Langit Jakarta sore itu mendung. Awan tebal menggantung di atas gedung-gedung tinggi, seolah ikut menekan dada Alena yang kini tengah duduk di belakang taksi online, memandangi lalu lintas yang bergerak lambat.Tangannya menggenggam erat ponsel. Di pangkuannya, bayi Aryana tertidur lelap dalam gendongan selempang berwarna krem yang sudah mulai lusuh. Ia tampak tenang—kontras dengan wajah ibunya yang sembab, putus asa.Sudah tujuh kali Alena menelepon Rendy.Dan semua tak dijawab.Panggilan terakhir hanya berujung pada suara mesin penjawab, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan…”Alena membanting ponsel ke jok mobil, napasnya memburu. Tangannya gemetar, bukan karena marah saja, tapi karena takut. Karena benar-benar sendiri.Sang driver menatapnya bingung dari kaca spion tengah.“Aku enggak bisa begini terus…,” desisnya pelan, menatap jendela, melihat pantulan wajahnya yang sudah tak menyerupai seorang sosialita, apalagi ibu muda dari keluarga konglomerat.
Rumah Arga tampak gelap. Tirai tak ditarik, lampu tak dinyalakan. Hanya cahaya lampu rumah tetangga dari luar jendela yang memantul samar di lantai kayu. Arga duduk sendiri di ruang tengah, masih mengenakan setelan kantor yang kini kusut. Dasinya longgar, dua kancing kemejanya terbuka, dan tangan kirinya menggenggam segelas scotch yang belum disentuh.Di meja di hadapannya—foto-foto dari Cassandra. Tes DNA. Bukti. Semua bukti yang tak bisa lagi ia sangkal.Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Matanya merah, bukan karena menangis, tapi karena terlalu lama menahan emosi yang terus bergemuruh seperti badai.“Semua ini… hanya permainan? Aku cuma pion?!” bisiknya.Lalu, gelas di tangannya melayang. Pecah membentur dinding, suara pecahannya memantul di ruangan hampa.“BAJINGAN!” teriaknya.Arga terhuyung bangkit, berjalan tak tentu arah ke teras. Angin malam menyambutnya, menusuk tubuhnya yang tak peduli pada dingin. Pandangannya menatap ke lampu-lampu kota Jakarta yang berkilau ja
Pintu besar rumah keluarga Wibisono mengayun keras saat dibuka. Suara langkah sepatu hak tinggi Margareth menggema tajam di marmer foyer. Di belakangnya, Bernadus mengekor dengan ekspresi gelap, menggenggam lengan Cassandra yang nyaris terseret.“Masuk!” bentak Bernadus.Cassandra mendesis pelan, “Ayah, Ibu! Ini enggak perlu dibesar-besarkan .…”Plak!Tamparan Margareth mendarat tepat di pipi kirinya, membuat kepala Cassandra terpelanting ke samping.“Kamu pikir apa yang kamu lakukan itu hebat?! Kamu pikir kami bangga punya anak seperti kamu?!” suara Margareth meledak, matanya penuh amarah dan luka.Cassandra memegang pipinya, terkejut. “Ibu?! Aku cuma—aku ingin membuktikan kepada kalian kalau Alena tidak sebaik yang kalian pikir!”“Membuktikan?!” Bernadus maju. “Membuktikan apa?! Kamu menjebak adik kamu sendiri dengan mempermalukan kami di depan keluarganya Arga! Kamu menghancurkan Alena—adikmu sendiri!”“Aku cuma menunjukkan kebenaran!” pekik Cassandra, emosinya ikut naik. “
Alena sudah diperbolehkan pulang oleh dokterPenthouse malam itu terang oleh lampu gantung kristal yang memantulkan kilau elegan ke seluruh ruangan. Balon-balon biru muda dan putih menghiasi sudut ruangan, sementara meja penuh dengan hidangan yang ditata rapi oleh katering langganan Margareth.Suasana hangat dan penuh tawa. Bernadus berdiri di dekat mini bar, mengangkat gelas anggur ringan, sementara Gunawan sedang menggendong si bayi yang baru diberi nama: Aryana Bagaskara sesuai dengan nama belakang Arga. Bayi itu tampak tenang dalam balutan bedong biru, tidur di pelukan sang kakek tirinya.Margareth duduk di sofa bersama Laraswati dan Alena yang masih mengenakan gaun longgar pascamelahirkan. Arga berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan dari kejauhan dengan senyum tipis namun hati yang kosong dan hampa.Dia senang karena telah memiliki anak laki-laki yang bisa menggantikannya memimpin perusahaan namun sayang bukan lahir dari rahim Amara-wanita yang dicintainya.Meski begitu
Suara monitor detak jantung bayi berdentang cepat di ruang bersalin. Angka-angka di layar berganti setiap detik, sementara suara Alena mengerang nyaring menembus dinding kamar. Rasa sakit dari kontraksi sudah mencapai puncaknya. Ia berkeringat, wajahnya pucat, dan tangan kanannya mencengkeram erat lengan Arga yang berdiri di sisi ranjang.“Alena, fokus. Tarik napas… dorong perlahan saat kami instruksikan,” ujar sang dokter dengan suara tenang namun tegas.Arga telah mengenakan pakaian steril lengkap, masker dan penutup kepala, tapi tidak bisa menyembunyikan kegugupan di matanya. Tangannya menggenggam erat jemari Alena yang basah oleh keringat.“Aku enggak kuat, Arga .…” Alena menangis, suaranya serak.“Kamu bisa, Alena … sebentar lagi,” bisik Arga di dekat telinganya, mencoba tetap tegar. “Aku di sini.”Alena menoleh, pandangannya kabur oleh air mata. Tapi bagi dirinya, ini adalah momen yang selama ini ia tunggu. Akhirnya Arga ada di sini. Menemani. Mendampingi. Menjadi suami yan
Alena berdiri di depan cermin kamar, mengenakan gaun tidur satin warna krem pucat. Perutnya yang membesar terlihat begitu mencolok, membuat siluet tubuhnya berubah total. Namun alih-alih merasa tak nyaman, ia memandangi dirinya sendiri dengan senyum puas.Tangannya mengusap lembut tonjolan perut itu.“Lihat, Nak… sekarang pria yang Mami cintai semakin sering di rumah. Semakin dekat dengan kita. Kita menang.”Ia menoleh ke sisi ranjang, di mana ponsel Arga tergeletak. Suaminya itu sedang mandi setelah seharian bekerja dan kembali langsung ke penthouse—kebiasaan yang kini makin sering terjadi sejak usia kandungannya memasuki trimester akhir.Tidak ada lagi nama ‘Amara’ dalam percakapan mereka. Tidak ada lagi ruang untuk perempuan itu dalam hidup Arga.Alena duduk perlahan di ranjang, membuka aplikasi foto dan menatap gambar USG terakhir yang tersimpan di galerinya. Di sana, gambar bayi mungil itu tertera jelas, posisi kepala sudah mengarah turun—siap lahir kapan saja dalam beberapa