Cinta menelan ludah, berusaha mengendalikan debaran jantung yang tak beraturan. Janda satu anak itu mengangkat dagu, memasang senyum profesional seolah tidak ada sejarah kelam di antara mereka. berdua
"Saya siap untuk bekerja." Cinta berusaha tetap tenang, tetapi tidak bisa menutupi kegugupannya. "Apa yang harus saya lakukan?" Rama menatap Cinta, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dengan tatap mata yang merendahkan. "Ah, Cinta ..." ucap Rama sambil menghela napas, masih menyisakan sisa tawa di bibirnya. "Kamu selalu terburu-buru?" Rama berjalan mendekat, langkahnya santai namun penuh tekanan. "Tidak perlu terburu-buru. Kita punya banyak waktu." Cinta mengeratkan jemarinya, tetap berusaha menjaga ketenangan. Namun, dari nada suara Rama, dia tahu satu hal, Rama yang berdiri di hadapannya ini bukan lagi pria yang pernah berjanji mencintainya seumur hidup. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya ingin segera pergi, tetapi dia harus bertahan demi Chiara. Ini baru hari pertama, masih ada dua puluh sembilan hari lagi. Rama melangkah semakin dekat, matanya menyala dengan sesuatu yang asing bagi Cinta, bukan cinta, bukan rindu, tapi kemarahan yang tertahan. Jemarinya terangkat, hendak menyentuh dagunya. Cinta dengan refleks menghindar, dengan memalingkan wajahnya. Namun, itu justru membuat Rama murka. Dengan gerakan cepat, dia mencengkeram dagu Cinta dengan kasar, memaksa wajahnya mendongak agar mereka bisa beradu pandang. Jari-jari Rama menekan kulit Cinta hingga meyisakan rasa nyeri. "Kau masih sama seperti dulu," gumam Rama dengan nada mengejek. "Selalu berlagak sok suci, tapi nyatanya kau hanya seorang ….” Cinta menggeleng, menyangkal tuduhan Rama. “Itu tidak benar, Rama. Kau tidak tahu yang sebenarnya.” "Munafik!" Rama menyeringai. "Aku hanya memintamu untuk menunggu selama aku kuliah di luar negeri, tetapi ternyata kau tidak sabar untuk bisa menikmati hidup mewah dengan menikahi pria lain." Cinta sadar tidak ada ruang untuk memberi perlawanan dengan mengungkap kebenaran. Tetapi, demi Chiara, Cinta hanya bisa pasrah menelan rasa takut dan sesak di dada karena hinaan dari Rama. Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. Dion masuk dengan wajah tetap tenang. "Maaf mengganggu, Tuan. Anda ada acara makan malam dengan klien pukul tujuh nanti." Rama mendengus, melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Cinta merasa sedikit lega saat Dion masuk. Setidaknya, keberadaannya menyela amarah Rama yang nyaris meledak. Dia diam-diam melirik Dion, berharap ada sedikit pertolongan. Tapi Dion tetap datar, seolah tak melihat kegelisahannya. Cinta menggigit bibirnya. Ingin rasanya segera keluar dari ruangan ini. Namun, dia tahu jika dia kabur, itu hanya akan memperburuk keadaan. Rama tersenyum miring, lalu membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya hingga Cinta bisa merasakan napasnya di kulitnya. “Siapkan dirimu secantik mungkin!” bisik Rama. Bukan perintah, tapi kalimat itu terdengar layaknya ancaman terselubung. Cinta merasakan bulu kuduknya meremang. Rama melirik Dion. “Antar dia ke kamarnya.” Dion mengangguk tanpa ekspresi dan memberi isyarat pada Cinta untuk mengikutinya. Cinta melangkah dengan ragu, masih bisa merasakan tatapan Rama yang menusuk punggungnya. Saat mereka berjalan di lorong, Cinta memberanikan diri bertanya pada Dion. “Apa tugas saya selama di sini?” Dion meliriknya sekilas, lalu balik bertanya, “Kau benar-benar tidak tahu?” Cinta menggeleng. “Teman saya bilang ada lowongan asisten pribadi. Saya butuh uang untuk pengobatan putri saya, jadi saya langsung terima pekerjaan ini karena bayarannya tinggi.” Dion tersenyum samar, tapi tidak menjawab langsung. Mereka tiba di depan sebuah pintu, dan Dion membukanya. “Lakukan yang terbaik, Cinta,” ucap Dion pelan, tidak memberi jawaban pasti