Share

107. Menunggu Dion

last update Last Updated: 2025-05-03 12:03:05

Begitu sampai di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Dion langsung turun dan mengetuk pintu kayu berwarna coklat kusam. Seorang pria paruh baya berwajah teduh membukakan pintu.

Pakaiannya sederhana, sarung dan baju koko putih bersih. Tampaknya dia baru saja pulang dari masjid kecil di seberang jalan.

“Maaf, Pak Ustaz. Kenalkan nama saya Dion,” ucap Dion dengan terburu-buru, lalu menjelaskan maksud kedatangannya.

Wajah sang ustaz berubah serius. Ia duduk di kursi kayu dan mempersilakan Dion duduk.

“Menikah siri, ya?” gumam sang ustaz perlahan sambil menarik napas panjang. “Ananda paham, bukan, pernikahan itu bukan perkara main-main? Apa bosmu sedang berpoligami?”

“Tidak, Pak Ustaz,” jawab Dion cepat. “Bos saya masih single. Calon istrinya seorang janda. Sudah punya anak satu.”

Ustaz itu mengangguk kecil, namun sorot matanya tetap penuh kehati-hatian. “Sudah hamil?”

Dion menggeleng. “Tidak, Ustaz.” Dion terlihat sangat yakin dan mantap saat menjawab. Karena setelah Cinta menyelesa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Priskila Hendi
Apa sih Dion ga tahu apa² tentang masa lalu Rama & Cinta, ngomongin Cinta si janda, si janda hahaha
goodnovel comment avatar
Imah Sitiso
ikut deg degan hahahaahaaa jangan dikasih drama lagi lagh kak segera sah kan Rama dan cinta
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    132. Rencana tak Terduga

    Pertanyaan itu menghantam seperti palu. Dion membeku sejenak, sebelum akhirnya ia menarik napas panjang dan mendekat.“Evita, aku pikir kita sepakat untuk melupakan malam itu.”“Tapi kamu belum jawab.”Dion memandang wajah Evita yang tenang, tapi sorot matanya penuh kecemasan yang coba disembunyikan. Ia mengusap pelipisnya sebentar, lalu menggeleng.“Aku… aku tidak ingat,” jawab Dion sekenanya.Evita tak mengucap sepatah kata pun. Ia mengalihkan pandangannya. Di matanya terselip sesuatu yang tak bisa dijelaskan, antara marah, takut, dan bimbang.Langit sore tampak kelabu. Dion, yang semula bersikap tenang, mendadak terdiam. Pertanyaan itu memukulnya seperti pukulan yang tak terduga di dada. Ia menatap Evita lama, mencoba membaca ekspresi di balik wajah cantik yang kini tak setegar tadi.“Evita,” ujar Dion akhirnya, suaranya rendah tapi tegas. “Aku pastikan, malam itu tidak akan mengubah hidup siapa pun. Aku... aku bertanggung jawab atas semua yang terjadi.”Evita tertawa kecil, hambar

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    131. Pengaman

    Setelah makan siang dan minum obat, tubuh kecil Chiara mulai melemah, matanya perlahan terpejam. Cinta dengan lembut menyelimuti putrinya, lalu duduk di sisi ranjang, menatap wajah damai itu.Sesaat kemudian, Rama mendekat dari belakang dan memeluk tubuh Cinta dengan tenang, wajahnya disandarkan di pundaknya.“Balik ke hotel sebentar, yuk,” bisik Rama lirih, hangat di telinga Cinta.Cinta menoleh perlahan, tatapannya tertuju kembali pada Chiara yang kini tertidur pulas. Ragu menyelinap di matanya, ada perasaan bersalah meninggalkan putri mereka walau hanya sebentar.Rama, yang seolah tahu isi hati Cinta, menambahkan dengan suara yang lebih meyakinkan, “Aku sudah titipkan Chiara pada perawat jaga. Mereka akan langsung hubungi kita kalau ada apa-apa.”Cinta menatap Rama sejenak. Ia tahu persis apa yang diinginkan lelaki itu, dan sejujurnya, ia pun merindukan kehangatan yang sama. Dengan anggukan samar, ia berdiri, mengambil tas jinjing kecil yang selalu ia bawa berisi barang pribadinya.

