Rama masih berdiri terpaku di ambang pintu. Wajah Arman pucat, dan selang infus masih tertancap di tangan kirinya. Tapi yang membuat Rama terdiam adalah pemandangan lain—di atas brankar rumah sakit itu, sang ayah tetap memeriksa beberapa berkas yang tampaknya penting. Pena di tangannya bergerak pelan, tangan yang biasanya kokoh kini sedikit bergetar.“Papa...” ucap Rama lirih, suara yang lebih mencerminkan campuran rasa khawatir dan tak percaya.Arman hanya menoleh sekilas. “Kamu sudah datang.”Rama melangkah mendekat, ingin merebut berkas itu dan menyuruh ayahnya berhenti bekerja, tapi ia menahan diri. Ia tahu betul, ini bukan tentang keras kepala. Ini tentang tanggung jawab.Beruntung Cinta berhasil meyakinkannya untuk segera pulang. Seandainya tidak, mungkin Rama akan menghabiskan sisa hidupnya dalam penyesalan, karena merasa menjadi anak yang tidak berguna. Dalam hati, Rama merasa telah memilih perempuan yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya.Di sisi ranjang, Widya menoleh
Lampu-lampu jalan berpendar redup di balik jendela kamar, dan suara detak jam terdengar jelas dalam keheningan. Chiara sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, wajah kecilnya begitu damai, napasnya teratur. Rambut hitam legamnya mengembang di atas bantal, pipinya merona, seolah semua penderitaan kemarin hanya bayang samar yang perlahan memudar.Rama duduk di tepi tempat tidur, memandangi gadis kecil itu dengan sorot mata sendu. Ia menunduk, lalu mengecup kening Chiara dengan lembut, seperti ingin menyampaikan janji diam-diam, bahwa dia akan memberikan yang terbaik untuknya, menebus kesalahan yang telah dia lakukan."Papa sayang kamu," bisik Rama lirih, nyaris tak terdengar.Dia bangkit pelan, lalu berjalan mendekati Cinta yang tengah merapikan beberapa barang di meja kecil. Ia berdiri di belakangnya, lalu melingkarkan lengannya di pinggang perempuan itu. Cinta tersenyum kecil, tidak terkejut, hanya menoleh sedikit saat Rama mendekat dan mencium bibirnya singkat namun sarat makna."Ras
Suasana Bandara Changi dipenuhi para pelancong yang lalu-lalang. Cinta menggenggam tangan Chiara yang mengenakan sweater kuning pucat dan celana panjang berbahan lembut. Rambut pendek Chiara tampak rapi, dan pipinya mulai kembali merona. Tak ada lagi selang infus di tangan, tak ada lagi kursi roda. Hari itu mereka kembali ke Indonesia, siap menghadapi kenyataan yang selama ini mereka tunda.Rama berjalan beberapa langkah di depan mereka, mengenakan hoodie abu-abu dan kacamata hitam gelap. Penampilannya berbeda dari biasanya, tidak mencolok, sebagai upaya untuk terlihat tidak dikenali. Dia tidak ingin wajahnya tertangkap kamera bandara atau bahkan dikenali oleh kenalan lama yang bisa saja langsung mengabari kedua orang tuannya yang belum tahu apa pun tentang Cinta dan Chiara.Cinta memerhatikan Rama dari belakang. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya dia tahu Rama sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Perjalanan pulang ini bukan sekadar soal berpindah tempat. Ada hal rumit yang se
Evita tak menjawab. Ia hanya menatap Dion, penuh luka, penuh kecewa, dan tanpa kata. Dion terdiam, membaca tatapan itu. Ia tahu, perempuan di hadapannya sedang hancur. Bukan karena dia, tapi karena pria lain. Namun Evita berdiri di pintunya malam ini. Itu cukup.“Mau masuk?” tanya Dion penuh basa basi sambil membuka lebar pintu kamarnya, memberi jalan kepada Evita.Calon penerus Loekito Corporation itu melangkah masuk, mengabaikan harga dirinya. Ia hanya ingin berhenti merasa sendiri, walau sejenak.Dengan perlahan Dion menutup pintu kamarnya, dan menatap Evita yang berdiri memunggungi dirinya.“Ada yang bisa ku bantu?”Tak ada jawaban, Evita membalikkan tubuhnya, menatap Dion dengan tatapan yang sulit di artikan.“Aku menyesal….” Evita menjeda kalimatnya sambil menatap mata Dion yang melebar menunggunya melanjutkan kalimat.Evita menghembuskan napas secara kasar, mengurai kegugupan dan menyingkirkan luka hatinya. Dia ingin bersenang-senang sejenak.“Aku menyesal karena melakukannya d
