Nuri menemani suaminya makan di kamar. Ia tidak berani berkomentar apapun karena khawatir akan salah lagi. Lebih baik diam, kecuali suaminya menanyakan sesuatu. Dika makan dengan begitu lahap.
Masakan Tika memang enak, ia pun mengakui, tetapi komentar Tika tadi di dapur membuatnya menjadi semakin tidak percaya diri menjadi istri Dika. Untunglah ia memiliki mertua super baik seperti Bu Widya, jika tidak, bisa saja, Tika akan lebih berani menyindir atau mengomentarinya.
Kenapa harus dirinya yang didekati jika pria di depannya ini tidak benar-benar mencintainya atau tidak benar-benar menginginkannya menjadi istri? Semua masih tanda tanya besar dalam hatinya. Ia bukan merasa seperti istri dan nyonya di rumah sang Suami, tetapi rasanya seperti tamu saja.
Jujur, ia pun belum sepenuh hati bulat mencintai suaminya, tetapi wanita itu perasaannya sangatlah halus. Rasa cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya saat respon dari pasangan juga sangat baik. Sebaik-baik rejeki adalah yang ada di hadapanmu saat ini, Nuri.
Helaan napas Nuri membuat Dika mengangkat wajahnya. Pria itu baru saja menuntaskan suapan terakhirnya. Ia mengambil gelas yang masih penuh dengan air putih.
"Kamu kenapa?" tanya Dika setelah pria itu meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja kecil.
"Eh, gak papa, Mas," jawab Nuri sambil tersenyum. Mana berani ia mengatakan bahwa suaminya ini sangat aneh dan membingungkan.
"Gak papa, tapi mendesah gitu, kayak yang lagi bosan?" tanya Dika lagi. Sungguh pria yang tidak peka. Apakah memang watak asli suaminya seperti ini? Batin Nuri.
"Beneran gak papa. Oh, iya, Mas, tepat tujuh hari Baby L nanti akan ada aqiqah di rumah Nura, kita datang ya? Saya udah kangen mau lihat dan mau gendong Baby L. Ponakan lelaki paling pertama." Nuri tersenyum senang membayangkan wajah keponakannya.
"Kapan? Masih lima harian lagikan?" Nuri mengangguk antusias. Jujur ia sangat ingin bertemu dengan keponakan lelaki pertamanya dan momen aqiqah sangat tepat untuknya melepas rindu melihat Baby L.
"Saya kayaknya ke luar kota. Ke Puncak, mau kunjungan ke Taman Safari. Mungkin akan menginap di sana dua malam karena ada meeting. Pulang saya dari sana saja kita melihat anak Nura." Bahu Nuri mendadak melorot karena kecewa.
"Berarti saat aqiqah Baby L, kita gak bisa ke sana, Mas? T-tapi.... "
"Setelah berumah tangga, perintah suami adalah yang utama bukan? Sebaik-baik istri adalah yang diam di rumah suaminya." Nuri tidak bisa membantah ucapan Dika. Suaminya benar, meskipun terkesan sedikit egois. Bukankah jika suaminya ke luar kota, bisa dirinya saja yang pergi. Lagian, pengantin baru, masa sudah dapat tugas menginap di luar kota.
"Oh, apa meeting nanti bisa bawa istri, Mas?"
"Ya gak, Sayang, bukan honeymoon, saya kerja. Gak mungkin bawa istri." Nuri menyeringai. Padahal kalau ia diajak, tentulah ia sangat senang karena sejak kecil ia sangat ingin pergi ke Taman Safari.
"Bawakan semua ini ke dapur lagi. Bau banget amis kalau lama-lama di kamar." Nuri mengangguk patuh. Piring makan dan gelas bekas suaminya, ia bawa turun ke dapur. Ia bingung, jika harus naik lagi ke kamar, maka ia tidak tahu akan membawakan tema perbincangan apa? Nuri pun memutuskan untuk pergi ke halaman belakang untuk memberi makan ikan koi peliharaan suaminya yang sudah besar-besar.
Ponsel di sakunya bergetar. Nuri mengerutkan kening saat menatap nomor yang tidak ia kenal di pesan w******p.
Assalamu'alaikum, Nuri, apa kabar? Masih ingat saya? Saya Daniel.
Nuri terbelalak begitu membaca nama pengirim pesan. Daniel?
Wa'alaykumussalam, saya sehat. Ini Kak Daniel anak Pak Harta?
"Serius sekali, sedang berkirim pesan dengan siapa?" kehadiran Dika yang tiba-tiba berada di belakang tubuhnya membuat Nuri terkejut. Namun ia mencoba biasa saja karena memang ia tidak sedang berkirim pesan dengan orang aneh.
