Setibanya di restoran mewah, seorang karyawan segera mengarahkan Rama dan Cinta ke tempat yang sudah dipesan sebelumnya.
Tanpa sepatah kata, Rama sedikit mengulurkan lengannya. Tatap matanya memberi perintah yang tak terbantahkan. Cinta ragu sejenak, tapi dia tahu tak ada pilihan lain. Dengan gerakan anggun, dia membelitkan lengannya ke lengan Rama, menciptakan pemandangan keserasian yang nyaris sempurna. Rama dan Cinta berjalan berdampingan, seolah pasangan serasi yang memasuki ruangan dengan percaya diri. Namun di balik senyum tipis Rama, terselip ancaman yang tak terucap. Rama membungkuk sedikit, suaranya rendah dan tajam kala berbisik di telinga Cinta. "Mainkan peranmu dengan baik. Jangan mempermalukan aku." Cinta meneguk ludah, berusaha menjaga ketenangan. Menarik napas dalam, Cinta menatap lurus ke depan memulai sandiwara. Pikir Cinta, ini adalah bagian dari pekerjaan. Betapa terkejutnya Cinta saat dia melihat sosok di hadapannya. Dahulu Cinta pernah berada dalam situasi yang sama saat mendampingi Kevin, dalam pertemuan seperti ini, dengan klien yang sama. Hendra Wijaya, seorang pria berusia lima puluhan, mengenakan jas mahal dan duduk di samping istrinya yang anggun. Namun, tatapannya tertuju pada Cinta lebih lama dari seharusnya. Tatap mata dan senyum licik Hendra Wijaya, menyisakan rasa tidak nyaman di hati Cinta. Setelah hidangan penutup disajikan dan percakapan bisnis hampir mencapai kesepakatan, ponsel istri Hendra Wijaya berdering. "Maaf, saya harus menerima panggilan ini sebentar," ucap istri Hendra Wijaya dengan senyum ramah sebelum bangkit dan melangkah menjauh dari meja menuju area yang lebih tenang. Cinta berusaha tetap tenang, tetapi dia merasakan tatapan Hendra Wijaya semakin intens. Rama, yang masih fokus pada pembicaraan bisnis, tidak menyadari pergerakan pria paruh baya itu yang kini sedikit bergeser, mendekat ke arahnya. Lalu, dengan suara rendah dan nada yang seakan menguliti setiap lapisan pertahanannya, Hendra Wijaya berbisik, "Inikah profesi terselubung Ex Nyonya Sanjaya yang membuatnya diceraikan secara tiba-tiba?" Cinta merasakan napasnya tertahan, benar-benar tidak tahu arah pembicaraan pria di hadapannya. "Setelah Rama Narendra meninggalkan kota ini," sambung Hendra Wijaya dengan nada licik, "kamu bisa bekerja dengan saya, dan saya akan membayarmu dengan harga yang sanagt tinggi." Terdengar suara langkah kaki mendekat, istri Hendra Wijaya kembali. Hendra Wijaya langsung kembali ke posisinya semula, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Cinta merasakan dadanya sesak. Kata-kata Hendra Wijaya masih terngiang di kepalanya. Dia menatap Rama, berharap menemukan jawaban. Namun, Rama tampak tenang, seolah menikmati tatapan merendahkan dari Hendra Wijaya terhadap dirinya. Makan malam dengan Hendra Wijaya berakhir. Setelah menempuh perjalanan yang penuh dengan kesunyian, akhirnya mereka tiba di vila. Cinta merasa tugasnya hari ini sudah selesai dan bersiap menuju kamarnya. Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Rama menarik tangannya. Tubuh rampingnya membentur dada Rama dan terperangkap dalam pelukan pria itu. Cinta menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Apa lagi yang harus saya lakukan? Membuatkan kopi atau mempersiapkan keperluan Anda untuk esok hari?" Suara Cinta terdengar tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Rama menyeringai dengan sorot mata yang merendahkan. "Tugasmu tidak berhenti di sini, Cinta," bisiknya di dekat telinganya. "Layani aku di atas ranjang!" Darah Cinta berdesir. Tubuhnya menegang, amarah dan keterkejutan bercampur menjadi satu. Tanpa berpikir, tangannya melayang. Tamparan keras mendarat di wajah Rama, memenuhi ruangan dengan suara tajam. Rama diam. Matanya gelap, penuh kilatan amarah. Cinta menggigit bibirnya, menyadari konsekuensi dari tindakannya. Namun, dia tak menyesal. Tidak sedikit pun. Cinta belum sempat melangkah mundur ketika Rama mencengkram lengannya dengan kasar. Tanpa memberi kesempatan untuk melawan, dia menarik paksa Cinta menuju kamarnya. "Rama! Lepaskan!" Cinta meronta, tapi genggaman tangan Rama terlalu kuat. Pintu kamar terbanting terbuka, sebelum Cinta bisa mengatur keseimbangannya Rama mendorong hingga hampir tersungkur, tapi tepian ranjang menahan tubuhnya. Napas Cinta memburu, tubuhnya gemetar antara amarah dan ketakutan. Rama berjalan menuju nakas lalu membuka laci dan menarik sebuah map dengan gerakan kasar. Tanpa ragu, dia melemparkannya ke wajah Cinta. "Baca kontrak kerja yang kau tanda tangani!” Suara Rama dingin, penuh kemarahan yang tertahan. Jantung Cinta berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, dia membuka map itu. Matanya menelusuri setiap kata, dan dadanya langsung sesak. Ini bukan kontrak yang dia baca dan tanda tangani sebelumnya. Ini berbeda. Tetapi Cinta ingat, dia memang menandatangani dua kontrak. Saat itu Mama Lisa mengatakan yang satunya hanya Salinan, dan dia tidak sempat membacanya. Cinta sadar, dia telah terjebak. Tangan Cinta gemetar saat matanya menangkap angka-angka dalam dokumen. Jumlah uang yang seharusnya ia terima jauh lebih besar dari yang diberikan Mama Lisa. Tapi yang membuatnya semakin terkejut adalah klausul denda. Jika ia mengingkari kontrak, harus membayar tiga kali lipat dari jumlah yang tertera. Napas Cinta memburu. Ia hanya menerima sepertiga dari angka ini. Lalu, ke mana sisanya? "Apa ini?" tanya Cinta dengan suara bergetar. Rama tersenyum miring. "Kau sudah membacanya sendiri. Jadi …." Rama tidak melanjutkan kalimatnya tetapi mengitari Cinta sambil memandang tubuh indahnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Lakukan tugasmu dengan baik!” bisik Rama sambil menyentuh punggung polos Cinta. Cinta berlari, tetapi Rama lebih cepat meraih tubuhnya dan mendorong jatuh di ranjang. Dengan lengan kekar dan paha berototnya Rama mengungkung tubuh Cinta. “Jangan munafik! Bukankah ini pekerjaanmu selama ini?” Cinta menggelengkan kepala, dia terus mencoba melawan. Tetapi tenaganya kalah jauh dari Rama. Hingga akhirnya derai air mata Cinta diiringi suara desah yang tertahan, kala Rama menyentuhnya dengan liar dan memasukinya secara kasar.