Sepulangnya ke kantor, Huda mendapatkan tepukan hangat dari pemilik perusahaan ini. Kerja keras yang sangat membuahkan hasil. Kini perusahaan timah terbesar bekerja sama dengan mereka.
"Selamat karena pencapaianmu ini, Huda. Kita tahu sendiri bagaimana perusahaan timah itu." Ucap Kamal. "Terima kasih, Pak. Ini tak lepas dari dukungan kalian semua." "Kita patut bersyukur karena memiliki pak Huda sebagai manajer kita." Timpal Tiara tersenyum manis. Huda jadi ikut tersenyum ketika mendapatkan banjiran pujian. "Terima kasih. Saya anggap ini sebuah motivasi agar bisa bekerja lebih giat lagi." Setelah memberikan selamat, Kamal dan Huda kini berbincang berdua saja. Jelas dari raut wajahnya, Kamal sungguh membanggakan pria ini. "Aku akan memberikan bonus untukmu." Sambung Kamal. "Nanti akan ku kirimkan segera ke rekeningmu." "Tidak perlu repot, pak. Ini memang kewajiban saya." Sahut Huda seakan tulus. "Tidak masalah. Karena kerja sama ini, tidak memungkinkan jika perusahaan kapal kita akan semakin besar." Ucap pria itu terkekeh. "Terima kasih kalau begitu." Mana mungkin juga Huda menolak rezeki. Sore itu juga dia mendapatkan durian runtuh dari Kamal. Ketika melihat saldo yang masuk, Huda tersenyum. "Alhamdulillah. Bisa buat bayaran SPPnya Risa." Lega Huda. Pria ini lalu mengambil tas kerjanya dan hendak pulanh ke rumah. "Saya duluan ya, Tiara." Ucapnya pada sekretarisnya yang masih mengerjakan sesuatu di balik komputer. "Hati-hati di jalan, pak. Saya ucapkan selamat sekali lagi untuk pencapaian hari ini." Huda tersenyum sembari memandang wanita yang cantik dengan paduan blazer itu. "Ini juga karena dirimu. Ah, nanti saya berikan tips untuk kerja kerasmu." "Tips?" Mata Tiara langsung berbinar. Huda mengambil ponselnya dan menyerahkan pada Tiara. "Ketik nomor rekeningmu disitu." "Apa ini nggak berlebihan, pak? Saya cuma mengerjakan tugas saya saja." Tiara mencoba menolak secara halus. "Saya ingin membagi rezeki aja. Tulis saja disana." Tiara tersenyum dan mengambil ponsel tersebut lalu mengetik nomor rekeningnya. "Terima kasih sebelumnya, pak." Huda mengambil ponsel tersebut dan melalukan sesuatu disana. Ting! Notifikasi masuk ke ponsel Tiara. Ternyata dia mendapatkan kiriman sebanyak 2 juta dari manajernya ini. "Banyak sekali, pak.." Tiara jadi terharu. "Itu hadiah untuk kerja kerasmu. Kalau begitu, saya pamit dulu." Tiara menundukkan sedikit kepalanya untuk memberikan hormat. Tak lupa senyum lebar itu menghiasi wajah cantiknya. "Ternyata pak Huda royal juga." Tiara terkikik sambil mengecek mbankingnya. Tidak rugi juga bekerja menjadi sekretaris pria ini. *** Huda sampai ke rumahnya ketika isya. Itu karena dia mampir ke rumah Yanti dulu untuk membayar spp Risa yang akan dibayarkan bulan depan. Setelah itu, dia pulang ke rumahnya sendiri. Andara menyambut seperti biasa. Menyalimi tangan suaminya dengan takzim lalu mengambil tas tangan Huda. Membantu pria ini melepaskan jas dan menyiapkan baju gantinya. Sambil melirik Huda yang tengah berpakaian, Andara ingin sekali mengatakan sesuatu yang membuatnya kepikiran seharian ini. Mamanya mengirim pesan lagi sore ini. Menanyakan Andara yang masih hidup atau tidak? Mungkin dia penasaran kenapa Andara tak pernah membalas pesannya. Menelpon saja tidak pernah! "Mau makan malam, mas?" Tanya Andara. Huda berdeham dan mengikuti istrinya ke meja makan. Saat