Share

2. Keasinan

Andika memang sudah tidur dengan pulas. Suara dengkuran halus terdengar teratur, mengisi ruang kamar yang senyap. Hanya ada suara rintik hujan di luar sana, menemani perasaan gundah istrinya. Ya, setelah Dika mengatakan belum ada hasrat pada dirinya, bagaimana mungkin ia bisa tidur? Apakah ia benar tidak menarik? Ia tidak seksi? Bukankah lelaki yang normal tentu saja menginginkan menyentuh wanita yang baru ia nikahi, kecuali memang alasannya tepat. Seperti ia saat ini sedang datang bulan. 

Nuri terjaga sepanjang malam, hingga menjelang subuh. Ini adalah kali pertama ia tidur bersama lawan jenis, ditambah hanya punggung suaminya yang bisa ia pandangi saja. 

Nuri memutuskan untuk melaksanakan shalat malam.

Selesai shalat dan memanjatkan doa, Nuri akhirnya bisa juga memejamkan matanya. 

"Nuri, bangun!" Wanita itu menyadari ada yang menepuk-nepuk pundaknya, tetapi karena ia sangat mengantuk, ia tidak sanggup membuka mata. 

"Nuri, bangun! Ini sudah jam lima subuh! Saya mau sarapan. Ayo, bangun!" Seru Dika lagi lebih dekat ke telinga Nuri. Istrinya tersentak kaget, lalu memaksakan diri untuk benar-benar membuka mata. 

"Maaf, Mas, sebentar saya bangun." Nuri duduk bersandar di kepala ranjang, lalu ia menggosok matanya dengan kuat. 

"Memangnya kamu begadang? Kenapa bangunnya susah?" tanya Dika sambil menggelengkan kepala. Pria itu turun dari ranjang, masih lengkap dengan pakaian shalat dan juga sarung. Nuri segera turun untuk berwudhu. Rasanya sungguh malu, di hari pertama sebagai istri, ia malah kesiangan. 

Nuri tidak mendapati suaminya ada di kamar begitu ia selesai mandi dan berwudhu. Ia pun segera shalat agar bisa lebih cepat untuk membuat sarapan. Ayah dan ibu mertuanya pasti juga sudah menunggunya. 

"Eh, Ibu sudah bangun. Gak papa, Bu, biar saya yang masak sarapan. Perkenalkan, Bu, saya Tika. Sudah bekerja bersama Pak Dika tiga tahun. Jadi Ibu jangan sungkan, biar saya kerjakan seperti apa yang biasa saya kerjakan, Bu." Nuri hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. ART suaminya itu masih muda dan bertubuh sintal. Terlihat sangat polos dan masih muda. 

"Oh, tidak apa-apa, Tika. Ini hari pertama sama sebagai istri dan menantu. Jadi, biarkan saya yang memasak sarapan untuk pagi ini ya. Kalau untuk menu makan siang, baru kamu yang kerjakan. Bagaimana?" Nuri menatap penuh harap. Cukup satu kali ia mengecewakan suaminya karena bangun kesiangan, jangan sampai ia tidak melakukan apa-apa setelah bangun pagi. 

"Baik, Bu, ini bahannya sudah ada, tinggal diolah saja. Nasi goreng daun jeruk, telur balado, dan tempe orek. Semua bahan sudah siap olah. Saya akan mengerjakan yang lain. Mungkin membuat jus." Nuri tersenyum senang. Kepalanya sempat menoleh ke belakang rumah. Suara orang berbincang, diselingi tawa terdengar dari sana. Pasti suami dan mertuanya yang tengah berkumpul di halaman belakang. 

"Nuri, kamu sedang apa di dapur?" tanya Bu Widya sambil mengusap pundak menantunya. Wanita setengah baya itu tersenyum dengan begitu tulus. 

"Membuat sarapan, Ma." Nuri ikut tersenyum malu-malu. 

"Sudah ada Kartika yang mengerjakan, biarkan Tika saja semuanya. Kamu kan pengantin baru, masa di dapur. Tunggu, kenapa kamu gak keramas?" tanya Bu Widya heran. Wanita dewasa itu baru sadar bahwa rambut menantunya tidak basah, padahal ini pagi pertama sebagai pengantin. 

"Keramasnya udah kemarin sore saat akan ke rumah sakit, Ma," jawab Nuri jujur. Ya, memang ia keramas saat akan ke rumah sakit, tetapi bukan keramas karena malam pertama dengan suaminya, melainkan karena gerah setelah seharian melewati prosesi pernikahan. Bu Widya mengangguk pelan, tetapi dari tatapannya, wanita itu merasa ada yang salah dengan menantunya. 

"Ya sudah, kalau begitu, saya akan tunggu di halaman belakang ya. Dika dan papanya sedang main bulu tangkis. Kalau sudah selesai, panggil saja."