atas pertanyaan Cinta. “Dan satu hal, jangan buat Tuan Rama marah.” Tanpa banyak bicara, Dion segera meninggalkan Cinta yang masih terpaku di depan pintu. Jantung Cinta berdetak lebih cepat. Dia mulai merasa ada informasi penting tentang pekerjaannya yang tidak disampaikan oleh Nora. Memasuki kamar, Cinta tertegun saat melihat gaun hitam elegan, dengan potongan backless yang memperlihatkan punggungnya hampir seluruhnya. Jari-jarinya menyentuh kain halus itu, sementara pikirannya dipenuhi pertanyaan dan kekhawatiran. Sadar tidak mempunyai pilihan, dengan hati berat, Cinta bersiap. Setelah membersihkan diri, dia mulai merapikan rambutnya, merias wajahnya sebaik mungkin, lalu mengenakan gaun itu. Bayangannya di cermin terlihat anggun, mengingatkan Cinta saat dia mendampingi Kevin dalam pertemuan-pertemuan penting. Ketukan di pintu membuatnya tersentak. Dengan ragu, dia membuka pintu, dan Dion berdiri di sana dengan ekspresi datarnya. “Tuan Rama sudah menunggumu.” Cinta mengangguk pelan, mengatur napas, lalu mengikuti Dion keluar dari kamar. Saat memasuki ruangan tempat Rama menunggunya, sejenak mata mereka beradu. Seolah terseret ke masa lalu, kenangan indah yang pernah mereka bagi dahulu. Cinta menelan kegelisahannya. Dia sadar, tidak ada ruang untuk kenangan atau perasaan di sini. Sementara itu, Rama menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, tetapi ada bara dendam di balik matanya. Meski getaran itu masih ada, tetapi bagi Rama pengkhianatan Cinta adalah luka yang belum tersembuhkan.Dion menatap Evita dengan tatapan menenangkan, tangannya menggenggam jemari gadis itu dengan hangat. “Kita tidak bisa lari terus, Vit… Aku harus hadapi ini. Aku tidak akan mmbiarkan kamu sendirian.”Evita menggeleng keras, air matanya kembali mengalir. “Kamu nggak tahu mereka seperti apa, Dion. Mereka bisa kasar, mereka bisa….”“Aku tahu, Vit….” Sudah lama menjadi orang kepercaaan Rama, Dion tahu bagaimana cara orang-orang berduit menyelesaikan masalah tanpa bersentuhan dengan hukum.“Tapi ini tanggung jawabku. Kamu dan anak kita adalah tanggung jawabku. Aku yang membuatmu berada di posisi ini. Jadi aku yang harus berdiri di depan.”Dengan langkah mantap dan tarikan napas panjang, Dion menuju pintu. Gedoran di baliknya semakin keras, semakin memaksa. Dion membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membuka perlahan.Di hadapannya berdiri tiga pria berbadan tegap, mengenakan pakaian serba hitam. Sorot mata mereka tajam, ekspresi wajah dingin dan penuh wibawa. Salah satu dari mereka melang
Danu Lukito berdiri di balik tirai ruang kerjanya, matanya mengawasi halaman depan dengan tajam. Ketika dilihatnya Evita keluar rumah dengan langkah tergesa, wajah tertunduk dan tanpa menoleh ke belakang, hatinya makin yakin, putrinya akan menemui pria yang telah menghamilinya.Danu sangat mengenal Evita yang keras kepala, dan jika dia sudah mengambil keputusan, tidak ada yang bisa menghentikannya, kecuali dengan pengawasan.Dengan gerak cepat, Danu mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah tersimpan lama. Suaranya tenang tapi tegas.“Ikuti Evita. Jangan terlalu dekat, tapi pastikan ke mana dia pergi. Aku ingin tahu siapa pria itu.”Sementara itu, di apartemen Dion, suasana jauh dari tenang. Dion mondar-mandir di ruang tengah, rambutnya berantakan, matanya gelisah. Ucapan Widya siang tadi terus berputar di kepalanya, seperti gema yang tak bisa dihentikan.Dalam hatinya terus dipenuhi pertanyaan. Bukan karena perubahan sikap Evita yang dia tahu itu tidak benar, tapi kekhawatiran