“Kau menangis?” Rama terus memperlakukan Cinta dengan kasar, tak peduli dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Jangan berlagak seperti gadis yang baru melepas keperawanannya, aku tahu kau sudah punya anak.” Air mata Cinta tak mampu menimbulkan rasa iba, tidak juga belas kasihan. Rama tidak peduli, dia terus memburu kenikmatan, tentunya untuk dirinya sendiri. Kenangan indah masa lalu yang berkelebat, justru memantik bara dendam di hati Rama. Janji indah yang tak terwujud mengobarkan amarah dan gairah secara bersamaan. Rama mdenulikan telinga atas rintihan dan tangis Cinta, dan membutakan hatinya atas penderitaan perempuan yang pernah dia puja. “Hentikan Rama … aku mohon ….” Cinta mengiba, merintih dan menangis. “Sakit Ram … sakit ….” “Jangan sok suci, pelacur sepertimu pasti sudah biasa melayani banyak pria dengan berbagai gaya.” Rama mengerang dan mempercepat gerakannya semakin beringas. "Kau sudah menandatangani kontrak itu, Cinta. Tubuhmu … milikku sekarang." Setiap sentuh
Dion menatap wajah Cinta dengan saksama, lalu menghela napas panjang. Rasa iba menyelinap ke relung hatinya kala menatap Cinta yang terlihat begitu hancur.Mata Cinta yang sembab, wajahnya pun terlihat pucat, dan bahunya yang bergetar halus menandakan betapa dalam penderitaan yang harus dia tanggung.Dion sadar, belas kasihan tak akan mengubah apa pun.“Cinta,” ucap Dion akhirnya, nadanya lebih lembut dari sebelumnya. “Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."Dion mengusap tengkuk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dengar, suka atau tidak suka, kau harus menjalani kontrak ini. Karena melawan Pak Rama … itu bukan pilihan."Cinta menelan ludah.“Menangis tidak akan mengubah apa pun,” lanjut Dion. “Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan sekarang adalah bertahan. Coba nikmati saja!”Dion tersenyum sumir tanpa makna. Entah menertawakan nasib Cinta, atau menertawakan dirinya sendiri yang memberikan saran sangat konyol.“Kumpulkan uang sebanyak yang kau bisa. Saat kontrak ini berakhir, kau bisa m
Di kamar yang luas dan mewah, Cinta berdiri tepat di depan Rama. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membiaskan siluet tubuh mereka di cermin. Di tangan Cinta, dasi warna hitam dengan motif garis-garis harus dipasang di kerah kemeja Rama.Tangan Cinta bergerak dengan terampil, meski dengan hati yang terasa mati. Pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaan. Dahulu, dia melakukan ini dengan penuh cinta untuk Kevin, mantan suaminya. Kini, dia melakukannya dengan terpaksa untuk pria yang telah menginjak-injak harga dirinya.Rama berdiri tegak dengan tatap mata dingin penuh kemenangan. Membiarkan Cinta mengurus dirinya, layaknya seorang istri yang sedang mengurus suami.Cinta terus menundukkan kepala, menghindar dari tatapan itu. Ibu satu anak itu menggigit bibirnya, menahan rasa perih yang menyeruak dalam dadanya karena terjebak dalam pekerjaan hina.Saat simpul dasi sudah terikat dengan sempurna, Cinta hendak meninggalkan Rama. Tetapi, belum sempat Cinta menjauh, tangan Rama sudah
Di sebuah butik mewah yang berada di kawasan elit kota terasa sangat eksklusif. Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan halus pada rak-rak pakaian berlabel desainer terkenal. Aroma lembut parfum mahal menguar di udara, menyatu dengan suara lembut musik klasik yang mengalun pelan. Di salah satu sudut butik, perempuan peruh baya dengan anggun mengenakan gaun berwarna pastel, tengah memilih beberapa gaun. Dia adalah Widya, nyonya besar keluarga Narendra, yang tidak lain adalah mama Rama. Widya tampak asik berbincang dengan Evita, seorang gadis muda berparas manis yang sudah lama menaruh hati pada Rama. Evita, dengan balutan dress putih sederhana yang elegan, tersenyum mendengar cerita Widya. “Sekarang Rama sedang melakukan perjalanan bisnis. Papanya semakin percaya dengan hasil kerja Rama yang selalu memuaskan,” ujar Widya bangga, menyerahkan satu gaun kepada pramuniaga untuk dibawa ke ruang ganti. “Dia akan bertemu dengan beberapa pengusaha penting
