Share

9. Tak Segampang Itu

Penulis: Henny Djayadi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-19 15:46:38

Di kamar yang luas dan mewah, Cinta berdiri tepat di depan Rama. Sinar matahari yang masuk melalui jendela besar membiaskan siluet tubuh mereka di cermin. Di tangan Cinta, dasi warna hitam dengan motif garis-garis harus dipasang di kerah kemeja Rama.

Tangan Cinta bergerak dengan terampil, meski dengan hati yang terasa mati. Pekerjaan ini sudah menjadi kebiasaan. Dahulu, dia melakukan ini dengan penuh cinta untuk Kevin, mantan suaminya. Kini, dia melakukannya dengan terpaksa untuk pria yang telah menginjak-injak harga dirinya.

Rama berdiri tegak dengan tatap mata dingin penuh kemenangan. Membiarkan Cinta mengurus dirinya, layaknya seorang istri yang sedang mengurus suami.

Cinta terus menundukkan kepala, menghindar dari tatapan itu. Ibu satu anak itu menggigit bibirnya, menahan rasa perih yang menyeruak dalam dadanya karena terjebak dalam pekerjaan hina.

Saat simpul dasi sudah terikat dengan sempurna, Cinta hendak meninggalkan Rama. Tetapi, belum sempat Cinta menjauh, tangan Rama sudah
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    159. Malam Pertama

    Malam itu, angin bertiup lembut dari balkon lantai atas apartemen mewah milik Rama. Kota berkelip di kejauhan, lampu-lampu seperti bintang yang jatuh ke bumi. Pintu otomatis terbuka saat mereka masuk, disambut kehangatan interior modern yang elegan—kayu, marmer, dan cahaya temaram yang menenangkan.Chiara langsung berlari ke ruang tengah, matanya berbinar, mengelilingi sofa empuk, rak buku, dan televisi besar.“Wah! Ini seperti rumah di mimpi aku!” seru Chiara dengan sangat girang. “Dulu aku juga pernah tinggal di apartemen kayak gini, waktu sama Papa Kevin.”Ucapan itu membuat langkah Cinta terhenti. Ia menunduk pelan, menahan napas yang tercekat. Di tengah harapan untuk memulai hidup baru, nama itu menyeruak seperti duri dalam ingatannya. Kenangan lama yang pahit—yang ingin ia lupakan, namun masih membekas di hati.Rama menoleh ke arah Cinta, menangkap perubahan wajahnya. Tapi ia tetap tenang, tidak menunjukkan keberatan. Ia tersenyum kecil, mendekati Chiara yang kini sudah duduk di

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    158. Perpisahan

    Di salah satu sudut kafe yang tenang, Rama menatap layar ponsel dengan ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Beberapa detik kemudian, suara Dion terdengar di seberang.“Halo, Bos?”“Dion,” suara Rama terdengar tegas tapi lelah. “Aku butuh kamu segera kembali ke Jakarta.”“Sekarang, Bos? Ada apa?” tanya Dion, sedikit terkejut.“Papaku belum sepenuhnya pulih. Sementara aku harus bolak-balik antara kantor dan pengobatan Chiara. Perusahaan butuh orang yang bisa kupercaya, dan itu kamu.”Menyebut nama Chiara, tentu tidak bisa lepas dari Cinta. Dion yakin Cinta lah yang menjadi alasan utamanya. Namanya pengantin baru yang masih anget-angetnya, tentu Rama tidak ingin kehilangan momen kebersamaan yang akan mengantar ke puncak kenikmatan.Dion berdiri di dekat jendela hotelnya, memandangi langit yang mulai menguning, mata terpejam sejenak, mencoba menimbang. Belum lama ini ia merasa baru mulai menemukan ritme hidup yang baru, jauh dari hiruk-pikuk dunia korporat, dan lebih deka

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    157. Tidak Semua Bisa Kita Kendalikan