melirik lauknya, Huda sudah menebak jika lauk makan malam ini lauk yang sama seperti sudah-sudah. Empat potong tempe, secumpuk tahu sambal dan sayur bening untuk sekali makan. Sudah 8 tahun, Andara menyiapkan menu yang itu-itu saja. Tapi, Huda tak memprotes. Dia sadar diri jika memang uang nafkah yang diberikannya memang sanggup membeli itu. Huda menerima nasi yang ditautkan oleh Andara. Mengambil 2 potong tempe dan menghabiskan tahu juga sayur tersebut. Sebenarnya perut Huda masih kenyang, apalagi ketika mampir ke rumah Yanti tadi ibunya itu memasak udang sambal kesukaannya. Tapi dari pada membuat Andara kecewa. Dia makan saja apa yang sudah disiapkan istrinya. Sementara, Andara menatap getir suaminya yang sedang melahap makanannya. Sudah 8 tahun dengan menu yang sama. Suaminya tak pernah memprotes ataupun kecewa. Dan hebatnya.. dia tak pernah bertanya. Apakah Andara sudah makan? Apakah Andara menyukai makanan yang dibuatnya sendiri? Yang Huda tahu, Andara harus patuh akan ucapannya dan menjadi apa yang dia inginkan. Tanpa tahu jika Andara tak pernah makan siang agar suaminya bisa makan di malam hari. Hanya bisa memakan makanan sisa dari suaminya. Syukur-syukur jika ada lauk yang Huda tinggalkan. Jila tidak, maka Andara harus berpuas makan nasi putih saja. "Minumnya mana?" Tanya Huda membuyarkan lamunan Andara. "Oh.. sebentar." Andara bangkit berdiri dan mengambil air dingin dari kulkas lalu menghidangkannya untuk Huda. Setelah perutnya kenyang, Huda kembali ke kamar. Memegang ponsel dan tersenyum saat memandang layarnya. Sementara, Andara bergelung dengan kesepiannya sendiri. Dulu, rumah ini penuh akan canda tawa dari seorang anak laki-laki. Namun, semenjak 2 tahun ini tak ada lagi suara khas riang itu disini. Dulu, ranjang itu begitu hangat karena cinta yang berapi-api. Tapi, dua orang itu bak orang asing karena tidur saling memunggungi. Keduanya tak pernah lagi menyatakan perasaannya. Mengucapkan kata cinta saja enggan. Itu karena adanya ego yang mereka tak beri makan. Huda yang keras kepala dan Andara yang terlanjur terluka. Keduanya hidup masing-masing dalam dunianya. Andara masuk ke kamarnya pukul 9 malam. Rupanya Huda belum tertidur. Dia masih tersenyum memandang sesuatu yang tertera di layar ponselnya. Sepertinya suasana hati Huda sedang senang.. bolehkah Andara mengusiknya sebentar. Ya. Dia ingin berbicara dengan suaminya. "Mas.. aku ingin bicara." Ucap Andara hati-hati. Dia ikut duduk di tepi pembaringan. "Bicara saja." Jawab Huda tanpa menoleh. "Mama tadi kirim pesan, katanya papa sakit." "Hmm.. sakit apa?" Tak terdengar nada khawatir dari sana. "Aku juga nggak tahu, mas. Aku nggak bisa membalas pesan mama." "Kenapa nggak dibalas?" Gerutu Huda pelan. "Aku nggak punya pulsa." Huda sampai menoleh dan menatap istrinya dengan tatapan tak percaya. Jawaban yang tak masuk akal baginya. "Mama bilang, kalau aku nggak bisa pulang nggak apa-apa. Tapi, mama minta bantuan kita.." "Bantuan apa?" Perasaan Huda sudah mulai tak enak. "Mama minta kita membantu sedikit biaya pengobatan papa." Huda sampai berdecak. "Kamu aja nggak tahu papamu sakit apa. Gimana, sih?" Andara hanya tertunduk mendengar jawaban Huda. "Mungkin hanya sakit biasa. Namanya juga udah tua. Udahlah jangan terlalu dipikirin. Kalau mama memang butuh, nanti pasti akan menghubungiku." Sambung Huda cepat. "Apa aku boleh minta