"Baik, Ma." Nuri mengangguk paham. Ini sudah hampir jam enam yang tandanya ia harus bergegas. Suaminya biasa sarapan jam setengah tujuh pagi, untuk itu ia tidak boleh mengecewakan pria itu lagi. 

Tepat sesuai target, semua makanan sudah tersedia di atas meja makan. Tika membantu menata seperti biasa, sedangkan Nuri masuk ke kamar untuk mengganti pakaian. Bajunya terkena noda minyak dan itu ia khawatirkan bisa diprotes oleh Dika. 

"Wah, sarapannya banyak ini!" Seru Dika menatap meja makan sudah penuh dengan aneka menu. 

"Ayo, Mas, kita makan!" Nuri tersenyum senang karena ekspresi suaminya yang tampak gembira. Sebelum disajikan, semua makanan sudah ia cicipi terlebih dahulu, agar memastikan rasanya tidak asin atau terlalu manis. Wanita itu menarik kursi untuk Dika, mempersilakan suaminya duduk. Lalu Nuri duduk tepat di samping suaminya. Dia mertuanya juga sudah duduk berhadapan dengan mereka. 

"Jus buah naga dulu deh. Habis olah raga, rasanya butuh yang segar-segar." Dika meraih gelas jus yang masih penuh isinya. Pria itu meneguknya sampai tandas. Begitu juga dengan papanya. 

"Sudah, jangan kebanyakan minum, nanti makan nasinya tidak berselera," tegur Bu Widya pada dua lelaki yang ada di dekatnya. 

"Tika memang selalu pandai membuat jus. Antara rasa susu dan buah, serta gula juga pas semua, makasih, Tik!" Seru Dika memuji ART yang sudah lama bekerja untuknya itu. 

"Sama-sama, Pak." Tika mengangguk sambil tersenyum. Ia meletakkan teko teh hangat dengan hati-hati di atas meja, lalu segera beranjak dari sana. 

Suara motor berhenti di depan rumah. Dika berdiri sebentar untuk memastikan siapa tamunya, ternyata Willy. Adiknya yang datang ingin menumpang sarapan. Pria itu menggelengkan kepalanya. 

"Assalamu'alaikum," sapa Willy sambil tersenyum lebar. 

"Wa'alaykumussalam," jawab semua orang yang sudah duduk di kursi makan. Nuri tersenyum pada Willy, saat pemuda itu melemparkan senyum padanya. 

"Bawa-bawa ransel mau ke mana?" tanya Bu Widya pada putra bungsunya itu. 

"Mau ke rumah sakit, Ma, biasa, nemenin Mbak Nura dan Baby L. Ini isinya pakaian ganti." Bu Widya nampak menghela napas kasar, dengan wajah yang berubah masam. Nuri hanya berani melirik sekilas, karena ia tahu, bahwa ibu mertuanya ini tidak setuju kalau Nura adiknya, berdekatan dengan Willy, anak bungsunya. 

"Memangnya kamu gak ke kampus? Nura masih ada ibunya yang menunggui," tanya Bu Widya masih dengan intonasi tidak suka. 

"Mama, ini adalah hari minggu, tentu saja saya libur ngampus. Besok baru ke kampus. Lagian udah tinggal urus wisuda saja, jadi lebih santai. Sudah, ayolah, kita makan! Keburu dingin nasinya ini!" Willy dengan tak sabar menyendiri nasi goreng jeruk terlebih dahulu ke dalam piringnya. Lalu ia mengambil satu butir telur balado. Hal yang sama dilakukan oleh Nuri. Ia mengambilkan nasi lengkap dengan teman lauk-pauk untuk Andika. 

"Terima kasih, Istriku," kata Dika sambil mengusap rambut Nuri dengan lembut. 

"Sama-sama, Mas." Nuri tersenyum malu-malu karena diperlakukan manis di depan orang banyak. 

"Cuih! Asin! Ya ampun, Tika! Tika!" Wajah Nuri mendadak pucat. Tika berlari menuju ruang makan mendengar panggilan menggelegar majikannya. 

"Masak apa ini? Kamu masak nasi goreng pakai garam, atau masak garam pakai nasi goreng?!" Bentak Dika emosi. 

"P-pak, maaf, bukan saya yang masak, t-tapi Bu Nuri. Saya hanya bikin jus buah." Semua mata memandang ke arah Nuri, hingga membuat wanita itu gemetar ketakutan. 

"Nuri, pertama kamu kesiangan bangun. Sekarang kamu membuat nafsu makan saya hancur berantakan!" Dika bangun dari duduknya, sembari membanting sendok. 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Harus yah kayak gitu marah2 namanya jg br pertama kali masak
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
gesrek pisan. apan kawin teh maneh kudu hasrat heula mereun.... leuneng Sia mah ...
goodnovel comment avatar
AsK'A'R'A❤️
ko curiga sama Tika ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status