori, Bu." Tika menunjuk toples bertuliskan gula rendah kalori yang ada di rak paling atas. Gadis itu ikut membantu mengambilkan karena tubuhnya yang lebih tinggi dari Nuri.
"Gulanya saya simpan tinggi, Bu, soalnya biar gak ketuker saat saya masak," kata Tika memberitahu agar majikan barunya tidak bingung.
"Makasih atas informasinya, Tika. Saya masih pendatang baru di rumah ini, tentunya masih bingung mau apa, dimana, dan bagaimana. Terima kasih kamu udah mau ajarin dan kasih tahu saya."
"Sama-sama, Bu, jangan sungkan." Nuri tersenyum, lalu dengan cekatan membuat teh seperti keinginan suaminya. Dengan menggunakan nampan, Nuri membawa teh ke dalam kamar. Suaminya baru saja selesai mandi dan masih memakai handuk saja.
Sebagai wanita normal, tentu saja jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia masuk ke kamar. Namun, Nuri mencoba bersikap biasa saja karena ia malu kalau terang-terangan menatap suaminya dengan penuh damba. Pasti rasanya sangat nyaman berada di dalam dekapan suami saat malam tiba.
"Nuri, kamu bengong kenapa? Itu tehnya taruh saja di meja. Saya juga udah lapar nih, makan di kamar saja deh. Ambilkan makan sore hari ini ya, tapi bukan yang kamu masak tadi pagi. Ambilkan lauk yang dimasak Tika. Katanya tadi dia masak semur ayam." Nuri tersenyum sambil mengangguk. Ia menutupi rapat hatinya yang tersentil karena ucapan suaminya yang mengatakan tidak mau makan masakannya. Apakah masakannya benar-benar buruk?
Sabar, Nuri, sabar. Ini baru satu persen saja dari kedukaan yang adik kamu pernah alami. Ingat, ada mertua super baik yang selalu mendukung kamu. Batin Nuri menguatkan dirinya.
Nuri kembali ke dapur untuk mengambilkan makanan untuk suaminya. Nasi, ayam semur, lalapan timun, dan juga sambal. Semua ia masukkan dalam satu piring. Lalu ia juga mengiris buah apel yang ia letakkan di atas piring kecil.
"Bu, maaf, kalau Pak Dika, lauknya jangan disatukan semua, nanti salah. Ayam sama nasi dalam satu piring. Timun dan sambal di piring kecil khusus sambal dan lalapan. Sebentar saya ambilkan piringnya." Nuri hanya bisa terdiam melihat ART suaminya begitu hafal dengan rutinitas dan apa yang suka dan apa yang tidak disukai suaminya. Semua harus sempurna dan jika ingin jujur, ini sungguh melelahkan.
"Bapak mah gitu, Bu, padahal gak usah cari istri ya. Kan jadinya ribet ngasih tahunya. Saya saja yang melakukan semuanya juga sudah perfect." Bik Tika yang masih berusia dua puluh tahun itu tertawa geli.
"Tika, tolong bicara yang sopan dengan menantu saya ya. Bagaimanapun ia majikan kamu! Tentu saja anak saya tidak mungkin memilih pembantu untuk jadi istri." Bu Widya berdiri di samping Nuri dan menatap ART anaknya dengan tatapan tidak suka.
Nuri menemani suaminya makan di kamar. Ia tidak berani berkomentar apapun karena khawatir akan salah lagi. Lebih baik diam, kecuali suaminya menanyakan sesuatu. Dika makan dengan begitu lahap.Masakan Tika memang enak, ia pun mengakui, tetapi komentar Tika tadi di dapur membuatnya menjadi semakin tidak percaya diri menjadi istri Dika. Untunglah ia memiliki mertua super baik seperti Bu Widya, jika tidak, bisa saja, Tika akan lebih berani menyindir atau mengomentarinya.Kenapa harus dirinya yang didekati jika pria di depannya ini tidak benar-benar mencintainya atau tidak benar-benar menginginkannya menjadi istri? Semua masih tanda tanya besar dalam hatinya. Ia bukan merasa seperti istri dan nyonya di rumah sang Suami, tetapi rasanya seperti tamu saja. Jujur, ia pun belum sepenuh hati bulat mencintai suaminya, tetapi wanita itu perasaannya sangatlah halus. Rasa cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya saat respon dari pasangan juga sangat baik. Sebaik-baik rejeki adalah yang ada di hadap
"Mas, maaf, sejak tadi ponselnya berdering. Jadi saya pikir ini penting, mohon maaf kalau saya lancang." Nuri memberikan ponsel pada Dika. Wajah pria itu nampak terkejut begitu juga Bu Widya. Mereka saling pandang dengan canggung, khawatir Nuri mendengar apa yang mereka bicarakan. "Makasih," kata Dika. Nuri mengangguk tanpa senyum, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di kamar, tubuhnya luruh di lantai kamar yang dingin. Belum satu minggu ia menikah dan kenyataan pahit ia dapati tentang perasaan suaminya. Pantaslah suaminya tidak mau menyentuhnya, semua itu karena suaminya menyukai Nura. Perasaan orang tidak ada yang bisa dipaksakan, termasuk suaminya yang telah menikahinya tanpa cinta. Lantas kenapa ia yang dinikahi? Kenapa mempermainkan perasaannya? Wahai Nuri, sungguh malang nasibmu. Dinikahi pria hampir sempurna, tetapi hanya untuk status saja. Nuri menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh cengeng apalagi menyedihkan. Ia harus kuat karena memang hal l