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    130. Tempat Ternyaman

    Pagi itu, aroma antiseptik masih memenuhi ruang perawatan VVIP di rumah sakit Singapura. Suasana lebih tenang dari hari sebelumnya. Di ranjang yang bersih dan rapi, Chiara duduk bersandar dengan wajah lebih segar, meski masih tampak lemah. Di sampingnya, Cinta setia menemani, menggenggam tangan putrinya dengan kasih. Ketukan pelan di pintu terdengar, disusul masuknya seorang pria paruh baya berseragam medis putih dengan name tag bertuliskan Dr. Lim Wei Han, dokter yang menangani Chiara selama pengobatan di Singapura. Senyumnya hangat dan profesional. “Good morning, Chiara, Madam Cinta,” sapa dokter Lim sambil membuka berkas medis digital di tabletnya. Cinta dan Chiara membalas sapaan itu, lalu Dr. Lim mulai memeriksa kondisi fisik Chiara. Ia memeriksa reaksi refleks, kekuatan otot kaki, dan memantau denyut serta tekanan darah. Setelah serangkaian pemeriksaan ringan, ia duduk di bangku dekat ranjang dan menatap mereka dengan tenang. “Chiara menunjukkan progres yang sangat baik pasc

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    129. Senjata Makan Nona

    Evita menyandarkan tubuh ke bantal, menatap langit-langit kamar hotel yang sudah dia pesan untuk Rama. Baginya malam tadi bukanlah malam biasa. Itu adalah langkah besar dari rencana yang sudah ia susun selama berbulan-bulan.Evita sadar, tubuhnya adalah senjata, ia tahu targetnya lemah terhadap godaan. Dan keperawanan yang dia persembahkan adalah jerat yang akan membuat Rama tidak akan melepaskannya.Dari dalam kamar mandi, suara gemericik air masih terdengar. Tak lama, air berhenti. Keheningan sesaat.Kemudian terdengar suara siulan pria dari dalam, seolah menunjukkan kepuasan tiada tara yang baru dia dapatkan.Evita tak berkata apa-apa, hanya tersenyum lebih lebar. Senyum yang tahu bahwa malam itu bukan sekadar "malam terbaik" untuk sang pria, tapi mungkin juga malam paling menentukan dalam strategi permainannya.Evitq menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, pandangannya tak lepas dari pintu kamar mandi yang akan segera terbuka. Mata penuh teka-teki itu menunggu langkah selanjutny

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    128. Jalur yang Benar

    Jarum jam terus berputar, dan malam telah merangkak jauh melewati tengah malam. Lampu di kamar rawat inap itu dibiarkan menyala temaram. Cinta duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kecil Chiara yang akhirnya bisa terlelap setelah berjam-jam bergumul dengan rasa sakit pasca operasi. Wajah mungil itu terlihat damai, meski sesekali napasnya terdengar berat.Cinta mengelus lembut rambut anaknya, berusaha tetap tenang. Tapi pikirannya jauh melayang, menembus waktu, kembali ke hari yang kelam, hari saat hidupnya berubah selamanya.Hari saat Chiara tertabrak. Hari saat darah membasahi jalanan dan ia berteriak histeris memeluk tubuh mungil yang bersimbah luka. Hari saat dia berjuang sendiri, menangis di ruang UGD, sementara Kevin, pria yang seharusnya berdiri di sisinya, tidak hanya abai, tetapi juga memilih menceraikannya dengan dalih telah mempermalukan dirinya yang ketahuan selingkuh dengan sekretarisnya.Napas Cinta memburu. Bayangan-bayangan itu menghantamnya seperti badai.Lalu kini

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    127. Di Sebuah Kamar Hotel

    Pada saat Rama menikmati jamuan mewah, suasana jauh berbeda dengan yang dihadapi Cinta di rumah sakit. Cinta duduk di sisi ranjang Chiara, menggenggam tangan mungil putrinya. Wajah Chiara memucat, peluh membasahi dahinya, dan tubuh kecilnya menggeliat menahan nyeri.“Ma... sakit... Sakit banget... Ma,” tangis Chiara pecah, lemah dan terdengar menyayat hati.Cinta langsung panik, matanya bergerak cepat mencari tombol panggil perawat. “Chiara, sayang, Mama di sini, ya. Tahan sebentar... sebentar lagi perawat datang...”Rengekan Chiara makin keras saat efek obat bius benar-benar menghilang. Bekas sayatan operasi masih baru, dan rasa sakit itu mengalir deras ke saraf-sarafnya. Cinta ingin menggantikan rasa sakit itu, kalau bisa. Ia usap kening Chiara, mencium jemarinya, menahan air mata yang ingin jatuh.Tak lama kemudian, dua perawat masuk. Salah satunya segera memeriksa catatan medis, yang lain menyiapkan injeksi pereda nyeri.“Ini normal, Bu,” ucap perawat itu dengan lembut dan santun.

