Sekilas kenangan masa lalu itu terbit lagi di ingatan Andara.
"Aku tidak punya uang!" "Bukannya mas waktu itu udah janji untuk mengirimkan uang untuk orang tuaku?" Tanya Andara dengan mata yang memerah. "Kapan aku pernah berjanji?" "Sebelum aku memutuskan berhenti bekerja." "Aku nggak pernah berjanji seperti itu, Dara!" Tegas Huda tak mengingat apapun. "Aku hanya meminta sedikit saja dari gajimu, mas. Tolong kirimkan uang untuk orang tuaku.." pinta Andara memelas. "Dua tahun kita menikah, apa kita sudah menghasilkan sesuatu, Dara? Nggak, kan! Kamu lihat Hendra sepupuku itu. Sudah punya rumah dan mobil sendiri. Sementara kita masih hidup begini saja. Uang gajiku harus ku tabung." "Kamu jangan membandingkan hidup kita dengan orang lain, mas.. semua rumah tangga memiliki ujian masing-masing!" Jika mereka diuji oleh ekonomi maka Hendra yang dikatakan bergelimang harta itu diuji dengan tanpa kehadiran anak. "Pokoknya aku nggak bisa mengirimkan uang untuk papa dan mamamu!" "Mas..." lirih Andara hendak menangis. "Orang tuamu bukan tanggung jawabku!" Andara merosot mendengar ucapan suaminya. Dia sakit hati karena Huda seperti melupakan janjinya. Padahal, dia dulu pernah berkata akan membantu Andara mengirim orang tuanya uang. Tapi, sekarang.. semua hanya tinggal mimpi. Terlebih ibu mertua Andara malah ikut campur. Mungkin karena Huda kesal jadi menceritakan masalah ini pada ibunya. Akibatnya, Andara harus menerima kemarahan mertuanya juga. "Kamu itu perempuan, nak. Jika kamu menikah maka lepas pula tanggung jawabmu pada orang tuamu." "Aku cuma ingin membantu orang tuaku, bu." jawab Andara tersendat. "Membantu seperti apa? Orang tuamu itu berada. Tidak seperti ibu yang seorang janda." "Papa baru saja pensiun, bu. Kami nggak punya usaha apapun. Aku juga masih punya adik yang masih kuliah." "Tapi, kan mereka masih punya uang pensiun. Masih dapat gaji perbulan. Harusnya kamu bandingkan hidupmu dengan hidup ibu. Ibu malah punya Risa yang masih SMP. Perjalanannya masih panjang sedangkan ibu tidak bekerja." Andara memalingkan wajahnya yang bersedih. Percuma bicara pada Yanti. Wanita ini malah mengajaknya adu nasib. "Sebagai anak.. aku hanya ingin berbakti dengan orang tua. Membalas jasa mereka yang sudah menyekolahkanku sampai sarjana." Ucap Andara sedih. "Tidak perlu membalas jasa. Ya, kecuali kalau orang tuamu tidak ikhlas kepadamu!" Dengan entengnya Yanti mengatakan hal seperti itu. "Jadi, jangan merengek lagi pada suamu. Jangan jadi beban untuknya. Kasihan dia." Nyatanya yang menjadi beban bukan Andara maupun keluarganya. Melainkan Yanti sendiri. Mereka hidup dalam tanggungan Huda. Begitupula Risa yang harus kuliah dan menghabiskan banyak uang. Apakah Andara iri? Jawabannya iya. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. Setiap kali dia meminta, maka dia akan dihardik. Bukan sekali dua kali Andara memikirkan untuk berpisah. Tapi Randa, anak semata wayangnya yang menjadi penghalang di antara mereka. Anak kesayangannya itu saat ini terpisah darinya. Di usianya yang 6 tahun lalu, Randa dipaksa masuk ke sebuah pesantren untuk menuntut ilmu agama. Masih ingat betul Andara betapa tersedunya Randa menolak berpisah dari ibunya. Di dunia ini yang dia butuhkan adalah pelukan Andara, tapi dengan keji Huda memisahkan mereka dengan dalih menjadikan anak mereka sebagai ahli surga. Padahal Huda tak menyadari bahwa dirinya sendiri tak pantas dipanggil surga oleh istrinya