Hujan masih mengguyur Jakarta sore itu, membasahi aspal jalanan dan menyamarkan air mata yang turun di wajah Alena. Rambutnya yang basah menempel di dahi, dan mantel hitam tipisnya tak cukup menahan dingin. Di pelukannya, Aryana—bayi laki-laki yang bahkan belum genap dua bulan—mengerang kecil dalam dekapan yang dingin dan tak peduli.Langkah kaki Alena mantap menyusuri koridor gelap sebuah bangunan tua di bilangan Tanah Abang. Bukan tempat biasa untuk seorang mantan sosialita yang pernah hidup dari pesta ke pesta dengan gaun mahal dan kamera media.Tapi hari ini, dia bukan siapa-siapa.Pintu besi di ujung lorong terbuka perlahan. Aroma rokok basi dan karpet lembap menyambutnya. Di dalam, seorang pria duduk di balik meja, menatap Alena tanpa ekspresi. Wajahnya keras, rahangnya bertato samar, dan cincin-cincin logam memenuhi jari-jarinya.Namanya Braga—orang yang dikenal di dunia gelap sebagai penghubung trafficking bayi. Tak banyak bicara, tapi dikenal ‘efisien’.“Lo bawa anaknya?
Hari itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti lereng perbukitan tempat villa kecil tempat Amara tinggal. Dari jendela kamar, Amara bisa melihat hutan pinus yang menua bersama suara burung yang saling bersahutan pelan. Rembulan tertidur pulas di box bayinya di sisi tempat tidur Amara, sementara suara kayu terbakar dari perapian di ruang tengah terdengar lirih.Amara duduk bersandar di tempat tidur sambil membaca buku parenting dengan konsentrasi setengah-setengah. Hatinya belum benar-benar tenang sejak kedatangan Bayu semalam. Kata-kata Bayu soal Alena dan Cassandra masih terngiang di kepalanya.Lalu ponselnya yang hanya diaktifkan saat jam-jam tertentu demi menjaga privasi, bergetar pelan. Nama Lavina terpampang di layar.Amara ragu sejenak, sebelum akhirnya menggeser ikon hijau.“Hallo, Lavina?”“Amara, kamu sibuk?”“Enggak. Rembulan lagi tidur. Ada apa?”Jantung Amara selalu bergetar hebat setiap kali Lavina menghubunginya karena sang sahabat biasa
Ruang kerja pribadi Arga di lantai tertinggi kantor CitraKredit terasa lebih sunyi dari biasanya. Tirai tak dibuka, hanya cahaya dari lampu meja kerja yang menyinari tumpukan dokumen merger yang kini tak lagi penting.Zeno berdiri di depan jendela, menatap kota Jakarta yang sibuk seakan dunia di luar baik-baik saja—berbanding terbalik dengan isi kepala Arga yang makin gelap.“Sudah enam bulan sejak Amara pergi,” suara Arga akhirnya terdengar, serak, seolah tenggorokannya tersumbat kenyataan. “Gue udah telusuri semua rekaman CCTV rumah sakit, tanya orang-orang yang pernah mengenal dia, tapi tetap enggak ada hasil.”Zeno berbalik pelan. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tapi ada kelembutan tipis dalam nadanya saat berkata, “Karena lo nyari pakai cara yang terlalu formal. Kalau Amara enggak mau ditemukan, dia pasti akan pastikan jejaknya tertutup.”Arga mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya di kursi kerja. “Amara pasti sakit hati banget sampai segitu teguhnya ninggalin gue.”“Lo
Langit senja di dataran tinggi tampak lebih teduh sore itu, dengan awan lembut bergulung pelan di atas hamparan hijau yang menyelimuti perbukitan. Di balik villa kayu yang sederhana namun hangat, aroma rebusan daun mint dan kayu manis dari dapur menyebar hingga ke teras.Amara sedang duduk di kursi rotan kala itu, mengenakan sweater lembut dan kain selimut menutupi kakinya. Rembulan tertidur di box bayinya di dalam kamar, napasnya tenang. Bayi kecil itu tampak damai—dan kedamaiannya adalah satu-satunya alasan Amara masih bertahan.Deru mesin terdengar dari kejauhan. Sebuah mobil SUV abu-abu berhenti perlahan di depan pagar kayu.Bayu turun, membawa dua tas kertas dari supermarket terkenal di Jakarta dan satu kantong berisi obat-obatan.Amara menoleh sejenak, lalu kembali menatap lembah di kejauhan.“Kamu datang lagi, Bayu?” ucapnya pelan dengan ekspresi tidak enak hati.Bayu tersenyum samar. “Selama kalian belum usir aku, aku akan terus datang.”“Bagaimana aku mau mengusirmu, i
Langit Jakarta sore itu mendung. Awan tebal menggantung di atas gedung-gedung tinggi, seolah ikut menekan dada Alena yang kini tengah duduk di belakang taksi online, memandangi lalu lintas yang bergerak lambat.Tangannya menggenggam erat ponsel. Di pangkuannya, bayi Aryana tertidur lelap dalam gendongan selempang berwarna krem yang sudah mulai lusuh. Ia tampak tenang—kontras dengan wajah ibunya yang sembab, putus asa.Sudah tujuh kali Alena menelepon Rendy.Dan semua tak dijawab.Panggilan terakhir hanya berujung pada suara mesin penjawab, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan…”Alena membanting ponsel ke jok mobil, napasnya memburu. Tangannya gemetar, bukan karena marah saja, tapi karena takut. Karena benar-benar sendiri.Sang driver menatapnya bingung dari kaca spion tengah.“Aku enggak bisa begini terus…,” desisnya pelan, menatap jendela, melihat pantulan wajahnya yang sudah tak menyerupai seorang sosialita, apalagi ibu muda dari keluarga konglomerat.
Rumah Arga tampak gelap. Tirai tak ditarik, lampu tak dinyalakan. Hanya cahaya lampu rumah tetangga dari luar jendela yang memantul samar di lantai kayu. Arga duduk sendiri di ruang tengah, masih mengenakan setelan kantor yang kini kusut. Dasinya longgar, dua kancing kemejanya terbuka, dan tangan kirinya menggenggam segelas scotch yang belum disentuh.Di meja di hadapannya—foto-foto dari Cassandra. Tes DNA. Bukti. Semua bukti yang tak bisa lagi ia sangkal.Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Matanya merah, bukan karena menangis, tapi karena terlalu lama menahan emosi yang terus bergemuruh seperti badai.“Semua ini… hanya permainan? Aku cuma pion?!” bisiknya.Lalu, gelas di tangannya melayang. Pecah membentur dinding, suara pecahannya memantul di ruangan hampa.“BAJINGAN!” teriaknya.Arga terhuyung bangkit, berjalan tak tentu arah ke teras. Angin malam menyambutnya, menusuk tubuhnya yang tak peduli pada dingin. Pandangannya menatap ke lampu-lampu kota Jakarta yang berkilau ja