Share

4. Kabar Buruk

Nuri menemani suaminya makan di kamar. Ia tidak berani berkomentar apapun karena khawatir akan salah lagi. Lebih baik diam, kecuali suaminya menanyakan sesuatu. Dika makan dengan begitu lahap.

Masakan Tika memang enak, ia pun mengakui, tetapi komentar Tika tadi di dapur membuatnya menjadi semakin tidak percaya diri menjadi istri Dika. Untunglah ia memiliki mertua super baik seperti Bu Widya, jika tidak, bisa saja, Tika akan lebih berani menyindir atau mengomentarinya.

Kenapa harus dirinya yang didekati jika pria di depannya ini tidak benar-benar mencintainya atau tidak benar-benar menginginkannya menjadi istri? Semua masih tanda tanya besar dalam hatinya. Ia bukan merasa seperti istri dan nyonya di rumah sang Suami, tetapi rasanya seperti tamu saja. 

Jujur, ia pun belum sepenuh hati bulat mencintai suaminya, tetapi wanita itu perasaannya sangatlah halus. Rasa cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya saat respon dari pasangan juga sangat baik. Sebaik-baik rejeki adalah yang ada di hadapanmu saat ini, Nuri. 

Helaan napas Nuri membuat Dika mengangkat wajahnya. Pria itu baru saja menuntaskan suapan terakhirnya. Ia mengambil gelas yang masih penuh dengan air putih. 

"Kamu kenapa?" tanya Dika setelah pria itu meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja kecil. 

"Eh, gak papa, Mas," jawab Nuri sambil tersenyum. Mana berani ia mengatakan bahwa suaminya ini sangat aneh dan membingungkan. 

"Gak papa, tapi mendesah gitu, kayak yang lagi bosan?" tanya Dika lagi. Sungguh pria yang tidak peka. Apakah memang watak asli suaminya seperti ini? Batin Nuri. 

"Beneran gak papa. Oh, iya, Mas, tepat tujuh hari Baby L nanti akan ada aqiqah di rumah Nura, kita datang ya? Saya udah kangen mau lihat dan mau gendong Baby L. Ponakan lelaki paling pertama." Nuri tersenyum senang membayangkan wajah keponakannya. 

"Kapan? Masih lima harian lagikan?" Nuri mengangguk antusias. Jujur ia sangat ingin bertemu dengan keponakan lelaki pertamanya dan momen aqiqah sangat tepat untuknya melepas rindu melihat Baby L. 

"Saya kayaknya ke luar kota. Ke Puncak, mau kunjungan ke Taman Safari. Mungkin akan menginap di sana dua malam karena ada meeting. Pulang saya dari sana saja kita melihat anak Nura." Bahu Nuri mendadak melorot karena kecewa. 

"Berarti saat aqiqah Baby L, kita gak bisa ke sana, Mas? T-tapi.... "

"Setelah berumah tangga, perintah suami adalah yang utama bukan? Sebaik-baik istri adalah yang diam di rumah suaminya." Nuri tidak bisa membantah ucapan Dika. Suaminya benar, meskipun terkesan sedikit egois. Bukankah jika suaminya ke luar kota, bisa dirinya saja yang pergi. Lagian, pengantin baru, masa sudah dapat tugas menginap di luar kota.

"Oh, apa meeting nanti bisa bawa istri, Mas?" 

"Ya gak, Sayang, bukan honeymoon, saya kerja. Gak mungkin bawa istri." Nuri menyeringai. Padahal kalau ia diajak, tentulah ia sangat senang karena sejak kecil ia sangat ingin pergi ke Taman Safari. 

"Bawakan semua ini ke dapur lagi. Bau banget amis kalau lama-lama di kamar." Nuri mengangguk patuh. Piring makan dan gelas bekas suaminya, ia bawa turun ke dapur. Ia bingung, jika harus naik lagi ke kamar, maka ia tidak tahu akan membawakan tema perbincangan apa? Nuri pun memutuskan untuk pergi ke halaman belakang untuk memberi makan ikan koi peliharaan suaminya yang sudah besar-besar. 

Ponsel di sakunya bergetar. Nuri mengerutkan kening saat menatap nomor yang tidak ia kenal di pesan w******p.

Assalamu'alaikum, Nuri, apa kabar? Masih ingat saya? Saya Daniel.

Nuri terbelalak begitu membaca nama pengirim pesan. Daniel? 

Wa'alaykumussalam, saya sehat. Ini Kak Daniel anak Pak Harta?