sendiri. Dering ponsel membuat lamunan Andara terhenti. Sambil mengusap air matanya, Andara membuka pesan yang baru saja masuk. Rupanya dari mama Andara lagi. "Kalau kamu nggak bisa menjenguk papamu, kami terima. Tapi tolong bantu biaya pengobatan papamu disini." Andara menangis lagi. Dengan gemetaran dia mengusap ponselnya. Bagaimana cara Andara membantu biaya pengobatan papanya sementara untuk membalas pesan ini saja dia tak mampu? Oleh karena nafkah 200 ribu ini. Andara tak bisa membeli apapun untuk dirinya. Termasuk membeli pulsa untuk menghubungi keluarganya sendiri. Dengan berat hati, Andara menutup ponsel tersebut. Mungkin orang tua mereka beranggap bahwa Andara tak pernah membaca pesan dari mereka karena tak pernah terbalaskan. *** "Hari ini kita ada pertemuan diluar, pak." seru Tiara, sekretaris Huda yang sedang menemuinya di ruangan. "Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya? Ingat, Tiara. Hari ini adalah pertemuan penting kita. Jika kita berhasil mengikat mereka dengan kesepakatan maka perusahaan kita akan semakin besar." "Sudah, pak. Saya sudah menyiapkannya dengan baik." Bersama Tiara, Huda melakukan pertemuan dengan calon koleganya. Seorang manajer dari sebuah perusahaan yang cukup besar. Huda sendiri bekerja di anak perusahaan perkapalan. Dan mereka membutuhkan kerja sama dengan perusahaan timah. Pertemuan dilakukan diluar kantor tepatnya restoran berbintang 5. Ketika melihat siapa yang akan diajaknya bernegosiasi, Huda terkesiap. "Mas Gilang?" Gilang yang sedang sibuk bermain ponsel itu mendongak. Sekretaris prianya lalu bangkit berdiri untuk memasang badan. "Kamu.. Huda, kan?" "Benar." "Astaga, Huda!" Gilang bangkit dari duduknya dan membalas uluran tangan Huda. Mereka pun berpelukan sejenak. "Apa kabarmu?" "Baik. Mas bagaimana? Ya ampun. Padahal baru kemarin ibu cerita kalau mas Gilang dipindahkan kemari menjadi manajer." Gilang lalu tertawa. "Kalau begitu silahkan duduk." Huda dan sekretarisnya lalu mengambil tempat duduk. "Maaf kami baru datang. Tadi terjebak macet." "Tidak masalah! Kami juga baru datang." Sahut Gilang. Padahal dia tadi sempat menggerutu. Yang menawarkan kerja sama siapa tapi dia malah harus menunggu orang-orang ini. "Jadi bagaimana selanjutnya?" Tanya Huda jadi canggung. Keduanya kenal sejak kecil karena bertetangga. Tapi terpisah ketika menempuh pendidikan dimana Gilang harus keluar negeri. "Langsung saja ke penawarannya." Jawab Gilang tak mau berbasa-basi. Setelah berbincang mengenai kerja sama. Keduanya lalu sepakat dan menandatangani MoU yang sudah disiapkan. Setelah itu, Gilang berpamitan bersama sekretaris prianya. "Terima kasih banyak, mas Gilang!" Huda kembali menjabat tangan pria itu. "Sama-sama. Nanti jangan lupa hadir minggu depan. Aku sudah memberikan undangannya pada tante Yanti." "Kami pasti datang." Balas Huda tersenyum. "Jangan lupa ajak istrimu saja. Siapa namanya aku lupa.." "Andara." "Ya, Andara." "Aku akan mengajaknya!" Seru Huda. Dia memang harus mengajak istrinya untuk berkenalan dengan temannya yang sudah sukses itu. Gilang lalu berpamitan karena harus kembali ke kantor. Sementara, Huda dan Tiara memilih makan siang terlebih dahulu. "Syukurlah hari ini pak Huda berhasil memenangkan hati beliau. Padahal pak Gilang itu terkenal sedikit arogan." Ucap Tiara. "Benarkah?" Huda sampai tertawa. "Mungkin karena perawakannya saja. Padahal dia tidak searogan itu." "Iya, pak." Huda lalu mengamati sekretarisnya ini. "Cincinmu mana?" Tanya Huda penasaran. Rasanya kemarin wanita ini selalu memakai cincin di jari manisnya. "Oh.. udah dibuang, pak. Kami putus." Jawab Tiara sambil memotong daging steaknya. "Putus? Kenapa?" "Dia memintaku berhenti bekerja setelah menikah. Ya, aku nggak mau lah! Orang tuaku mau dikasih makan apa kalau aku nggak kerja!" Jelas Tiara sambil tertawa pelan. "Kenapa begitu? Kalian saling mencintai, kan?" "Di dunia ini nggak cukup hanya cinta, pak. Realistis aja. Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Apalagi seperti aku ini yang sudah disekolahkan tinggi-tinggi. Setidaknya, aku harus membantu perekonomian keluarga. Kalau aku nggak kerja, aku khawatir dia nggak bisa memenuhi kebutuhanku. Dan aku nggak siap akan itu!" Sementara, Huda jadi terdiam. Dia jadi teringat istrinya yang juga berhenti bekerja menjadi sekretaris karena harus mengabdi pada keluarga.Andara terkejut ketika ia ditegur oleh seseorang. Wanita ini reflek menjatuhkan piring yang ada di tangannya hingga pecah membentur lantai."Oh, maaf.." ucap Andara gemetaran. Dia lalu duduk memunguti serpisahan kaca yang terbelah. Saking gugupnya, tangan Andara sampai terkena ujung yang tajam."Sudah jangan dibereskan!" Seru Gilang menahan tangan Andara. Dia lalu memanggil pelayan.Tangan Andara lalu ditekannya menggunakan sapu tangan. Untung saja pria ini membawa selalu sapu tangan di kemejanya.Oleh karena kehebohan ini, Yanti sampai menuju area meja makan dan mendapati menantunya yang tengah terduduk."Andara! Ya, ampun!"Yanti lalu melihat apa yang terjadi. "Kamu mecahin piring?"Huda yang mendengar keributan pun ikut datang dan melihat istrinya yang tengah terduduk. Dimana ada Gilang yang sedang memegang jari Andara menggunakan sapu tangan."Ada apa ini?" Tanya Huda memburu tubuh Andara. Melihat Huda mendekat, barulah Gilang melepaskan tangannya."Aku nggak sengaja memecahkan p
Huda tersenyum lagi memandang ponselnya. Pesan baru masuk dari sekretarisnya, Tiara. Bukan melaporkan pekerjaan melainkan wanita itu mengirimkan beberapa foto hasil belanja dia hari ini."Terima kasih atas rezekinya, pak. Hari ini saya bisa belanja skincare dan alat make up." Tulisnya dengan emoticon full senyum.Huda memalas pesan tersebut dengan sama manisnya.Ah, dasar wanita. Mereka sama saja. Tidak bisa mendapat uang sedikit maka yang dipikirkan pasti berbelanja.Huda melirik sisi tempat tidurnya dimana Andara yang tengah memunggunginya. Pria ini pun berdeham."Dara. Kalau aku minta sesuatu, boleh nggak?"Andara membuka selimut yang menutupi kepalanya lalu menatap Huda."Minta apa, mas?" Tanyanya dengan suara yang serak dan mata yang memerah."Aku mau nikah lagi."Andara menatap suaminya dengan nanar. Berusaha mencerna ucapan Huda barusan."Aku bosan denganmu. Lihatlah dirimu. Usiamu baru 35 tahun tapi ubanmu sudah dimana-mana. Wajahmu juga nggak semulus dulu. Apa kamu nggak bisa
Sepulangnya ke kantor, Huda mendapatkan tepukan hangat dari pemilik perusahaan ini. Kerja keras yang sangat membuahkan hasil. Kini perusahaan timah terbesar bekerja sama dengan mereka."Selamat karena pencapaianmu ini, Huda. Kita tahu sendiri bagaimana perusahaan timah itu." Ucap Kamal."Terima kasih, Pak. Ini tak lepas dari dukungan kalian semua.""Kita patut bersyukur karena memiliki pak Huda sebagai manajer kita." Timpal Tiara tersenyum manis.Huda jadi ikut tersenyum ketika mendapatkan banjiran pujian."Terima kasih. Saya anggap ini sebuah motivasi agar bisa bekerja lebih giat lagi."Setelah memberikan selamat, Kamal dan Huda kini berbincang berdua saja. Jelas dari raut wajahnya, Kamal sungguh membanggakan pria ini."Aku akan memberikan bonus untukmu." Sambung Kamal. "Nanti akan ku kirimkan segera ke rekeningmu.""Tidak perlu repot, pak. Ini memang kewajiban saya." Sahut Huda seakan tulus."Tidak masalah. Karena kerja sama ini, tidak memungkinkan jika perusahaan kapal kita akan se