Rama melangkah mendekati Cinta, matanya menyapu tubuhnya dengan tatapan yang penuh nafsu. Di tangannya, ponsel masih terhubung dengan Evita, panggilan yang sengaja tidak diakhiri.Rama ingin Evita mendengar segalanya, ingin gadis itu tahu bahwa tidak ada ruang untuknya di hatinya. Dengan gerakan perlahan, Rama meletakkan ponsel di nakas, memastikan suara mereka tetap terdengar jelas di sisi lain telepon.“Kamu cantik malam ini,” ucap Rama dengan suara datar namun penuh intensitas. Kata-katanya menggantung di udara, seolah menunggu reaksi.“Terima kasih,” jawab Evita dari ujung telepon, suaranya lembut namun penuh harap.Wajah Evita merona, hatinya pun melambung tinggi. Untuk sesaat, dia membayangkan Rama sedang berbicara padanya, memujinya dengan penuh cinta. Tapi semua itu tidak berlangsung lama, dan segera hancur berkeping-keping.“Aah….”Satu desahan lembut lolos dari bibir Cinta saat Rama mulai menyentuhnya. Sentuhannya kasar, penuh tuntutan dan gairah.Cinta mencoba menahan napas
Cinta beranjak dari tempat tidur, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Hatinya masih berdebar mengingat cara Rama menatapnya tadi. Senyum itu. Tatapan itu. Terlalu berbahaya.Cinta meraih pakaian yang tergeletak di kursi, bersiap untuk meninggalkan kamar. Tapi baru saja melangkah, tangan Rama dengan cepat menangkap pergelangan tangannya hingga membuat Cinta kembali terduduk di tepian ranjang.“Tetaplah di sini.” Suara Rama terdengar rendah, hampir seperti bisikan.Cinta menoleh, menemukan pria itu masih bersandar di kepala ranjang, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ia artikan. Seolah berat melepaskannya.“Aku harus membuat sarapan dan menyiapkan pakaianmu,” ujar Cinta pelan.Rama menghela napas, lalu bersandar lebih santai. “Hari ini aku tidak ada pekerjaan. Tapi nanti malam ada gala dinner.”Cinta hanya diam, menunggu kelanjutannya.“Aku ingin kau mendampingiku.”Cinta mengerutkan kening, sedikit terkejut. “Aku?”Rama mengangguk. “Ya. Dan aku ingin kau tampil cantik malam ini
Kala Cinta dan Rama sedang asik berbelanja, di tempat yang berbeda meski hatinya sedang terpatahkan tetapi dia tetap memperjuangkan rasa cintanya kepada Rama.Kini Evita sudah berada di rumah keluarga Narendra. Dia duduk dengan anggun di ruang tamu berhadapan dengan Widya, Mama Rama, yang sedang menikmati teh di sore hari.Meskipun hatinya masih perih setelah mengetahui Rama bersama perempuan lain, ia tidak menunjukkan kelemahannya. Senyum manis tetap menghiasi wajahnya."Padahal baru kemarin ketemu, tapi rasanya sudah kangen dengan Tante Widya," ucap Evita dengan nada lembut.Widya menatapnya dengan penuh kasih. "Ah, Evita, kamu memang anak yang manis. Tante juga senang kamu datang. Seandainya saja kamu sudah menikah dengan Rama, tentu tante tidak akan kesepian. Apalagi kalau kalian sudah punya anak."Evita mengangguk. Rasa percaya dirinya membumbung tinggi. Evita terdiam sejenak memilah dan memilih kata dengan hati-hati agar tidak terkesan terlalu agresif."Tante bisa saja. Tapi apa
