Andara keluar dari rumah menggunakan daster dan juga hijabnya. Sebuah penampilan yang ketinggalan zaman karena Andara seperti tersesat dalam kehidupan 10 tahun ke belakang.
Dengan berjalan, Andara mampir ke tukang sayur bermotor yang biasa mengeliling komplek perumahan mereka. Oleh karena hanya dijatahkan 200 ribu satu minggu. Maka Andara akan membeli bahan masakan sebesar 50 ribu untuk seminggu. "Seperti biasa, mbak?" Tanya pria yang memiliki profesi tukang sayur itu. Dia sudah hapal betul apa yang akan dibeli Andara. "Iya." Jawab Andara datar. Pria itu lalu memasukkan satu potong tempe, 3 buah tahu, satu dada ayam dan juga satu ikan. Tak lupa sayur-sayur murah seperti kangkung juga sawi yang masuk ke dalam kantong belanjaannya. "Tapi cabe sama bawang lagi naik daun sekarang." Ujar tukang sayur ini. "Satu ons saja kalo gitu." Ibu-ibu yang tengah ikut membeli sayur ini hanya diam seribu bahasa ketika Andara datang berbelanja. Setelah membayar dan pergi, barulah mereka baru mengeluarkan suara. "Itu beneran si Andara beli sayur cuma 50 ribu?" Tanya ibu bertubuh gempal pada tukang sayur langganannya. "Iya, buat seminggu lagi!" "Ya ampun! Memang cukup? Lah, kita aja 200 ribu kadang cuma untuk satu hari!" Celotehnya. "Mungkin karena cuma tinggal berdua aja sama suaminya!" Sahut ibu yang lain. "Bisa jadi! Padahal penampilan suaminya luar biasa kerennya. Lah, istrinya cuma begitu aja!" Mereka pun tertawa sembari memandangi Andara dari belakang. Jika mereka pikir Andara tidak mendengar, maka mereka salah. Andara mendengar suara sumbang yang menggunjing dirinya. Tapi, Andara sudah berlatih menebalkan telinganya setelah bertahun-tahun. Dia sudah mati rasa. Seperti biasa, lauk sederhana dan tidak ada yang spesial. Setiap hari, Andara akan memasak untuk suaminya. Tak seperti dulu jika Andara bosan bisa jajan semaunya. Tapi hidupnya sudah berubah. Dia tak mau lagi meminta karena takut merepotkan. Tak ingin menangis karena takut dimarahi. Jadi, dia memilih untuk diam dan menikmati kesederhanaan hidupnya. Sudah 5 tahun lebih tepatnya, Andara dan suaminya pindah ke rumah di komplek elit ini. Huda yang memiliki karir cemerlang sudah diangkat menjadi manajer di perusahaan tempat dia bekerja. Jerih payahnya yang luar biasa menghasilkan rumah, mobil dan juga fasilitaa mewah lainnya. Namun semuanya tak ada gunanya di mata Andara. Soal nafkah, Huda tak berubah. Suami pelitnya itu hanya memberinya 200 ribu per bulan. Alasannya karena semua kebutuhan yang lain sudah Huda cukupkan. Jadi, Andara tak perlu meminta uang lagi. Selesai memasak, Andara masuk ke kamar dan menenggelamkan dirinya di tempat tidur. Menunggu Huda yang biasanya pulang pukul 5 sore. Di rumah Yanti, Huda tiba untuk makan siang. "Tumben mampir siang-siang!" Seru Yanti ketika Huda berkunjung. "Tadi ada rapat sekalian mampir kemari. Ibu masak apa?" "Rawon daging. Kesukaanmu." Huda tersenyum dan langsung ke meja makan. Tanpa perlu ditawari, Huda nenyantap makanan kesukaannya itu. "Heran! Udah punya istri masih seneng makan di rumah ibu sendiri!" Celoteh Yanti. Mulutnya menggerutu tapi dia