Sekilas kenangan masa lalu itu terbit lagi di ingatan Andara."Aku tidak punya uang!""Bukannya mas waktu itu udah janji untuk mengirimkan uang untuk orang tuaku?" Tanya Andara dengan mata yang memerah."Kapan aku pernah berjanji?""Sebelum aku memutuskan berhenti bekerja.""Aku nggak pernah berjanji seperti itu, Dara!" Tegas Huda tak mengingat apapun."Aku hanya meminta sedikit saja dari gajimu, mas. Tolong kirimkan uang untuk orang tuaku.." pinta Andara memelas."Dua tahun kita menikah, apa kita sudah menghasilkan sesuatu, Dara? Nggak, kan! Kamu lihat Hendra sepupuku itu. Sudah punya rumah dan mobil sendiri. Sementara kita masih hidup begini saja. Uang gajiku harus ku tabung.""Kamu jangan membandingkan hidup kita dengan orang lain, mas.. semua rumah tangga memiliki ujian masing-masing!" Jika mereka diuji oleh ekonomi maka Hendra yang dikatakan bergelimang harta itu diuji dengan tanpa kehadiran anak."Pokoknya aku nggak bisa mengirimkan uang untuk papa dan mamamu!""Mas..." lirih An
Andara keluar dari rumah menggunakan daster dan juga hijabnya. Sebuah penampilan yang ketinggalan zaman karena Andara seperti tersesat dalam kehidupan 10 tahun ke belakang.Dengan berjalan, Andara mampir ke tukang sayur bermotor yang biasa mengeliling komplek perumahan mereka. Oleh karena hanya dijatahkan 200 ribu satu minggu. Maka Andara akan membeli bahan masakan sebesar 50 ribu untuk seminggu."Seperti biasa, mbak?" Tanya pria yang memiliki profesi tukang sayur itu. Dia sudah hapal betul apa yang akan dibeli Andara."Iya." Jawab Andara datar.Pria itu lalu memasukkan satu potong tempe, 3 buah tahu, satu dada ayam dan juga satu ikan. Tak lupa sayur-sayur murah seperti kangkung juga sawi yang masuk ke dalam kantong belanjaannya."Tapi cabe sama bawang lagi naik daun sekarang." Ujar tukang sayur ini."Satu ons saja kalo gitu."Ibu-ibu yang tengah ikut membeli sayur ini hanya diam seribu bahasa ketika Andara datang berbelanja. Setelah membayar dan pergi, barulah mereka baru mengeluarka
"Untuk bulan ini."Seperti biasa di awal bulan. Di tahun pernikahan mereka yang sudah memasuki angka ke 10. Huda memberikan gajinya yang tersisa 200 ribu itu kepada istrinya, Andara. Seperti biasa juga Andara menerimanya dengan wajah datar. Tanpa keterkejutan maupun kesedihan. Dia bahkan tak lupa mengucapkan terima kasih."Makasih, mas.""Listrik dan air sudah ku bayar. Spp Randa juga sudah ditransfer. Bulan depan Randa baru bisa pulang." Sambung Huda lagi.Andara hanya mengangguk. Pernikahan keduanya menghasilkan satu orang putra bernama Randa yang berusia 8 tahun. Namun, Randa terpisah dari orang tuanya karena harus bersekolah di pesantren. Padahal dia masih sekolah dasar, Huda menganggap sekolah itu sebagai madrasah terbaik Randa untuk menjadi calon pemimpin di masa depan.Walau Andara berat hati melepas anaknya, tapi dia tak bisa mencegah. Tahu betul Andara bagaimana kerasnya watak suaminya itu. Jika dia sudah berkata A maka tidak akan pernah berubah jadi B."Sepulang kerja nanti