Maira menautkan lengannya erat pada Kevin, tersenyum penuh kemenangan, seolah ingin menegaskan siapa yang kini berdiri di sisinya.Cinta menahan napas. Ini tidak akan mudah. Mungkin rasa cinta sudah terkikis habis, tetapi rasa sakit karena pengkhianatan dan pengabaian dari Kevin masih terasa. Apalagi hal itu membuatnya harus terjebak bersama Rama.Sementara itu Rama dan Kevin, meski keduanya tidak mengenal secara pribadi, tetapi mereka saling mengetahui sepak terjang masing-masing dalam dunia bisnis. Ada persaingan tak kasat mata sebagai sesama pengusaha muda, selain masalah perempuan yang kini berada di samping mereka.Rama semakin mempererat genggamannya di pinggang Cinta, jarinya menekan kuat seakan ingin mengukir jejak kepemilikannya. Lalu, dengan langkah mantap dan penuh kharisma, ia membawa Cinta mendekati Kevin.Rama tersenyum tipis dan mengulurkan tangan. “Senang akhirnya bisa bertemu dengan Kevin Sanjaya. Perkenalkan, saya Rama Narendra.”Kevin membalas jabatan tangan itu, ek
Operasi Chiara berjalan sukses. Senyum dokter Lim Wei Han yang menyambut mereka di ruang konsultasi pascaoperasi menjadi kabar paling melegakan bagi Rama dan Cinta.“Operasi stabilisasi tulang kaki kiri Chiara berjalan lancar,” jelas dokter Lim Wei Han dengan nada tenang. “Kami berhasil merekonstruksi bagian yang mengalami kerusakan akibat trauma, dan implan sudah terpasang sempurna. Namun, proses penyembuhan pascaoperasi sangat krusial.”Cinta menggenggam tangan Rama erat. Matanya berkaca-kaca.“Chiara akan menjalani fisioterapi bertahap untuk memperkuat otot-otot di sekitar sendi lutut dan pergelangan kaki. Kami juga akan melakukan terapi okupasi ringan, untuk membiasakan kembali fungsi mobilitasnya secara perlahan. Dalam satu minggu ke depan, kami akan mulai dengan latihan gerakan pasif dibantu alat, kemudian progresif menuju latihan aktif dan berdiri dengan bantuan,” lanjut dokter Lim.“Berarti... dia bisa berjalan lagi?” tanya Cinta dengan suara pelan.Dokter Lim Wei Han mengangg
Priambodo menatap Kevin dalam-dalam, mencoba menelisik kebenaran dari setiap kata yang keluar. Tapi Kevin pandai bermain peran. Sorot matanya dibuat seolah-olah pecahan dari hati yang hancur.“Cinta mulai berubah sejak proyek kerja sama antara kami dan perusahaan Rama. Awalnya saya pikir dia hanya mengagumi pria itu secara profesional… tapi kemudian saya sadar, mereka lebih dari sekadar rekan bisnis. Saya terlalu sibuk menyelamatkan perusahaan yang sudah digoyang Rama. Dan saat saya sadar, mereka sudah bersama… dan meninggalkan saya.”Suara Kevin nyaris tercekat. Ia memainkan rasa bersalah yang dalam, seolah-olah ia adalah korban dari takdir dan pengkhianatan.Priambodo menarik napas berat. Wajahnya tak menunjukkan emosi yang jelas, namun tangannya yang mengusap dagu menandakan pikirannya sedang berputar.“Apa yang kamu inginkan sekarang, Kevin?” tanya Priambodo pelan.Kevin menunduk dalam-dalam, lalu mendongak dengan mata penuh luka.“Saya hanya ingin keluarga saya kembali. Saya ingi