hatinya bersorak. "Sekalian mampir, sekalian makan siang. Sayang, rezeki nggak bisa ditolak!" Ucap Huda santai. "Da, jangan lupa adikmu Risa mau bayar spp bentar lagi." "Risa belum mau tamat kuliah apa, bu? Sudah tahun kelima loh ini!" "Skripsinya susah katanya." Huda mengela nafas panjang. "Nanti aku mau ngomong sama dia! Emang dipikirnya nggak berat ngeluarin uang 8 juta per semester! Belum lagi biaya per bulannya!" "Nah, kamu ngomong sendiri sama anaknya. Dia baru pulang!" Kebetulan Risa baru saja pulang dari kampus, dia pun langsung di sidang di tengah rumah. "Aku dipersulit dosen, mas." Jawab Risa tersendat. "Nggak ada mahasiswa yang dipersulit dosen, Risa! Adanya mahasiswa yang pemalas kaewna nggak mau berkonsultasi!" Seru Huda. "Kalau begitu mas aja gantiin posisi aku!" "Boleh! Terus kamu gantiin posisi mas dan cari uang untuk bayar sppmu sendiri! 8 juta per semester, belum lagi biaya jajanmu. Biaya servis laptop, sepeda motor entah apalagi nanti!" Gerutu Huda. Mendengar itu, Risa terdiam. Dia jadi menunduk dengan wajah yang menggerutu. "Kuliah yang benar supaya bisa cepat selesai, nak. Kasihan masmu harus membiayai sppmu terus. Kalau udah tamat kuliah nanti cari kerja. Biar nggak seperti kakak iparmu yang cuma diam di rumah aja." Yanti menimpali. "Kenapa ibu jadi membawa Andara?" Tanya Huda tak senang. "Bukan begitu maksudnya.." nah, Yanti jadi salah bicara. Dia pun cepat mengalihkan pembicaraan. "Oh, ya. Ada undangan minggu depan dari Gilang." "Mas Gilang? Memang dia disini?" "Iya, katanya dia dimutasikan kemari sebagai manajer baru perusahaan timah." "Wah hebat.." Huda jadi kagum. Huda juga manajer, tapi dari perusahaan kecil. Sementara, karir Gilang luar biasa. "Ngundang apa dia? Menikah?" Tanya Huda penasaran. "Bukan. Katanya dia baru beli rumah." "Oh begitu.. nanti kasih tahu aja alamatnya. Insya Allah aku datang." Huda lalu berpamitan untuk pergi ke kantor lagi, menjelang malam dia baru tiba di rumahnya sendiri. Andara menyambut dengan wajah datarnya. Membantu Huda melepaskan jas dan menyiapkan pakaian ganti. "Aku mau makan malam." Ucap Huda seperti memberikan perintah pada pelayan. Andara manut dan melayani suaminya makan. Di meja ini hanya ada tempe 4 potong, tahu sambal dalam porsi sedikit dan juga bening sawi. Semuanya dibuat dalam porsi sekali makan. "Biaya listrik kita mahal banget. Coba kamu hemat-hemat Andara, matikan aja lampu atau elektronik yang nggak dipakai. AC kalau nggak ada aku, nggak usah dihidupkan." Titahnya. "Iya, mas." Tak ada perlawanan dari Andara. Dia mematuhi saran suaminya. Ketika siang hari, dia tidak menggunakan AC. Dan malam hari hanya menghidupkan lampu yang dibutuhkan saja. Alhasil, rumah ini lebih mirip rumah hantu dibandingkan rumah manusia. "Hari ini aku pulang malam. Ada rapat lagi diluar." Andara hanya mengangguk. Dia tengah berkonsentrasi memasang dasi suaminya. "Makan malam diluar atau disini?" Tanya Andara. "Belum tahu. Masak aja!" Andara mengantar suaminya sampai ke pintu depan, lalu dia masuk kembali setelah mendengar dering telepon. Namun, sayang.. ketika hendak mengangkat