sedikit aja, mas.." ucap Andara menahan egonya mati-matian. Suaranya bahkan gemetaran saat mengatakan itu. "Aku ingin pulang melihat mereka. Sudah 5 tahun aku nggak melihat orang tuaku." Huda lalu menarik nafas panjang dan menatap tajam istrinya. "Kalau kamu mau pulang silahkan. Tapi hanya dua hari. Nanti siapa yang mengurusiku kalau kamu pulang terlalu lama! Terus aku juga nggak bisa ngasih kamu lebih. Tahu sendiri bulan ini pengeluaran kita banyak, bayar spp Randa, bayar iuran listrik dan air yang naik, belum lagi bahan sembako juga naik. Ini aja aku suruh kamu berhemat." Andara mengangguk sambil menahan air matanya. "Iya, tidak apa-apa. Aku nggak akan pulang." Andara lalu menyenderkan punggungnya dan memilih tertidur membelakangi suaminya.Andara terkejut ketika ia ditegur oleh seseorang. Wanita ini reflek menjatuhkan piring yang ada di tangannya hingga pecah membentur lantai."Oh, maaf.." ucap Andara gemetaran. Dia lalu duduk memunguti serpisahan kaca yang terbelah. Saking gugupnya, tangan Andara sampai terkena ujung yang tajam."Sudah jangan dibereskan!" Seru Gilang menahan tangan Andara. Dia lalu memanggil pelayan.Tangan Andara lalu ditekannya menggunakan sapu tangan. Untung saja pria ini membawa selalu sapu tangan di kemejanya.Oleh karena kehebohan ini, Yanti sampai menuju area meja makan dan mendapati menantunya yang tengah terduduk."Andara! Ya, ampun!"Yanti lalu melihat apa yang terjadi. "Kamu mecahin piring?"Huda yang mendengar keributan pun ikut datang dan melihat istrinya yang tengah terduduk. Dimana ada Gilang yang sedang memegang jari Andara menggunakan sapu tangan."Ada apa ini?" Tanya Huda memburu tubuh Andara. Melihat Huda mendekat, barulah Gilang melepaskan tangannya."Aku nggak sengaja memecahkan p
Huda tersenyum lagi memandang ponselnya. Pesan baru masuk dari sekretarisnya, Tiara. Bukan melaporkan pekerjaan melainkan wanita itu mengirimkan beberapa foto hasil belanja dia hari ini."Terima kasih atas rezekinya, pak. Hari ini saya bisa belanja skincare dan alat make up." Tulisnya dengan emoticon full senyum.Huda memalas pesan tersebut dengan sama manisnya.Ah, dasar wanita. Mereka sama saja. Tidak bisa mendapat uang sedikit maka yang dipikirkan pasti berbelanja.Huda melirik sisi tempat tidurnya dimana Andara yang tengah memunggunginya. Pria ini pun berdeham."Dara. Kalau aku minta sesuatu, boleh nggak?"Andara membuka selimut yang menutupi kepalanya lalu menatap Huda."Minta apa, mas?" Tanyanya dengan suara yang serak dan mata yang memerah."Aku mau nikah lagi."Andara menatap suaminya dengan nanar. Berusaha mencerna ucapan Huda barusan."Aku bosan denganmu. Lihatlah dirimu. Usiamu baru 35 tahun tapi ubanmu sudah dimana-mana. Wajahmu juga nggak semulus dulu. Apa kamu nggak bisa
Sepulangnya ke kantor, Huda mendapatkan tepukan hangat dari pemilik perusahaan ini. Kerja keras yang sangat membuahkan hasil. Kini perusahaan timah terbesar bekerja sama dengan mereka."Selamat karena pencapaianmu ini, Huda. Kita tahu sendiri bagaimana perusahaan timah itu." Ucap Kamal."Terima kasih, Pak. Ini tak lepas dari dukungan kalian semua.""Kita patut bersyukur karena memiliki pak Huda sebagai manajer kita." Timpal Tiara tersenyum manis.Huda jadi ikut tersenyum ketika mendapatkan banjiran pujian."Terima kasih. Saya anggap ini sebuah motivasi agar bisa bekerja lebih giat lagi."Setelah memberikan selamat, Kamal dan Huda kini berbincang berdua saja. Jelas dari raut wajahnya, Kamal sungguh membanggakan pria ini."Aku akan memberikan bonus untukmu." Sambung Kamal. "Nanti akan ku kirimkan segera ke rekeningmu.""Tidak perlu repot, pak. Ini memang kewajiban saya." Sahut Huda seakan tulus."Tidak masalah. Karena kerja sama ini, tidak memungkinkan jika perusahaan kapal kita akan se