Pagi itu rumah sakit terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan semalam menyisakan embun tipis di jendela ruang tunggu. Di ruang rawat khusus anak, Chiara duduk di ranjangnya dengan bantal peluk di tangan. Rambutnya diikat dua, seperti biasa, tapi kali ini matanya sedikit sayu.Rama duduk di sampingnya, menggenggam tangan kecil itu dengan penuh kelembutan. Senyum hangat terukir di wajahnya, meski hatinya dicekam kekhawatiran.“Chia sudah siap?” tanya Rama pelan. “Operasinya sebentar lagi. Setelah itu, kamu bakal mulai jalan pelan-pelan lagi.”Chiara menunduk. Bibirnya mengerucut, menahan rasa takut yang mulai menyeruak.“Tapi… kalau operasinya gagal? Kalau Chia nggak bisa jalan lagi?” tanya Chiara lirih, ada ketakutan dalam tiap katanya.Rama menarik napas. Ada getaran di dadanya. Ia membelai rambut anak itu, lalu memeluknya erat.“Kalau itu terjadi… papa akan jadi kaki buat kamu. Papa yang akan gendong kamu ke mana pun kamu mau. Mau ke taman, ke sekolah, ke pantai. Ke mana aja.”Chiara
Dengan wajah yang terlihat penuh beban, Lilian mendekati putra semata wayangnya.“Di hadapan Priam, kau harus bilang kalau Cinta berselingkuh dengan Rama saat pernikahan kalian masih sah. Katakan kalau dia mulai berubah saat perusahaanmu mulai oleng. Dan Rama? Rama menyabotase proyek-proyekmu. Dia sengaja menjatuhkanmu karena ingin merebut istrimu.”Kevin menggeleng bingung. “Tapi, Ma... itu semua tidak…”“Dengarkan aku!” bentak Lilian dengan nada dingin. “Kau hanya perlu membuat Priambodo percayamu dan semakin merasa bersalah. Kita hanya perlu mengarahkan rasa bersalah itu.”“Lalu apa?” tanya Kevin, mulai memahami arah ibunya.“Lalu kita minta bantuannya. Bukan hanya untuk mendapatkan kembali Cinta dan Chiara, tapi juga mengembalikan kehormatan keluargamu. Kita dorong dia untuk melibatkanmu dalam bisnisnya. Bukankah itu tujuan kita dari awal?” Lilian menatap tajam, penuh keyakinan.Kevin terdiam. Kepalanya penuh pertimbangan, tapi di balik wajah bimbang itu, perlahan tumbuh kembali b
Kevin berdiri terpaku di depan pintu kafe, seolah kakinya tertambat di tanah. Hatinya berkecamuk, matanya kosong menatap ke jalan. Anisa berdiri tak jauh di belakangnya, menyilangkan tangan dan tetap tersenyum—senyum yang hangat di permukaan, namun penuh penghakiman di kedalaman.“Rama dan Cinta... menikah?” tanya Kevin sekali lagi, lebih kepada dirinya sendiri.Tidak mudah baginya mempercayai informasi yang terlontar dari bibir Anisa.“Benar, Pak,” sahut Anisa dengan mantap, seolah ingin meyakinkan Kevin jika telinganya tidak salah dengar.“Sedikit terburu-buru, sih. Jadi mereka menikah secara sederhana.”Cinta hamil, itu dugaan yang muncul di kepala Kevin, hingga membuatnya merasa kalah dalam segala hal dari Rama. Kevin benar-benar sudah terlambat.“Chiara terlihat sangat bahagia memiliki Papa baru yang sangat menyayanginya. Bahkan rela mengeluarkan uang banyak untuk pengobatannya.”Kevin memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan getar di rahangnya. Anisa melihat itu. Ia tahu lelak
Untuk memuluskan rencananya, Kevin bergegas menuju ke kafe milik Cinta. Di balik kemudi mobil mewahnya, duda beranak satu itu menatap lurus ke depan.Sesekali pandangannya berpindah ke kursi penumpang di sebelahnya, tempat sebuket bunga mawar merah segar dan sebuah boneka beruang mungil duduk manis. Senyumnya samar, tapi bukan senyum bahagia. Lebih seperti sedang Menyusun rencana dengan akurat, campuran manipulasi dan ambisi.Ponselnya bergetar. Nama Maira berkedip di layar. Kevin mendengus pelan, lalu menggeser layar untuk menolak panggilan itu. Tidak sekarang, pikirnya. Dia tidak ingin diganggu oleh wanita yang sudah tak lagi punya peran dalam rencana barunya.Sesampainya di depan kafe milik Cinta, Kevin memarkirkan mobilnya dengan santai. Ia keluar sambil membawa bunga dan boneka, matanya menyapu sekeliling. Tempat itu masih sama, pikirnya. Hangat, ramah, penuh aroma kopi dan kayu manis. Seolah-olah Cinta dan Chiara akan menyambut kedatangannya dengan suka cita.Hardy yang tengah m