"Ini, Mas, teman saya di kampung." Dika mengangguk tanpa ingin tahu detail pesan dari siapa dan isinya apa. Pria itu duduk di kursi sambil memperhatikan kandang burung Kakak Tua peliharaannya. Tidak menjadi hal aneh bagi Nuri yang mempunyai suami sangat senang dengan dunia hewan, karena memang sehari-harinya Dika berada di kebun binatang, walau bertugas di kantor.
"Mulai besok saya sudah masuk bekerja. Mama dan papa juga pulang ke rumah mereka."
"Bukannya cuti pernikahan itu satu minggu, Mas? Atau paling cepat biasanya tiga harian," tanya Nuri sambil menatap suaminya dengan tatapan tidak mengerti.
"Itu biasanya, saya kan tidak biasa. Lagian, saya di rumah juga ngapain, malah bosan juga saya." Nuri tertawa miris dalam hati. Ia ingin sekali mengomentari perkataan suaminya, tetapi ia khawatir Dika akan marah lagi padanya.
"Masa sudah ada istri masih bosan juga? Biar gak bosan, nanti malam kita jalan aja, Mas, kulineran ke mana gitu, Mas. Katanya Mas suka kuliner. Nanti kalau Mas udah kerja, pasti akan sangat sibuk," kata Nuri mengajak suaminya. Tentu saja wajahnya ia buat sesumringah mungkin agar keinginannya dikabulkan oleh sang Suami.
"Tika sudah masak banyak untuk hari ini. Kuliner bisa kapan saja. Mubazir kalau tidak dimakan." Nuri kembali bungkam.
"Saya masuk dulu ya, Mas, sebentar lagi azan magrib." Wanita itu sudah tidak sanggup bicara dengan suaminya. Semakin banyak kalimat yang ia tanyakan atau ia lontarkan, maka semakin tidak mengenakkan pula jawaban suaminya. Pria yang sangat misterius dan itu membuatnya kesal.
Untuk menghindari rasa kesal dan marah yang bersarang di dada, maka Nuri memutuskan mengambil Al-Quran kecil untuk ia baca. Sembari menunggu azan magrib, memang lebih baik mengaji dari pada ini melamun memikirkan kelakuan suaminya yang sulit ditebak.
Bu Widya menghampiri Dika yang masih nyaman duduk sambil menatap burung Kakak Tua. Dika menoleh, melemparkan senyum untuk mamanya.
"Mama balik jam berapa?" tanya Dika.
"Habis magrib saja. Nanggung sepuluh menit lagi magrib. Mama dengar istri kamu lagi ngaji di kamar. Nuri istri yang soliha, kamu sangat beruntung memiliki istri seperti Nuri." Bu Widya menyentuh pundak putranya.
"Mama paling tahu alasannya kan? Jadi jangan terlalu dilebih-lebihkan. Bagus memang kalau istri pandai mengaji, tetapi bukan suatu yang istimewa juga. Biasa saja." Bu Widya mendesah sambil menggelengkan kepalanya.
"Mama yakin, suatu hari kamu akan sangat menyesali momen di mana kamu tidak begitu peduli pada istri kamu, Dika. Wanita itu sudah sah kamu nikahi dan kamu boleh melakukan hal baik apapun padanya. Senyum kamu saja pada Nuri bernilai ibadah. Mama tahu, kamu pasti belum menyentuh istri kamu itu'kan? Kamu menunggu apa?" Dika pun ikut mendesah, kemudian ia tertawa pendek.
"Belum ingin saja. Mungkin besok, lusa, minggu depan, ya... gak tahu deh, Ma."
"Kalau Nura yang kamu nikahi, apakah begini juga respon tubuh dan otak kamu?" Dika bungkam.
"Jangan terlalu memaksakan takdir, Dika. Saat ini Nuri adalah istri kamu, bukan Nura seperti apa yang kamu inginkan."
Nuri menggenggam erat ponsel suaminya yang bergetar. Niat hati ingin memberitahu ada yang menelepon ke nomor suaminya, tetapi malah kejutan paling menyakitkan yang ia terima.
Dika mencintai Nura; adiknya, bukan dirinya.