panggilan tersebut teleponnya dimatikan. Melihat nama si penelepon Andara sudah merasa ada sesuatu yang tak beres. "Mama.." gumam Andara. Tak lama ada pesan yang masuk dari ibunya. Ternyata papa Andara dilarikan ke rumah sakit.Andara terkejut ketika ia ditegur oleh seseorang. Wanita ini reflek menjatuhkan piring yang ada di tangannya hingga pecah membentur lantai."Oh, maaf.." ucap Andara gemetaran. Dia lalu duduk memunguti serpisahan kaca yang terbelah. Saking gugupnya, tangan Andara sampai terkena ujung yang tajam."Sudah jangan dibereskan!" Seru Gilang menahan tangan Andara. Dia lalu memanggil pelayan.Tangan Andara lalu ditekannya menggunakan sapu tangan. Untung saja pria ini membawa selalu sapu tangan di kemejanya.Oleh karena kehebohan ini, Yanti sampai menuju area meja makan dan mendapati menantunya yang tengah terduduk."Andara! Ya, ampun!"Yanti lalu melihat apa yang terjadi. "Kamu mecahin piring?"Huda yang mendengar keributan pun ikut datang dan melihat istrinya yang tengah terduduk. Dimana ada Gilang yang sedang memegang jari Andara menggunakan sapu tangan."Ada apa ini?" Tanya Huda memburu tubuh Andara. Melihat Huda mendekat, barulah Gilang melepaskan tangannya."Aku nggak sengaja memecahkan p
Huda tersenyum lagi memandang ponselnya. Pesan baru masuk dari sekretarisnya, Tiara. Bukan melaporkan pekerjaan melainkan wanita itu mengirimkan beberapa foto hasil belanja dia hari ini."Terima kasih atas rezekinya, pak. Hari ini saya bisa belanja skincare dan alat make up." Tulisnya dengan emoticon full senyum.Huda memalas pesan tersebut dengan sama manisnya.Ah, dasar wanita. Mereka sama saja. Tidak bisa mendapat uang sedikit maka yang dipikirkan pasti berbelanja.Huda melirik sisi tempat tidurnya dimana Andara yang tengah memunggunginya. Pria ini pun berdeham."Dara. Kalau aku minta sesuatu, boleh nggak?"Andara membuka selimut yang menutupi kepalanya lalu menatap Huda."Minta apa, mas?" Tanyanya dengan suara yang serak dan mata yang memerah."Aku mau nikah lagi."Andara menatap suaminya dengan nanar. Berusaha mencerna ucapan Huda barusan."Aku bosan denganmu. Lihatlah dirimu. Usiamu baru 35 tahun tapi ubanmu sudah dimana-mana. Wajahmu juga nggak semulus dulu. Apa kamu nggak bisa
Sepulangnya ke kantor, Huda mendapatkan tepukan hangat dari pemilik perusahaan ini. Kerja keras yang sangat membuahkan hasil. Kini perusahaan timah terbesar bekerja sama dengan mereka."Selamat karena pencapaianmu ini, Huda. Kita tahu sendiri bagaimana perusahaan timah itu." Ucap Kamal."Terima kasih, Pak. Ini tak lepas dari dukungan kalian semua.""Kita patut bersyukur karena memiliki pak Huda sebagai manajer kita." Timpal Tiara tersenyum manis.Huda jadi ikut tersenyum ketika mendapatkan banjiran pujian."Terima kasih. Saya anggap ini sebuah motivasi agar bisa bekerja lebih giat lagi."Setelah memberikan selamat, Kamal dan Huda kini berbincang berdua saja. Jelas dari raut wajahnya, Kamal sungguh membanggakan pria ini."Aku akan memberikan bonus untukmu." Sambung Kamal. "Nanti akan ku kirimkan segera ke rekeningmu.""Tidak perlu repot, pak. Ini memang kewajiban saya." Sahut Huda seakan tulus."Tidak masalah. Karena kerja sama ini, tidak memungkinkan jika perusahaan kapal kita akan se