    Begitu mobil berhenti di pelataran rumah, Widya langsung membuka pintu dan melangkah cepat menuju pintu masuk. Wajahnya masih mengeras, amarah masih menyala di dadanya. Namun begitu membuka pintu utama, ia disambut dengan suara berat dan ketus dari ruang tengah.“Suami lagi sakit, bukannya di rumah malah klayapan.” Suara Arman membuat langkahnya terhenti sejenak.Widya memejamkan mata sejenak, lalu menoleh ke arah suaminya yang sedang duduk di sofa dengan selimut menutupi kakinya. Wajah Arman pucat, tapi matanya tajam menatap ke arahnya.“Aku keluar bukan untuk bersenang-senang, Mas,” jawab Widya cepat. “Aku sedang memperjuangkan masa depan keluarga kita. Nama baik keluarga Narendra!”Arman terkekeh, getir. “Nama baik?” tanyanya. “Nama baik itu juga bisa dijaga dengan diam, Wid. Bukan dengan terus bicara ke mana-mana. Bukan dengan mempermalukan perempuan yang sudah Rama pilih sendiri.”Widya mendengus kesal dan melangkah melewatinya, hendak menuju ruang kerjanya. Tapi suara Arman kemb

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    156. Perempuan Terbaik

    Rama memandangi Cinta yang masih menunduk, menahan air mata yang mengalir diam-diam. Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat, lalu mengusap lembut punggung tangannya dengan ibu jari, memberikan ketenangan.“Cinta,” ucap Rama lirih, “kita harus bersabar.”Cinta menatapnya, matanya masih berkaca-kaca.“Masalah seperti ini tidak akan selesai dalam sehari atau dua hari,” lanjut Rama. “Mama tidak akan langsung berubah pikiran. Tapi kita akan hadapi semua ini bersama. Sekarang… kita ini keluarga. Kamu, aku, Chiara.”Kata-kata itu membuat Cinta kembali menunduk, kali ini bukan karena sedih, tapi karena hatinya dipenuhi haru. Ia sudah terlalu lama merasa sendiri, terlalu lama berjuang sendiri. Kini, ada seseorang yang berdiri di sisinya, menggenggam tangannya, dan berkata bahwa mereka adalah satu keluarga.“Maaf kalau tadi aku ragu,” ucap Cinta lirih. “Aku hanya takut... aku takut kamu menyesal memilih aku.”Rama menggeleng. “Aku tidak pernah menyesal. Bahkan kalau harus kehilangan sem

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    155. Bukan Orang Kaya Baru

    Ancaman yang dilontarkan Widya mengambang di udara, menyesakkan dada semua yang mendengarnya. Bahkan para pelanggan kafe kini hanya berani melirik diam-diam, menyadari bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah drama keluarga kelas atas, dan mungkin terlalu dalam untuk dipahami.Evita berdiri di samping Widya, canggung. Tangan perempuan muda itu perlahan menyentuh lengan calon mertuanya.“Tante...,” ucap Evita dengan suara lembut, mencoba menenangkan, “sebaiknya kita pergi dari sini. Ini tempat umum. Semua orang melihat kita.”Widya masih menatap Rama dengan tatapan kecewa dan marah, namun Evita melanjutkan, lebih lembut, “Kita bisa bicarakan ini di rumah. Dengan tenang. Mungkin... mungkin kita bisa mencari jalan tengah.”Perlahan, suara Evita seperti meredakan api, meski belum memadamkannya. Widya mengalihkan tatapan ke Evita, dan dalam sekejap terlihat sorot kebimbangan. Ada gengsi yang terluka, harga diri yang tercabik, dan cinta seorang ibu yang sedang menabrak tembok kokoh pembangkan

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    154. Harga yang Harus Dibayar

    Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, di belakangnya."Mana Cinta? Keluar kau sekarang juga!" seru Widya, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Image elegan dan berkelas sebagai Nyonya Narendra, raib seketika saat amarah dan kebencian mengalahkan logika.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, Hardy yang sejak tadi yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja. Menghadapi emak-emak yang seperti Widya tentu menguras kesabaran, dan dia harus berhati-hati agar tidak membuat situasi semakin runyam.Evita yang sejak tadi setia mendampingi Widya, tatap matanya memindai seisi kafe dengan tatap mata yang taja

