Dengan napas terburu-buru dan suara yang penuh ketegangan, Priambodo masih menggenggam ponsel di telinga. Di seberang, Harris terdengar menarik napas panjang sebelum akhirnya memberikan jawaban“Jadi kau mau aku mengeluarkan anak dan istrimu dari rumah sakit, lalu membawa mereka ke rumahmu yang di luar kota?Priambodo menelan ludah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Aku tahu ini gila, Haris. Dan mungkin akan membahayakan Rahmania dan juga putri kami. Tapi aku tidak punya pilihan. Ibu dan Eyang Kakung bisa saja mengirim orang mereka ke rumah sakit begitu tahu Rahmania melahirkan lalu mengambil anak kamu. Aku harus jauhkan mereka dari bahaya. Aku mohon…”Sejenak sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam di dinding dan deru napas Priambodo.Akhirnya Harris berkata pelan, “Kamu sadar ini bisa membuat hubunganmu dengan keluargamu makin hancur?”“Aku lebih rela kehilangan semuanya, Har. Asal jangan istri dan anakku.”Di ujung sana, Harris tertawa kecil meski terdengar getir. “Kamu meman
Kontraksi datang semakin sering dan menyiksa dengan rasa sakit yang sangat. Nafas Rahmania terputus-putus, tubuhnya gemetar. Tak ada tangan suaminya untuk digenggam, tak ada suara Priambodo yang biasa menenangkannya saat ia cemas.Tapi Rahmania tahu, ia harus kuat. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk bayi yang sedang berjuang bersamanya dari dalam sana.Rahmania menggigit bibir menahan jeritan. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mengikuti aba-aba dokter. Berulang kali ia mengejan, mata sampai berair, napasnya pun tercekat, tubuhnya terasa seperti terbelah. Rasa sakit itu seolah tak berujung, menusuk sampai menembus ke tulang.Hingga perjuangan itu tiba pada garis akhir, saat terdengar tangis bayi yang nyaring dan kuat, memenuhi ruangan.Tangis itu seketika meluruhkan semua rasa sakit. Rahmania menangis, bukan karena sakit, tapi karena rasa syukur yang begitu besar. Dokter mengangkat seorang bayi mungil, wajahnya kemerahan, matanya masih terpejam.“Selamat, Bu Rahmania. Putri Anda lah
“Jangan bilang ini adalah acara pernikahanku!”Sang ibu berdiri dari kursinya, merapikan kebayanya dengan tenang lalu menoleh ke putranya. “Kamu nurut saja, Priam. Hidupmu akan lebih sejahtera dari yang pernah kamu bayangkan.”“Aku bukan boneka keluarga!” bentak Priambodo. Tapi sebelum ia sempat membuka pintu, dua pria berjas hitam yang berdiri di sisi mobil membukakan pintu dengan sopan, namun gerak mereka cepat dan sigap. Seperti sudah terlatih untuk menghadapi penolakan.Dengan wajah dingin, mereka menggiring Priambodo masuk ke dalam rumah. Tak ada yang kasar, tapi juga tak ada ruang untuk melawan. Hanya tekanan halus yang membuat langkah kaki terasa seperti rantai.Priambodo digiring ke lantai atas dan dimasukkan ke sebuah kamar berdekorasi klasik. Setelah ia melangkah masuk, pintu di belakangnya ditutup dan suara klik terdengar. Terkunci dari luar.Dia berdiri mematung. Kamar itu besar dan mewah, tapi kini tak ubahnya penjara emas.***Sementara itu, jauh dari rumah besar itu, Ra
Mata Priambodo nanar menatap batu nisan itu, lalu perlahan menunduk.“Maaf aku jarang ke sini… terlalu sibuk dengan dunia yang tidak pernah benar-benar tenang sejak kamu pergi,” gumamnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar, tertelan oleh desir angin pagi.“Tapi hari ini, aku ke sini… karena aku merasa kehilangan arah.”Angin menggerakkan daun-daun di atas kepalanya, menciptakan bayang-bayang yang bergoyang pelan di atas tanah. Priambodo menutup mata sejenak. Di balik kelopak yang meremang itu, dia memanggil kembali bayangan istrinya, suara lembutnya, tawa kecilnya, dan cara Rahmania menyentuh lengan setiap kali dia terlalu serius bekerja.“Aku rindu kamu…” bisiknya. “Aku merindukan anak kita.”Di antara sunyi dan dedaunan yang jatuh, lelaki tua itu tetap berlutut, bersandar pada kenangan dan cinta yang tak pernah selesai.Pagi yang teduh di pemakaman itu memudar perlahan, digantikan oleh ingatan yang menyeruak tanpa ampun. Masa lalu menampakkan diri dengan gamblang, seperti layar leb
Setelah menikmati pergulatan panas yang penuh gairah bersama Cinta, beban pikiran Rama perlahan terasa luruh. Kehangatan tubuh istrinya seolah menjadi obat mujarab yang mampu meredakan segala resah yang sejak tadi mengganggu pikirannya.Pertemuan dengan Kevin, kejutan dari Priambodo, serta tekanan dari Widya, semuanya seperti menguap, larut dalam dekapan lembut malam dan aroma khas tubuh Cinta yang menenangkan.Rama menyibak rambut Cinta yang jatuh di pipinya, lalu menatap wajah perempuan itu dengan penuh sayang. Tidak ingin terus memikirkan apa yang terjadi di pesta tadi Rama mencoba memulai pembicaraan dengan istrinya.“Kamu mau rayain ulang tahun di mana tahun ini?” tanya Rama pelan, sambil membelai pipi istrinya dengan ujung jemari. “Kamu mau hadiah apa?Cinta sempat terdiam. Pertanyaan sederhana itu terasa rumit baginya. Jika boleh memilih satu hal yang dia inginkan, itu adalah legalitas pernikahan mereka. Statusnya sebagai istri jelas, tidak seperti perempuan simpanan. Begitu ju
Niat Rama untuk segera pulang tampaknya harus tertunda. Setelah percakapan penuh tekanan bersama Priambodo dan pertemuan mengejutkan dengan Kevin, kini dia harus terperangkap dalam lingkaran lain yang tak kalah menyita tenaga, mamanya sendiri dengan sirkel sosialitanya.Widya tengah duduk bersama dua temannya, mengenakan gaun elegan berwarna lembut, dan tertawa kecil dengan anggun. Di tengah-tengah mereka berdiri seorang gadis muda, anggun, sopan, dan tampak dipoles sempurna.Sekilas, Rama mengenal wajah itu dari salah satu acara sosial yang pernah ia hadiri. Gadis itu beberapa kali mencuri pandang ke arahnya, senyumnya malu-malu, tapi jelas diarahkan penuh harap.Rama mendekat sekadarnya, menahan nafas. Ia tahu betul medan ini lebih licin daripada pertemuan bisnis manapun. Dan benar saja, setelah beberapa basa-basi singkat, ibu sang gadis mulai membuka pembicaraan dengan nada menggoda.“Setelah ditinggal nikah sama Evita,” ucapnya sambil melirik putrinya, “apa rencana Rama selanjutny