“Kau ingin membunuh suamimu?” Rama menarik kembali dasinya hingga kembali longgar dan berantakkan.“Kamu bikin kaget.”“Lihat, kan, kamu bikin rusak lagi,” gumam Rama, dengan mata berbinar karene bisa lebih lama bersama sang istri. “Pokoknya, kamu harus janji, turutin satu perintah aku yang ini.”Cinta tersenyum, menatap Rama dengan manja. “Perintah apa?”Rama menunduk sedikit, bibirnya hampir menyentuh Cinta. “Jangan dekat-dekat sama pria lain, apalagi yang lebih tua. Paham?”Cinta mengangguk patuh, tidak merasa dikekang. Dia sadar inilah cara Rama melindunginga.“Siap, Pak.”Setelah dasi Rama kembali rapi, Rama hendak melabuhkan kecupan lembut di bibir Cinta, tapi tiba-tiba terdengar suara gedoran keras di pintu kamar mereka.“Papa, Mama! Cepat! Aku nggak mau terlambat sekolah!” teriak Chiara dari luar.Cinta dan Rama terkejut, lalu tertawa bersama, saling melempar pandang seolah tahu bahwa putri kecil mereka memang tak pernah memberi mereka waktu terlalu lama untuk bermesraan.Deng
Di sebuah kafe mewah yang tersembunyi di tengah hiruk pikuk kota, Kevin duduk berhadapan dengan Lilian, mamanya yang selama ini menjadi penasihat licik sekaligus partner dalam segala rencananya.Lilian tampak elegan seperti biasa, mengenakan setelan mahal dengan riasan sempurna, sorot matanya tajam penuh perhitungan."Kevin, mama sudah bilang sejak dulu, Priambodo bukan orang yang mudah dikendalikan. Dia terlalu kaku, terlalu berhati-hati." Lilian mengaduk kopinya perlahan, suaranya terdengar berat dan penuh pertimbangan.Kevin mengusap wajahnya yang mulai lelah, frustasi karena kesabarannya yang setipis tisu masih harus terus diuji. Tidak mudah mendapatkan Cinta dan Chiara kembali, dan sulit meyakinkan Priambodo.Pengusaha senior itu mampu mengendalikan pembicaraan di antara mereka. Setiap pertemuan akan diisi dengan pembicaraan serius dan melelahkan tentang bisnis mereka. Lalu beralih sebentar tentang keluarga. Setelahnya Kevin disuruh pergi begitu saja, tanpa adanya petunjuk apa pu
Di ruang kerja mewah yang tertata rapi dengan jendela besar menghadap pusat kota, Priambodo tengah duduk santai sambil menyeruput kopi hangat. Di hadapannya, Kevin, dengan rapi memaparkan laporan perkembangan Sanjaya Group setelah mendapatkan suntikan modal dari Priambodo."Bagaimana progresnya? Modal yang saya percayakan ke kamu, saya harap tidak sia-sia, Kevin," tanya Priambodo dengan nada santai namun tatapannya tajam, menuntut kejujuran.Kevin menyunggingkan senyum percaya diri. "Semuanya berjalan sesuai rencana, Om. Setelah mendapat tambahan modal, Sanjaya mampu membuka kembali proyek-proyek yang sempat tertunda. Bahkan, beberapa kontrak dengan vendor besar mulai kembali terbuka."Priambodo mengangguk perlahan. "Bagus. Saya senang mendengarnya."Kevin melanjutkan dengan suara tenang namun terukur. "Target keuangan triwulan ini juga hampir tercapai. Memang ada sedikit kendala di internal, tapi itu masalah kecil, Om. Masih bisa saya kendalikan."Priambodo mengerutkan kening. "Masal
Cinta hanya mendengus kasar mendengar celotehan Chiara, lalu dia menatap suaminya, sedikit gugup, tapi dia tahu, cepat atau lambat Rama harus tahu.“Nanti aku ceritakan. Tapi janji, kamu jangan marah dulu,” ucap Cinta pelan, dia tidak ingin Chiara menyaksikan kemarahan Rama.Tatap mata Rama justru semakin mengeras, menunjukkan amarah yang dia tahan.“Aku tidak janji. Kalau memang ada yang mengganggu kamu, aku tidak akan tinggal diam.”Cinta sebenarnya paham betul dengan kecemburuan Rama. Dia mengerti bagaimana protektifnya sang suami, terlebih bila menyangkut dirinya dan Chiara.Namun, Cinta juga tahu, Rama adalah seorang pengusaha besar, setiap tindakan gegabah bisa memberi dampak pada bisnis dan reputasinya. Dengan lembut, Cinta mencoba menahan Rama agar tidak bertindak emosional. Apalagi yang mereka hadapi adalah Priambodo, seorang pengusaha senior yang sangat berpengaruh.Cinta menatap Chiara sejenak, bocah itu masih duduk manis di posisinya, tanpa mengetahui ada tensi panas di de
Di ruang kerja yang megah dan dipenuhi aroma kayu tua, Priambodo duduk di balik meja besar berukir. Wajahnya murung, matanya kosong menatap lembar-lembar laporan yang sebenarnya tidak dia baca. Theo, orang kepercayaannya, duduk di seberang, menunggu tuannya bicara lebih dulu.“Aku rasa Rama benar-benar telah menguasai hati putriku, Theo,” gumam Priambodo pelan, seolah mengadu. “Cinta terlihat takut dekat dengan pria lain, mungkin Rama mengancamnya sehingga Cinta takut.”Theo yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan sopan, “Maaf, Pak. Kalau boleh saya tahu… Bagaimana Bapak mendekati Cinta waktu itu?”Priambodo mengangkat alis, seperti pertanyaan itu aneh baginya. “Ya… saya menghampirinya, mengajak bicara. Saya tawarkan bantuan, saya coba ramah. Saya bahkan ingin membayar belanjaannya, membantu membawakan barangnya.”Nada bicara Priambodo terdengar santai, seolah tidak merasa ada yang salah.Theo tersenyum kecil, lalu dengan hati-hati berkata, “Mungkin bukan karena takut pada
Suasana supermarket siang itu cukup ramai, tapi di antara kerumunan, Cinta dan Chiara tampak seperti berada dalam dunia mereka sendiri. Ibu dan anak itu begitu menikmati waktu bersama, menelusuri lorong demi lorong sambil sesekali tertawa kecil. Chiara yang mendorong keranjang belanja dengan semangat, tampak sangat antusias memilih barang-barang kebutuhan rumah.“Jangan lupa beli sabun papanya, Ma. Papa kan sukanya yang wangi lemon,” ucap Chiara sambil mengambil dua botol sabun mandi dan memasukkannya ke dalam keranjang.Cinta tersenyum lembut, “Iya, Mama hampir lupa.”Chiara berlari kecil ke rak sebelah, mengambil kopi hitam merek favorit Rama, lalu mengambil beberapa bungkus camilan yang sering Rama makan di sela pekerjaan.“Ini kopi papa, terus ini… keripik pedas kesukaan papa! Oh, sama cokelat mint, papa suka itu kan, Ma?”Cinta mengangguk, hatinya hangat melihat betapa Chiara mengenal Rama begitu baik.“Kamu ini, kayaknya lebih hafal belanjaan papa dibanding mama,” goda Cinta sam