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    126. Jamuan Memabukkan

    Operasi Chiara berjalan sukses. Senyum dokter Lim Wei Han yang menyambut mereka di ruang konsultasi pascaoperasi menjadi kabar paling melegakan bagi Rama dan Cinta.“Operasi stabilisasi tulang kaki kiri Chiara berjalan lancar,” jelas dokter Lim Wei Han dengan nada tenang. “Kami berhasil merekonstruksi bagian yang mengalami kerusakan akibat trauma, dan implan sudah terpasang sempurna. Namun, proses penyembuhan pascaoperasi sangat krusial.”Cinta menggenggam tangan Rama erat. Matanya berkaca-kaca.“Chiara akan menjalani fisioterapi bertahap untuk memperkuat otot-otot di sekitar sendi lutut dan pergelangan kaki. Kami juga akan melakukan terapi okupasi ringan, untuk membiasakan kembali fungsi mobilitasnya secara perlahan. Dalam satu minggu ke depan, kami akan mulai dengan latihan gerakan pasif dibantu alat, kemudian progresif menuju latihan aktif dan berdiri dengan bantuan,” lanjut dokter Lim.“Berarti... dia bisa berjalan lagi?” tanya Cinta dengan suara pelan.Dokter Lim Wei Han mengangg

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    125. Impian Kevin

    Priambodo menatap Kevin dalam-dalam, mencoba menelisik kebenaran dari setiap kata yang keluar. Tapi Kevin pandai bermain peran. Sorot matanya dibuat seolah-olah pecahan dari hati yang hancur.“Cinta mulai berubah sejak proyek kerja sama antara kami dan perusahaan Rama. Awalnya saya pikir dia hanya mengagumi pria itu secara profesional… tapi kemudian saya sadar, mereka lebih dari sekadar rekan bisnis. Saya terlalu sibuk menyelamatkan perusahaan yang sudah digoyang Rama. Dan saat saya sadar, mereka sudah bersama… dan meninggalkan saya.”Suara Kevin nyaris tercekat. Ia memainkan rasa bersalah yang dalam, seolah-olah ia adalah korban dari takdir dan pengkhianatan.Priambodo menarik napas berat. Wajahnya tak menunjukkan emosi yang jelas, namun tangannya yang mengusap dagu menandakan pikirannya sedang berputar.“Apa yang kamu inginkan sekarang, Kevin?” tanya Priambodo pelan.Kevin menunduk dalam-dalam, lalu mendongak dengan mata penuh luka.“Saya hanya ingin keluarga saya kembali. Saya ingi

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    124. Kevin Mengadu

    Pagi itu rumah sakit terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan semalam menyisakan embun tipis di jendela ruang tunggu. Di ruang rawat khusus anak, Chiara duduk di ranjangnya dengan bantal peluk di tangan. Rambutnya diikat dua, seperti biasa, tapi kali ini matanya sedikit sayu.Rama duduk di sampingnya, menggenggam tangan kecil itu dengan penuh kelembutan. Senyum hangat terukir di wajahnya, meski hatinya dicekam kekhawatiran.“Chia sudah siap?” tanya Rama pelan. “Operasinya sebentar lagi. Setelah itu, kamu bakal mulai jalan pelan-pelan lagi.”Chiara menunduk. Bibirnya mengerucut, menahan rasa takut yang mulai menyeruak.“Tapi… kalau operasinya gagal? Kalau Chia nggak bisa jalan lagi?” tanya Chiara lirih, ada ketakutan dalam tiap katanya.Rama menarik napas. Ada getaran di dadanya. Ia membelai rambut anak itu, lalu memeluknya erat.“Kalau itu terjadi… papa akan jadi kaki buat kamu. Papa yang akan gendong kamu ke mana pun kamu mau. Mau ke taman, ke sekolah, ke pantai. Ke mana aja.”Chiara

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status