Evita duduk tertunduk di ujung sofa ruang keluarga, wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Isak tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, bahunya bergetar hebat. Air matanya membasahi jari-jarinya, membasahi hati yang sejak lama sudah retak oleh ketakutan dan beban rahasia yang ia simpan sendiri.Di seberangnya, Danu Lukito berdiri dengan rahang mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Pria itu, yang selama ini menjadi ayah bijak dan tenang, kini tak kuasa menahan amarah dan rasa kecewa. Suaranya lantang, mengguncang ruangan.“Siapa, Evita? Siapa ayah dari anak itu?”Evita mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, suaranya tercekat.Belum sempat dia menjawab, Sandra menyambar lebih dulu, nadanya tajam, menusuk tanpa ampun.“Apa itu anak Rama? Dan sekarang dia mau lepas tanggung jawab begitu saja?”Evita menggeleng, kali ini dengan tegas. Tangisnya belum berhenti, tapi suaranya jelas.“Bukan, Ma. Ini bukan anak Rama.”Sandra menyipitkan mata, lalu tersenyum miring dengan nada mencibi
Setelah pertemuan penuh tekanan dengan Sandra, Widya tidak langsung kembali ke rumah. Ada satu hal yang belum selesai. Sesuatu yang selama ini dia tunda karena masih menaruh harapan pada keputusan anaknya sendiri. Tapi kini, semuanya sudah kelewat batas. Widya tahu, dia harus mengambil langkah lebih tegas.Mobilnya berhenti di depan Gedung Narendra Group yang megah. Langkah Widya tegas dan cepat, matanya tajam, menyimpan kekecewaan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tanpa mengetuk, dia langsung mendorong pintu ruang kerja Rama.Rama, yang sedang berdiskusi serius dengan Dion, tersentak melihat kehadiran ibunya. Alisnya terangkat, matanya menatap heran.Widya berdiri tegak di depan pintu, sorot matanya tidak main-main. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan denganmu. Sekarang.”Dion menatap Widya sejenak, lalu bangkit dari duduknya. Dengan posisi tubuh sedikit menunduk, Dion memberi ruang kepada Widya.Dengan gestur dan nada yang sopan, Dion mempersilahkan Widya. “Silakan duduk, Bu
Di sebuah restoran mewah di tengah kota, di sebuah ruang private yang tertutup rapat dari hiruk pikuk luar, dua wanita duduk saling berhadapan. Ruangan itu penuh kesan elegan, bunga segar di vas kristal, dan denting halus musik klasik yang mengalun sebagai latar.Widya tampak anggun dalam balutan blus putih gading dan scarf sutra di lehernya. Di seberangnya, Sandra, mami Evita, menatap dengan mata tajam yang mengandung perhitungan. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, namun pembicaraan mereka justru mulai memanas."Aku harap kamu belum lupa, Widya," ucap Sandra dengan suara halus tapi menusuk. “Dulu, waktu suamimu hampir kehilangan tanah warisan keluarga, siapa yang diam-diam bantu lewat koneksi ke bank? Aku.”Widya diam, mencoba menjaga wibawanya. Tapi tatapan Sandra tak memberinya ruang untuk menghindar.“Waktu ibumu sakit dan rumah tanggamu sedang hancur-hancurnya, siapa yang pertama kirim bantuan tanpa tanya balasan? Aku, Widya. Kita bukan cuma sahabat, kita pernah saling gantun
Cinta duduk di depan meja rias, menyisir rambut panjangnya perlahan. Gerakan tangannya lembut, tapi pandangannya kosong menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah itu cantik, tapi ada kabut tipis kegundahan di matanya yang tak bisa disembunyikan.Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka, dan Rama keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di panggulnya. Memperlihatkan dada bidang dan perut berototnya.Rambut Rama masih basah. Ia tersenyum kecil saat melihat Cinta, lalu tanpa ragu memeluknya dari belakang. Tubuh Cinta tersentak pelan saat tetesan air dari rambut Rama mengenai bahunya, membasahi baju tipis yang dikenakannya.“Dingin…” bisik Cinta sambil tertawa kecil, tapi tidak menolak pelukan itu.“Biar aku yang angetin,” goda Rama, mencium Pundak Cinta sekilas.Cinta berdiri, mengambil handuk kecil dari rak, lalu menarik Rama duduk di depan cermin. Dengan sabar, ia mengeringkan rambut suaminya, seperti ritual pagi yang kini mulai mereka jalani. Tak ada kata-kata, hanya keintiman