Untuk beberapa detik, Kevin hanya diam. Tak ada senyum, tak ada reaksi. Hanya tatap mata yang kosong, seolah otaknya belum bisa memproses informasi itu. “Aku... tidak bercanda, Kevin. Aku sudah periksa. Dan hasilnya positif,” ucap Maira dengan suara gemetar. Kevin mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menatap langit-langit. Dunia seperti berputar di kepalanya. Pilihan-pilihan yang dia pikir bisa dikendalikan, kini mulai menghantam balik satu per satu. “Cinta dan Priambodo tidak boleh tahu soal ini…” gumam Kevin pelan. “Tapi ini anakmu, Kevin!” bentak Maira. “Kamu tidak bisa terus mempermainkan aku kayak gini.” Kevin memejamkan matanya. Untuk pertama kalinya, pria itu terlihat terpojok. Dalam kebingungan dan kecemasan yang memuncak, Kevin berjalan mondar-mandir di kamar, menarik napas dalam-dalam. Lalu ia berhenti di hadapan Maira yang masih berdiri kaku dengan jubah tidur yang setengah terbuka. Biasanya hal ini akan membuat Kevin kembali bergairah, tapi kali ini menatapn
Dengan lembut, Priambodo duduk di samping putrinya.“Cinta… mencintai seseorang itu tidak pernah salah,” katanya perlahan, “tapi melupakan diri sendiri karena cinta, itu yang harus kamu hindari.”Cinta memejamkan mata, menahan tangis yang hampir pecah lagi. Luka di hatinya memang dalam, tapi cinta masih belum mati dan mungkin tidak akn pernah mati. Dan itulah yang paling menyakitkan.Priambodo menatap wajah putrinya yang penuh luka. Suaranya tenang, tapi tegas, seakan ingin menanamkan kebenaran ke dalam hati Cinta.“Cinta… ” gumam Priambodo pelan. “Sebuah hubungan, apa pun itu, entah itu pertemanan, persahabatan, bisnis, bahkan rumah tangga, semua itu arus dibangun di atas kejujuran. Sekali fondasinya retak oleh kebohongan, semuanya bisa runtuh kapan saja.”Cinta memejamkan mata. Air mata kembali mengalir tanpa bisa ia tahan.“Lalu… bagaimana dengan rumah tanggamu dengan Rama?”Pertanyaan yang membuat hati Cinta tertohok.Dalam benaknya, potongan-potongan kenangan datang menghantam ta
Di dalam rumah yang megah dan tenang itu, suara tawa Chiara yang begitu riang baru saja menghilang, berganti dengan suara rengekan khas anak kecil yang memaksa. “Ma, ayo temuin Papa. Dia pasti kangen sama kita, Ma. Masa Papa jauh-jauh ke sini, Mama nggak mau ketemu?” Cinta menunduk, tidak langsung memberi jawaban. Chiara mengguncang pelan tangan ibunya, membuat Cinta akhirnya menatap wajah mungil itu, wajah putrinya yang selalu menjadi penyemangat hidupnya. Wajah yang pernah hampir dilenyapkan oleh kesalahan fatal yang dilakukan oleh Rama. Dengan perlahan, Cinta menarik Chiara ke dalam pelukannya. Dirangkulnya putrinya erat-erat, seolah memeluk kenyataan pahit yang sulit untuk disampaikan. “Sayang…” bisik Cinta dengan suara bergetar, “Mama belum bisa sekarang.” Chiara mendongak. “Kenapa Ma? Chiara kasihan sama Papa sendirian di apartemen, pasti kesepian. Padahal Papa baru pulang dari Singapura. Chiara pikir Papa bakal diajak masuk, terus tinggal di sini bareng kita, tapi malah di
Rama menatap sosok gagah Priambodo yang berdiri beberapa meter di depannya, mengenakan kemeja putih dengan tangan disilangkan di depan dada. Tatapan pria paruh baya itu tajam, dingin, namun penuh wibawa. Tak ada senyum sambutan, hanya sorot mata yang menyiratkan luka dan pertahanan.Dengan perlahan, Rama menurunkan Chiara dari gendongannya.“Main lagi ya, Sayang,” ucap Rama lembut, menepuk kepala kecil itu dengan sayang. “Papa mau bicara dulu sama... Opa.”Chiara mengangguk cepat, lalu dengan polosnya berkata, “Chiara mau bilang ke Mama, kalau Papa udah datang!”Sebelum Rama sempat menahan, gadis kecil itu sudah berlari kecil menuju arah dalam rumah, meninggalkan dua pria dewasa dalam suasana yang tegang dan saling beradu tatap dengan pandangan yang tidak bersahabat.Priambodo sempat menoleh ke arah Chiara pergi, lalu tanpa sepatah kata pun, dia membalikkan badan dan mulai melangkah perlahan menuju sisi samping rumah. Jalannya tegap, tenang, tapi jelas menunjukkan bahwa dia tidak ingi
Arman menatap Widya dengan tajam, pandangannya penuh luka dan kekecewaan yang tak ia tutupi lagi."Jadi selama ini kamu menolak Cinta karena kamu menganggap dia bukan siapa-siapa?" ucap Arman dengan nada dingin. "Dan sekarang setelah kamu tahu dia putri kandung Priambodo, kamu baru ingin menerima dia?"Widya tak menjawab. Hanya menunduk, seolah kata-kata Arman adalah tamparan yang lebih menyakitkan dari sebelumnya.Arman menggeleng pelan, kecewa. “Mungkin kamu pikir setelah tahu semua ini, semuanya bisa kembali baik… kamu bisa merestui mereka, dan semua selesai.”Ia melangkah lebih dekat, menatap istrinya dalam.“Tapi, Widya, kalau kamu berpikir seperti itu, mungkin kamu harus berpikir ulang… karena mungkin sekarang Priambodo yang tidak akan pernah memberi restu untuk Rama dan Cinta. Bukan hanya karena penolakanmu dahulu… tapi karena Rama sendiri telah melakukan kesalahan yang sangat besar, kesalahan yang tidak mudah dimaafkan.”Suasana ruangan mendadak begitu sunyi. Hanya terdengar n
Plak!Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Rama.Rama terdiam. Wajahnya menoleh akibat dorongan tamparan itu. Nafasnya tercekat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, sang papa menamparnya.Selo Ardi ikut tercekat, namun Arman berdiri tegak di hadapan putranya, matanya tajam dipenuhi amarah dan kekecewaan yang tak tertahankan."Papa…" ucap Rama nyaris tak terdengar."Bagaimana bisa kamu meninggalkan anak kecil terluka dan tergeletak begitu saja, hanya demi mengejar janji bertemu investor?” Suara Arman bergetar, menahan amarah yang mengelegak.“Kamu tega meninggalkannya dalam kondisi mengenaskan, hanya demi presentasi?!"Widya yang sejak tadi berdiri tak jauh dari sana, akhirnya angkat suara, berusaha membela. “Arman, jangan menyalahkan Rama seperti itu. Saat itu dia benar-benar harus ke bandara untuk menyambut investor dari Tiongkok. Pertemuan itu penting untuk kelangsungan perusahaan kita!”Arman langsung menoleh tajam. “Kelangsungan perusahaan? Widya, ini bukan soal investasi dan