"Kamu mau pesan makan apa?" tanya Dika pada Nuri saat keduanya sudah memegang buku menu. "Beneran boleh pesan makanan apa saja?" tanya Nuri balik karena ia harus memastikan suaminya tidak marah padanya jika ia memesan yang aneh. Dika tentu saja mengangguk yakin. "Mas, saya pesan menu di restoran ini yang paling mahal dan paling enak ya." Nuri tersenyum pada pelayan yang siap mencatat pesanannya. Dika menoleh pada Nuri dan pelayan itu bergantian. "Memangnya apa menu paling mahal dan enak di sini?" tanya Dika. "Kalkun panggang dengan saus Inggris." "Oh, pantes, pasti ongkirnya mahal banget." Nuri berkomentar. Pelayan menyeringai, sedangkan Dika tertawa. "Ya sudah, gak papa. Pesan itu saja." Pelayan mencatat menu makanan dan minuman pesanan sepasang pengantin itu, lalu ia beranjak dari sana untuk memberikan list pesanan pada chef yang bertugas. Nuri tidak bicara lagi, apalagi menanyakan sesuatu. Ia sibuk dengan belanjaannya yang sangat banyak dan merasa bersyukur di balik sik
"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal. "Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata. "Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras. "Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya. Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga,
Begitu sedih hatinya saat tidak mendapatkan ijin untuk melihat keponakan pertamanya aqiqah. Memang tubuhnya masih lemas, tetapi jika dipaksakan, pasti ia bisa berkumpul di sana dan siapa tahu saja dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, sakitnya bisa segera sembuh. Namun, lagi-lagi wajah tegang suaminya berputar di kepala, sehingga ia tidak mau membuat masalah baru dengan tidak patuh pada suaminya. Ponsel ia matikan. Lalu remot TV ia tekan untuk menyalakan televisi. Mungkin dengan menonton film drama atau film horor, rasa bosan dan sedihnya akan hilang. Tidak ada acara yang menarik, hanya ada satu channel TV luar yang sedang menayangkan acara Paris Fashion Week. Nuri menonton acara tersebut dengan sangat fokus. Sesekali ia berdecak kagum dengan model catwalk yang tinggi kurus, jalannya juga keren. Ditambah dengan pakaian yang mereka kenalan, membuat penampilan mereka semakin keren. Masih dengan TV yang menyala, Nuri mencari kertas dan alat tulis di meja kerja suaminya. Pe
"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?""Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira. Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi. "Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma du
"Saya anggap kamu tidak pernah mengeluarkan kalimat aneh seperti itu." Dika keluar dari kamar. Meninggalkan Nuri yang menggeram sendiri. Ia mengucap istighfar berkali-kali karena sudah bermain-main dengan kalimat yang ia sendiri tidak suka mendengarnya. Cukuplah Nura yang sudah sempat mengajukan gugatan perceraian pada almarhum Dadang, ia tidak mau mengikuti jejak adiknya. Bisa-bisa ibunya kena serangan jantung jika ia benar bercerai dari Dika. Dua orang yang berbeda karakter, tinggal dalam satu rumah tangga, tentu saja tidak mudah. Apalagi kedua belah pihak belum sama-sama ikhlas dengan statusnya. Bukan seorang Nuri yang belum ikhlas, tetapi Dika. Ada banyak teka-teki dalam diri suaminya yang sampai saat ini ia tidak mengetahui apakah itu. Jika memang suaminya tidak mencintainya, kenapa harus menikahinya? Kenapa selalu royal padanya? Apakah hidup berumah tangga cukup dengan uang saja? Sikap acuh, ketus, egois, bahkan tidak memberi nafkah batin apakah termasuk di dalamnya? Malam ti
"Mama tidak akan setuju. Mama pernah bilang kalau tidak akan ada pernikahan kakak dengan kakak, adik dengan adik. Jika kakak si perempuan menikah dengan kakak si lelaki, maka tidak ada pernikahan antara adiknya. Mama tidak akan menerima hal konyol seperti itu." Nuri tersenyum miris. Jelas sekali terlihat suaminya cemburu pada Willy. Berarti dengan Tika suaminya tidak ada hubungan. Bisa saja Tika yang selalu over PD memperlihatkan betapa ia dekat dengan majikannya. Mengalahkan istri majikan sendiri. Ini sudah jelas, bahwa Dika cemburu dan tidak suka kabar Willy akan menikahi Nura. Nuri yang tadinya duduk di depan suaminya, kini berdiri. Ia berpindah duduk menjadi di samping suaminya. "Mas cemburu?" bisik Nuri dengan ekspresi santai. Dika terkejut dengan sindiran Nuri yang tiba-tiba. Wajah pria itu kembali tegang dengan butiran keringat mulai membasahi dahinya. "Cemburu apa?" tanya Dika tak paham. "Jangan mengelak lagi, Mas. Mas itu menyukai Nuri, adik saya, tetapi Mas malah menik