Sekilas kenangan masa lalu itu terbit lagi di ingatan Andara."Aku tidak punya uang!""Bukannya mas waktu itu udah janji untuk mengirimkan uang untuk orang tuaku?" Tanya Andara dengan mata yang memerah."Kapan aku pernah berjanji?""Sebelum aku memutuskan berhenti bekerja.""Aku nggak pernah berjanji seperti itu, Dara!" Tegas Huda tak mengingat apapun."Aku hanya meminta sedikit saja dari gajimu, mas. Tolong kirimkan uang untuk orang tuaku.." pinta Andara memelas."Dua tahun kita menikah, apa kita sudah menghasilkan sesuatu, Dara? Nggak, kan! Kamu lihat Hendra sepupuku itu. Sudah punya rumah dan mobil sendiri. Sementara kita masih hidup begini saja. Uang gajiku harus ku tabung.""Kamu jangan membandingkan hidup kita dengan orang lain, mas.. semua rumah tangga memiliki ujian masing-masing!" Jika mereka diuji oleh ekonomi maka Hendra yang dikatakan bergelimang harta itu diuji dengan tanpa kehadiran anak."Pokoknya aku nggak bisa mengirimkan uang untuk papa dan mamamu!""Mas..." lirih An
Andara keluar dari rumah menggunakan daster dan juga hijabnya. Sebuah penampilan yang ketinggalan zaman karena Andara seperti tersesat dalam kehidupan 10 tahun ke belakang.Dengan berjalan, Andara mampir ke tukang sayur bermotor yang biasa mengeliling komplek perumahan mereka. Oleh karena hanya dijatahkan 200 ribu satu minggu. Maka Andara akan membeli bahan masakan sebesar 50 ribu untuk seminggu."Seperti biasa, mbak?" Tanya pria yang memiliki profesi tukang sayur itu. Dia sudah hapal betul apa yang akan dibeli Andara."Iya." Jawab Andara datar.Pria itu lalu memasukkan satu potong tempe, 3 buah tahu, satu dada ayam dan juga satu ikan. Tak lupa sayur-sayur murah seperti kangkung juga sawi yang masuk ke dalam kantong belanjaannya."Tapi cabe sama bawang lagi naik daun sekarang." Ujar tukang sayur ini."Satu ons saja kalo gitu."Ibu-ibu yang tengah ikut membeli sayur ini hanya diam seribu bahasa ketika Andara datang berbelanja. Setelah membayar dan pergi, barulah mereka baru mengeluarka
"Untuk bulan ini."Seperti biasa di awal bulan. Di tahun pernikahan mereka yang sudah memasuki angka ke 10. Huda memberikan gajinya yang tersisa 200 ribu itu kepada istrinya, Andara. Seperti biasa juga Andara menerimanya dengan wajah datar. Tanpa keterkejutan maupun kesedihan. Dia bahkan tak lupa mengucapkan terima kasih."Makasih, mas.""Listrik dan air sudah ku bayar. Spp Randa juga sudah ditransfer. Bulan depan Randa baru bisa pulang." Sambung Huda lagi.Andara hanya mengangguk. Pernikahan keduanya menghasilkan satu orang putra bernama Randa yang berusia 8 tahun. Namun, Randa terpisah dari orang tuanya karena harus bersekolah di pesantren. Padahal dia masih sekolah dasar, Huda menganggap sekolah itu sebagai madrasah terbaik Randa untuk menjadi calon pemimpin di masa depan.Walau Andara berat hati melepas anaknya, tapi dia tak bisa mencegah. Tahu betul Andara bagaimana kerasnya watak suaminya itu. Jika dia sudah berkata A maka tidak akan pernah berubah jadi B."Sepulang kerja nanti