Evita terdiam sejenak. Ada dilemma dalam hatinya, berbohong atau mengatakan keadaan yang sejujurnya.“Iya, Tante… Kami meninjau proyek bersama. Semuanya berjalan lancar, kok.” Bagi Evita ini jawaban yang paling menguntungkan“Bagus,” sahut Widya cepat, nadanya penuh harapan. “Berarti sekarang kalian sedang bersama, kan? Kalian menikmatinya.”Evita kembali tertawa, kali ini terdengar sedikit canggung. “I iya, Tante.”Widya mengangguk pelan meski Evita tak bisa melihatnya. “Tante senang mendengarnya. Kamu tahu, Evita… tadi papanya Rama marah-marah habis hubungi Rama. Katanya Rama main perempuan lagi… padahal kan sekarang dia sedang bersama kamu.”Widya tertawa renyah, seolah menganggap kekhawatiran sang suami adalah hal yang lucu, dan pantas ditertawakan bersama Evita.“Tante percaya sama kamu. Tante yakin, Rama tidak akan aneh-aneh kalau kalau sama kamu.Ada jeda dari seberang, lalu terdengar suara tawa Evita. “Terima kasih, Tante. Aku… aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi aku sena
“Apa?”Widya membeliakkan matanya lebar, begitu terkejut mendengar kabar yang baru saja di sampaikan oleh suaminya.Tetapi tidak lama kemudian Widya memalingkan wajahnya menyembunyikan seulas senyum di bibirnya. Dalam benaknya, saat ini Rama sedang bersama Evita, seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.Widya sudah membayangkan jika saat ini Rama sudah melupakan Cinta. Perempuan yang tidak pernah mendapat restu darinya bahkan sejak masih muda, apalagi sekarang dengan status janda, dan masa lalu yang pernah menjadi seorang perempuan pemuas nafsu bayaran. Tentu Widya akan berusaha keras untuk memisahkan mereka.Dan kini, kabar baik itu menyapa Widya. Dalam hati kecilnya, Widya justru merasa lega. Jika benar saat ini Rama yang sedang bersama Evita, itu berarti rencananya sudah mengalami kemajuan. Dan setelah mereka kembali dari mengurus proyek di Semarang, Widya akan segera mendesak keduanya untuk segera meresmikan hubungan.Widya mendekat, menyentuh lengan Arman dengan lembut, l
Malam itu, di kamar hotel yang hangat dan remang, Rama memeluk Cinta dengan penuh gairah. Suasana penuh keintiman, hanya ada mereka berdua dan waktu yang terasa melambat. Cinta membalas pelukan dan sentuhan Rama dengan kelembutan yang selama ini mereka rindukan. Tak ada kata yang diucapkan, hanya napas dan desir emosi yang mengalir mengiringi kebersamaan.Namun, denting ponsel yang berulang kali berdering memecah keheningan. Sekali. Dua kali. Hingga ketiga kalinya, Rama mengumpat pelan, gusar karena terganggu di tengah momen yang paling ingin ia nikmati tanpa ada gangguan sedikit pun.Dengan enggan, dia mengulurkan tangan ke meja nakas, mengambil ponsel itu. Layar menunjukkan nama yang tak mungkin ia abaikan, ternyata sang papa yang menghubunginya.Rama mengubah posisinya duduk bersandar kepala ranjang, Cinta bergerak pelan di atasnya, seolah enggan melepaskan pernyatuan yang belum mencapai puncak.Rama menghela napas berat, lalu mengangkat panggilan itu, berusaha menetralkan nada su
Pertanyaan itu menghantam seperti palu. Dion membeku sejenak, sebelum akhirnya ia menarik napas panjang dan mendekat.“Evita, aku pikir kita sepakat untuk melupakan malam itu.”“Tapi kamu belum jawab.”Dion memandang wajah Evita yang tenang, tapi sorot matanya penuh kecemasan yang coba disembunyikan. Ia mengusap pelipisnya sebentar, lalu menggeleng.“Aku… aku tidak ingat,” jawab Dion sekenanya.Evita tak mengucap sepatah kata pun. Ia mengalihkan pandangannya. Di matanya terselip sesuatu yang tak bisa dijelaskan, antara marah, takut, dan bimbang.Langit sore tampak kelabu. Dion, yang semula bersikap tenang, mendadak terdiam. Pertanyaan itu memukulnya seperti pukulan yang tak terduga di dada. Ia menatap Evita lama, mencoba membaca ekspresi di balik wajah cantik yang kini tak setegar tadi.“Evita,” ujar Dion akhirnya, suaranya rendah tapi tegas. “Aku pastikan, malam itu tidak akan mengubah hidup siapa pun. Aku... aku bertanggung jawab atas semua yang terjadi.”Evita tertawa kecil, hambar
Setelah makan siang dan minum obat, tubuh kecil Chiara mulai melemah, matanya perlahan terpejam. Cinta dengan lembut menyelimuti putrinya, lalu duduk di sisi ranjang, menatap wajah damai itu.Sesaat kemudian, Rama mendekat dari belakang dan memeluk tubuh Cinta dengan tenang, wajahnya disandarkan di pundaknya.“Balik ke hotel sebentar, yuk,” bisik Rama lirih, hangat di telinga Cinta.Cinta menoleh perlahan, tatapannya tertuju kembali pada Chiara yang kini tertidur pulas. Ragu menyelinap di matanya, ada perasaan bersalah meninggalkan putri mereka walau hanya sebentar.Rama, yang seolah tahu isi hati Cinta, menambahkan dengan suara yang lebih meyakinkan, “Aku sudah titipkan Chiara pada perawat jaga. Mereka akan langsung hubungi kita kalau ada apa-apa.”Cinta menatap Rama sejenak. Ia tahu persis apa yang diinginkan lelaki itu, dan sejujurnya, ia pun merindukan kehangatan yang sama. Dengan anggukan samar, ia berdiri, mengambil tas jinjing kecil yang selalu ia bawa berisi barang pribadinya.