Sekilas kenangan masa lalu itu terbit lagi di ingatan Andara."Aku tidak punya uang!""Bukannya mas waktu itu udah janji untuk mengirimkan uang untuk orang tuaku?" Tanya Andara dengan mata yang memerah."Kapan aku pernah berjanji?""Sebelum aku memutuskan berhenti bekerja.""Aku nggak pernah berjanji seperti itu, Dara!" Tegas Huda tak mengingat apapun."Aku hanya meminta sedikit saja dari gajimu, mas. Tolong kirimkan uang untuk orang tuaku.." pinta Andara memelas."Dua tahun kita menikah, apa kita sudah menghasilkan sesuatu, Dara? Nggak, kan! Kamu lihat Hendra sepupuku itu. Sudah punya rumah dan mobil sendiri. Sementara kita masih hidup begini saja. Uang gajiku harus ku tabung.""Kamu jangan membandingkan hidup kita dengan orang lain, mas.. semua rumah tangga memiliki ujian masing-masing!" Jika mereka diuji oleh ekonomi maka Hendra yang dikatakan bergelimang harta itu diuji dengan tanpa kehadiran anak."Pokoknya aku nggak bisa mengirimkan uang untuk papa dan mamamu!""Mas..." lirih An
Andara keluar dari rumah menggunakan daster dan juga hijabnya. Sebuah penampilan yang ketinggalan zaman karena Andara seperti tersesat dalam kehidupan 10 tahun ke belakang.Dengan berjalan, Andara mampir ke tukang sayur bermotor yang biasa mengeliling komplek perumahan mereka. Oleh karena hanya dijatahkan 200 ribu satu minggu. Maka Andara akan membeli bahan masakan sebesar 50 ribu untuk seminggu."Seperti biasa, mbak?" Tanya pria yang memiliki profesi tukang sayur itu. Dia sudah hapal betul apa yang akan dibeli Andara."Iya." Jawab Andara datar.Pria itu lalu memasukkan satu potong tempe, 3 buah tahu, satu dada ayam dan juga satu ikan. Tak lupa sayur-sayur murah seperti kangkung juga sawi yang masuk ke dalam kantong belanjaannya."Tapi cabe sama bawang lagi naik daun sekarang." Ujar tukang sayur ini."Satu ons saja kalo gitu."Ibu-ibu yang tengah ikut membeli sayur ini hanya diam seribu bahasa ketika Andara datang berbelanja. Setelah membayar dan pergi, barulah mereka baru mengeluarka
"Untuk bulan ini."Seperti biasa di awal bulan. Di tahun pernikahan mereka yang sudah memasuki angka ke 10. Huda memberikan gajinya yang tersisa 200 ribu itu kepada istrinya, Andara. Seperti biasa juga Andara menerimanya dengan wajah datar. Tanpa keterkejutan maupun kesedihan. Dia bahkan tak lupa mengucapkan terima kasih."Makasih, mas.""Listrik dan air sudah ku bayar. Spp Randa juga sudah ditransfer. Bulan depan Randa baru bisa pulang." Sambung Huda lagi.Andara hanya mengangguk. Pernikahan keduanya menghasilkan satu orang putra bernama Randa yang berusia 8 tahun. Namun, Randa terpisah dari orang tuanya karena harus bersekolah di pesantren. Padahal dia masih sekolah dasar, Huda menganggap sekolah itu sebagai madrasah terbaik Randa untuk menjadi calon pemimpin di masa depan.Walau Andara berat hati melepas anaknya, tapi dia tak bisa mencegah. Tahu betul Andara bagaimana kerasnya watak suaminya itu. Jika dia sudah berkata A maka tidak akan pernah berubah jadi B."Sepulang kerja nanti