"Serius sekali, sedang berkirim pesan dengan siapa?" kehadiran Dika yang tiba-tiba berada di belakang tubuhnya membuat Nuri terkejut. Namun ia mencoba biasa saja karena memang ia tidak sedang berkirim pesan dengan orang aneh. 

"Ini, Mas, teman saya di kampung." Dika mengangguk tanpa ingin tahu detail pesan dari siapa dan isinya apa. Pria itu duduk di kursi sambil memperhatikan kandang burung Kakak Tua peliharaannya. Tidak menjadi hal aneh bagi Nuri yang mempunyai suami sangat senang dengan dunia hewan, karena memang sehari-harinya Dika berada di kebun binatang, walau bertugas di kantor. 

"Mulai besok saya sudah masuk bekerja. Mama dan papa juga pulang ke rumah mereka."

"Bukannya cuti pernikahan itu satu minggu, Mas? Atau paling cepat biasanya tiga harian," tanya Nuri sambil menatap suaminya dengan tatapan tidak mengerti. 

"Itu biasanya, saya kan tidak biasa. Lagian, saya di rumah juga ngapain, malah bosan juga saya." Nuri tertawa miris dalam hati. Ia ingin sekali mengomentari perkataan suaminya, tetapi ia khawatir Dika akan marah lagi padanya. 

"Masa sudah ada istri masih bosan juga? Biar gak bosan, nanti malam kita jalan aja, Mas, kulineran ke mana gitu, Mas. Katanya Mas suka kuliner. Nanti kalau Mas udah kerja, pasti akan sangat sibuk," kata Nuri mengajak suaminya. Tentu saja wajahnya ia buat sesumringah mungkin agar keinginannya dikabulkan oleh sang Suami. 

"Tika sudah masak banyak untuk hari ini. Kuliner bisa kapan saja. Mubazir kalau tidak dimakan." Nuri kembali bungkam. 

"Saya masuk dulu ya, Mas, sebentar lagi azan magrib." Wanita itu sudah tidak sanggup bicara dengan suaminya. Semakin banyak kalimat yang ia tanyakan atau ia lontarkan, maka semakin tidak mengenakkan pula jawaban suaminya. Pria yang sangat misterius dan itu membuatnya kesal. 

Untuk menghindari rasa kesal dan marah yang bersarang di dada, maka Nuri memutuskan mengambil Al-Quran kecil untuk ia baca. Sembari menunggu azan magrib, memang lebih baik mengaji dari pada ini melamun memikirkan kelakuan suaminya yang sulit ditebak. 

Bu Widya menghampiri Dika yang masih nyaman duduk sambil menatap burung Kakak Tua. Dika menoleh, melemparkan senyum untuk mamanya. 

"Mama balik jam berapa?" tanya Dika. 

"Habis magrib saja. Nanggung sepuluh menit lagi magrib. Mama dengar istri kamu lagi ngaji di kamar. Nuri istri yang soliha, kamu sangat beruntung memiliki istri seperti Nuri." Bu Widya menyentuh pundak putranya. 

"Mama paling tahu alasannya kan? Jadi jangan terlalu dilebih-lebihkan. Bagus memang kalau istri pandai mengaji, tetapi bukan suatu yang istimewa juga. Biasa saja." Bu Widya mendesah sambil menggelengkan kepalanya. 

"Mama yakin, suatu hari kamu akan sangat menyesali momen di mana kamu tidak begitu peduli pada istri kamu, Dika. Wanita itu sudah sah kamu nikahi dan kamu boleh melakukan hal baik apapun padanya. Senyum kamu saja pada Nuri bernilai ibadah. Mama tahu, kamu pasti belum menyentuh istri kamu itu'kan? Kamu menunggu apa?" Dika pun ikut mendesah, kemudian ia tertawa pendek. 

"Belum ingin saja. Mungkin besok, lusa, minggu depan, ya... gak tahu deh, Ma."

"Kalau Nura yang kamu nikahi, apakah begini juga respon tubuh dan otak kamu?" Dika bungkam. 

"Jangan terlalu memaksakan takdir, Dika. Saat ini Nuri adalah istri kamu, bukan Nura seperti apa yang kamu inginkan."

Nuri menggenggam erat ponsel suaminya yang bergetar. Niat hati ingin memberitahu ada yang menelepon ke nomor suaminya, tetapi malah kejutan paling menyakitkan yang ia terima.

Dika mencintai Nura; adiknya, bukan dirinya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
kenapa harus menambahkan nuri...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status