"Mas, maaf, sejak tadi ponselnya berdering. Jadi saya pikir ini penting, mohon maaf kalau saya lancang." Nuri memberikan ponsel pada Dika. Wajah pria itu nampak terkejut begitu juga Bu Widya. Mereka saling pandang dengan canggung, khawatir Nuri mendengar apa yang mereka bicarakan. "Makasih," kata Dika. Nuri mengangguk tanpa senyum, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di kamar, tubuhnya luruh di lantai kamar yang dingin. Belum satu minggu ia menikah dan kenyataan pahit ia dapati tentang perasaan suaminya. Pantaslah suaminya tidak mau menyentuhnya, semua itu karena suaminya menyukai Nura. Perasaan orang tidak ada yang bisa dipaksakan, termasuk suaminya yang telah menikahinya tanpa cinta. Lantas kenapa ia yang dinikahi? Kenapa mempermainkan perasaannya? Wahai Nuri, sungguh malang nasibmu. Dinikahi pria hampir sempurna, tetapi hanya untuk status saja. Nuri menghapus air matanya dengan cepat. Ia tidak boleh cengeng apalagi menyedihkan. Ia harus kuat karena memang hal l
"Kamu mau pesan makan apa?" tanya Dika pada Nuri saat keduanya sudah memegang buku menu. "Beneran boleh pesan makanan apa saja?" tanya Nuri balik karena ia harus memastikan suaminya tidak marah padanya jika ia memesan yang aneh. Dika tentu saja mengangguk yakin. "Mas, saya pesan menu di restoran ini yang paling mahal dan paling enak ya." Nuri tersenyum pada pelayan yang siap mencatat pesanannya. Dika menoleh pada Nuri dan pelayan itu bergantian. "Memangnya apa menu paling mahal dan enak di sini?" tanya Dika. "Kalkun panggang dengan saus Inggris." "Oh, pantes, pasti ongkirnya mahal banget." Nuri berkomentar. Pelayan menyeringai, sedangkan Dika tertawa. "Ya sudah, gak papa. Pesan itu saja." Pelayan mencatat menu makanan dan minuman pesanan sepasang pengantin itu, lalu ia beranjak dari sana untuk memberikan list pesanan pada chef yang bertugas. Nuri tidak bicara lagi, apalagi menanyakan sesuatu. Ia sibuk dengan belanjaannya yang sangat banyak dan merasa bersyukur di balik sik
"Saya rasa ini masalah rumah tangga yang harus diselesaikan oleh suami-istri. Kita orang luar tidak berhak ikut campur. Mari, Pak Dika, saya akan menunggu di luar saja." Dokter itu pun keluar dari kamar diikuti oleh Dika. Tinggal Udin yang berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal. "Saya laporin ibu ya?!" Ancam Udin. Sontak Nuri menggeleng kuat sambil meneteskan air mata. "Orang mah nikah buat bahagia, Mbak. Kalau buat sengsara, tinggalin aja. Kek cuma dia makhluk Tuhan paling iya di muka bumi." Sindiran Udin membuat air mata Nuri semakin deras. "Udah, Mbak, jangan nangis! Sabar deh ya. Saya pamit, gak bisa lama-lama. Kalau ada sesuatu yang membahayakan, telepon saya langsung." Nuri mengangguk dari kejauhan. Udin pun pergi dari depan kamarnya. Nuri mengusap air mata. Ia harus kuat dan tetap semangat. Ia gak boleh cengeng dalam menghadapi Dika yang bersikap tidak peduli dengannya. Ia akan berusaha membuat suaminya melirik, mencintai, lalu menyentuhnya. Jika tidak berhasil juga,
Begitu sedih hatinya saat tidak mendapatkan ijin untuk melihat keponakan pertamanya aqiqah. Memang tubuhnya masih lemas, tetapi jika dipaksakan, pasti ia bisa berkumpul di sana dan siapa tahu saja dengan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya, sakitnya bisa segera sembuh. Namun, lagi-lagi wajah tegang suaminya berputar di kepala, sehingga ia tidak mau membuat masalah baru dengan tidak patuh pada suaminya. Ponsel ia matikan. Lalu remot TV ia tekan untuk menyalakan televisi. Mungkin dengan menonton film drama atau film horor, rasa bosan dan sedihnya akan hilang. Tidak ada acara yang menarik, hanya ada satu channel TV luar yang sedang menayangkan acara Paris Fashion Week. Nuri menonton acara tersebut dengan sangat fokus. Sesekali ia berdecak kagum dengan model catwalk yang tinggi kurus, jalannya juga keren. Ditambah dengan pakaian yang mereka kenalan, membuat penampilan mereka semakin keren. Masih dengan TV yang menyala, Nuri mencari kertas dan alat tulis di meja kerja suaminya. Pe