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    153. Menghadapi Badai

    Anisa duduk di dapur kafe dengan cangkir kopi yang mulai dingin di tangannya. Pandangannya tertuju pada meja kecil tempat Cinta menata beberapa barang belanjaan. Salah satunya adalah susu kotak berlabel ‘High Folic Acid – Support for Pregnancy Program’.“Cinta,” panggil Anisa pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin kopi yang sedang menyala, “kamu beneran mau promil?”Cinta menoleh, senyum lembut mengembang di wajahnya. “Iya, Nis. Aku dan Rama sepakat untuk mencoba. Chiara juga sudah makin sehat, rasanya waktunya tepat.”Senyum Anisa hanya muncul sebentar sebelum redup kembali. Ada kilatan sedih di matanya, tapi dia berusaha menyembunyikannya.“Senang melihat kamu bahagia. Semoga… adik Chia cepat datang.”Namun Cinta menangkap keretakan dalam suara sahabatnya. Ia menghampiri, duduk di samping Anisa, menggenggam tangannya dengan hangat. “Nis, kamu masih kepikiran soal Davin?”Anisa menghela napas panjang. “Kadang... aku masih mikir, mungkin kalau dulu promilku berhasil, kalau

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    152. Promil

    Evita menatap cangkir kopinya yang mulai mendingin, seolah sedang menimbang-nimbang isi hatinya. Ada keinginan kuat untuk menolak permintaan Widya. Ia bukan perempuan yang terbiasa dengan cara-cara konfrontatif.Selama ini, Evita percaya bahwa kecantikan, kecerdasan, dan kesabaran bisa membawanya mendapatkan apa pun, termasuk cinta Rama. Namun kenyataannya, semua itu tak cukup untuk menandingi perempuan sederhana seperti Cinta.Batin Evita sebenarnya menolak, tapi suara Widya terlalu dekat dan terlalu kuat untuk dia abaikan. Hubungan mereka selama ini bukan sekadar relasi calon mertua dan menantu. Widya sudah seperti ibu kedua baginya.Bukan hanya itu, rencana pernikahan Rama dan Evita, selama ini dugadang-gadang akan menyatukan dua kekuatan bisnis. Menolak Widya bisa merusak semua yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.“Baik, Tante,” ucap Evita akhirnya, suaranya pelan, nyaris tak terdengar. “Kalau memang itu keputusan yang terbaik menurut Tante, saya ikut.”Widya mengangguk

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    151. Cara Bar-bar

    Rama perlahan memapah Arman menaiki anak tangga menuju kamar utama di lantai atas. Gerakan ayahnya kini jauh lebih pelan, tapi tetap terlihat kuat.Rama sangat hati-hati saat memperlakukan sang papa. “Apa Papa masih merasa pusing atau pegal?”Arman menggeleng pelan dengan senyum, merasa bahagia dengan perhatian yang diberikan putranya. “Kamu tidak perlu khawatir, papa sudah sehat.”Di ruang tamu, sayup-sayup terdengar suara tawa ringan dari Widya dan Evita. Tampaknya keduanya tengah menikmati obrolan basa-basi, meskipun Rama yakin percakapan itu lebih dari sekadar temu kangen. Ia tahu betul bagaimana mamanya menyusun strategi, dan Evita bukan perempuan naif yang hanya tahu tersenyum.Sesampainya di kamar, Rama membantu Arman duduk di sisi ranjang. Ia membetulkan bantal dan memastikan obat-obatan diletakkan di meja kecil di sebelah tempat tidur. Arman menyandarkan punggung, menarik napas lega, lalu menoleh dengan senyum nakal ke arah putranya.“Kamu nggak usah lama-lama di sini, Ram,”

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status