Cinta merasa Rama sudah berusaha memberikan yang terbaik untuknya dan Chiara. Dan yang bisa dia lakukan untuk membalasnya hanya dengan menjadi istri yang baik. Malam ini dia akan memberikan imbalan yang sepadan atas semua perjuangan Rama.Di atas pangkuan Rama, Cinta bergerak liar memberikan sentuhan yang membuat suara erangan frustrasi keluar dari bibir suaminya. Rama pun tidak menyia-nyiakan apa yang berada tepat di hadapannya, tentu bukan hanya untuk dipandang, tetapi juga dilahap.Gigitan kecil dan hisapan kuat yang diberikan Rama membuat Cinta semakin liar bergerak memburu kenikmatan. Desahan yang keluar dari mulutnya bagai bensin yang menyiram gairah Rama hingga semakin terbakar.Sebenarnya Rama sangat menikmati permainan Cinta, tetapi dia merasa sudah tidak tahan, dan waktunya untuk mengambil kendali. Rama membalikkan tubuh, dan membuat Cinta kini berada di bawah kendalinya.“Ram… Ah!”Rama menoleh ke arah pintu penghubung ke kamar Chiara saat Cinta menjerit keras menyebut nama
Jika darah bajingan mengalir deras dalam tubuh Kevin, darah bisnis mengalir deras dalam tubuh Rama. Berbagai permasalah yang timbul saat merencanakan perjalanan ke Singapura, calon pemimpin Narendra Group itu justru menemukan peluang bisnis.Rama tiba di lobi rumah sakit Mount Elizabeth Orchard dengan mengenakan setelan jas navy yang rapi. Wajahnya serius namun tetap tenang. Di tangan kirinya, ia membawa map berisi proposal kerja sama yang telah disiapkan dengan cermat oleh tim bisnis Narendra Group.Di sana, seorang wanita paruh baya yang berpenampilan profesional menghampirinya dengan senyum hangat."Mr. Rama Narendra? I’m Dr. Yvonne, director of international medical services. Welcome," ucapnya sambil menjabat tangan Rama.“Senang bertemu dengan Anda, Dokter,” balas Rama dengan sopan.Mereka lalu menuju ruang rapat di lantai atas. Suguhan teh dan kudapan ringan tersedia di meja. Setelah basa-basi singkat, pertemuan pun dimulai.Rama membuka pembicaraan, “Narendra Group melihat pelu
Hari keberangkatan ke Singapura akhirnya tiba.Pagi itu, langit terlihat begitu cerah. Matahari belum terlalu tinggi ketika mobil yang membawa Rama, Cinta, dan Chiara meluncur menuju bandara. Sepanjang perjalanan, Chiara duduk nyaman dalam pelukan Rama, tertawa-tawa kecil melihat pesawat-pesawat melintas di langit.Wajah gadis kecil itu berseri, matanya berbinar menyalakan api kebahagiaan bagi kedua orang tuanya.Beberapa hari sebelumnya, Cinta sudah menyelesaikan semua urusannya. Akhirnya ia mempercayakan kafe kepada Anisa, pemilik lama yang dia Yakini sangat mumpuni untuk memegang tanggung jawab itu.Anisa menerimanya dengan senang, meski mengingatkan akan luka di masa lalu, tapi kafe itu adalah impiannya. Hardy sempat terlihat diam saat melihat kehadiran Anisa kembali di sana. Dahulu dia bisa berinteraksi biasa saja bersama Anisa, tapi kini ada rasa canggung dan aneh yang tidak bisa Hardy ungkapkan.Cinta bisa merasakan ada sesuatu yang tersimpan, tapi memilih untuk menghormati dia