"Halo, assalamu'alaikum, kamu sedang apa, Nuri?""Wa'alaykumussalam, Mas, saya sedang memotong bahan baju. Saya mau buatkan sample baju untuk Tika.""Wah, bagus itu. Ya sudah kalau kamu sibuk, saya tutup.""Tapi saya gak.... "Sambungan itu terlanjur diputus suaminya, padahal pria itu belum benar-benar mendengar jawaban darinya. Nuri hanya bisa menghela napas panjang. Meteran baju yang ada di tangannya, ia masukkan kembali ke dalam kotak kecil. Hilang sudah semangatnya untuk memotong bahan, ketika suaminya lagi-lagi menganggapnya seadanya dan tidak begitu penting. Padahal saat tadi mengetahui nomor suaminya yang menelepon, hatinya sangat gembira. Nuri keluar dari kamar kerjanya. Jika ia nekat pergi ke rumah ibu untuk melihat keluarganya, ia khawatir Dika akan marah, sedangkan di rumah ia merasa bosan. Ditambah sikap acuh suaminya. Masih dua hari lagi suaminya pulang dan dua hari pun mungkin ia tidak akan ditelepon lagi. "Baik, Pak, apa lagi? Banyak amat pesannya. Tangan saya cuma du
"Saya anggap kamu tidak pernah mengeluarkan kalimat aneh seperti itu." Dika keluar dari kamar. Meninggalkan Nuri yang menggeram sendiri. Ia mengucap istighfar berkali-kali karena sudah bermain-main dengan kalimat yang ia sendiri tidak suka mendengarnya. Cukuplah Nura yang sudah sempat mengajukan gugatan perceraian pada almarhum Dadang, ia tidak mau mengikuti jejak adiknya. Bisa-bisa ibunya kena serangan jantung jika ia benar bercerai dari Dika. Dua orang yang berbeda karakter, tinggal dalam satu rumah tangga, tentu saja tidak mudah. Apalagi kedua belah pihak belum sama-sama ikhlas dengan statusnya. Bukan seorang Nuri yang belum ikhlas, tetapi Dika. Ada banyak teka-teki dalam diri suaminya yang sampai saat ini ia tidak mengetahui apakah itu. Jika memang suaminya tidak mencintainya, kenapa harus menikahinya? Kenapa selalu royal padanya? Apakah hidup berumah tangga cukup dengan uang saja? Sikap acuh, ketus, egois, bahkan tidak memberi nafkah batin apakah termasuk di dalamnya? Malam ti
"Mama tidak akan setuju. Mama pernah bilang kalau tidak akan ada pernikahan kakak dengan kakak, adik dengan adik. Jika kakak si perempuan menikah dengan kakak si lelaki, maka tidak ada pernikahan antara adiknya. Mama tidak akan menerima hal konyol seperti itu." Nuri tersenyum miris. Jelas sekali terlihat suaminya cemburu pada Willy. Berarti dengan Tika suaminya tidak ada hubungan. Bisa saja Tika yang selalu over PD memperlihatkan betapa ia dekat dengan majikannya. Mengalahkan istri majikan sendiri. Ini sudah jelas, bahwa Dika cemburu dan tidak suka kabar Willy akan menikahi Nura. Nuri yang tadinya duduk di depan suaminya, kini berdiri. Ia berpindah duduk menjadi di samping suaminya. "Mas cemburu?" bisik Nuri dengan ekspresi santai. Dika terkejut dengan sindiran Nuri yang tiba-tiba. Wajah pria itu kembali tegang dengan butiran keringat mulai membasahi dahinya. "Cemburu apa?" tanya Dika tak paham. "Jangan mengelak lagi, Mas. Mas itu menyukai Nuri, adik saya, tetapi Mas malah menik
"Tika, saya risih dengan pakaian pendek kamu hari ini. Apa kamu sudah kehabisan baju yang lebih panjang?" tegur Nuri saat memperhatikan Tika yang bolak-balik memakai baju terus pendek sepaha. Ditambah tanpa lengan. "Bu, saya lagi gerah banget. Biasanya juga saya gak pakai baju begini'kan?" Nuri menghela napas sambil menggelengkan kepalanya. "Ini sudah sore, sebentar lagi Mas Dika pulang, saya harap kamu sudah mengganti pakaian kamu dengan yang lebih sopan." Tika cemberut, kemudian gadis itu mengangguk tidak ikhlas. Nuri melanjutkan kegiatan memasang kancing baju di depan televisi, sambil menahan kesal pada Tika. Tidak lama berselang, suara motor suaminya berhenti di depan rumah. Nuri merapikan semua alat jahatnya dengan cepat. Ia tidak ingin suaminya cemberut karena melihat dirinya masih sibuk dengan alat jahit setelah di rumah. "Eh, sudah pulang, Pak," suara renyah Tika membuat Nuri menggeram. Ia pergi menyusul Tika yang sudah di depan pintu menyambut suaminya masih dengan pakaia