“Utangnya atas nama siapa?”
Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya. Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi. Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.” Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar. Rp1.263.000.000. Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti. CitraKredit Corporation. Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang. “Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—” “Ini tanda tangannya.” Sang pengacara menyodorkan salinan lain. Amara melihatnya. Tak bisa membantah. Itu tulisan tangan Rendy. Lututnya melemas. Ia nyaris menjatuhkan map itu, tapi menggigit bibir, menahan air mata. Tak boleh menangis. Bukan saatnya. Bukan di sini. “Apa kalian datang untuk menyita rumah saya?” tanyanya lirih. “Saya masih tinggal bersama Ibu, dan rumah itu satu-satunya milik keluarga kami.” Wanita itu saling pandang dengan asistennya, lalu menghela napas. “Kami tidak berniat menyita rumah, Ibu Amara. Justru kami… menawarkan penyelesaian alternatif.” Amara mengerutkan kening. “Penyelesaian?” Dia bergumam. Detik berikutnya pintu ruangan terbuka. Seorang pria masuk. Setelan jas arang, dasi abu gelap, dan jam tangan hitam yang nilainya mungkin bisa membayar gaji Amara selama sepuluh tahun. Langkahnya tenang. Matanya tajam seperti tidak punya waktu untuk buang emosi. Dan satu kata lagi untuk mengakhiri semua itu adalah tampan. Pria itu tampak dingin dan sangar tapi … tampan. “Amara R. Kusuma?” tanyanya singkat. Amara menoleh. “Iya, saya—” “Ayo kita langsung saja. Saya Arga Baskara, CEO CitraKredit. Adik Anda berutang pada perusahaan saya dan menghilang. Tidak ada jaminan aset. Hanya jejak digital yang bodoh.” Nada suaranya dingin, tajam, tanpa ampun. Amara mengerjapkan matanya berulang kali, panik. “Saya bersedia mencicil, Pak. Saya bisa bekerja dua kali lipat. Saya—” “Satu-satunya hal yang membuat saya tertarik mengurus kasus kecil ini adalah karena saya tidak suka ditipu,” potongnya. “Dan Anda, kebetulan, memiliki sesuatu yang bisa dibayar dengan cara lain,” sambar Arga membuat Amara membeku. “Apa maksud Anda?” Arga menoleh ke pengacara. “Keluarkan draft perjanjian.” Pengacara menyerahkan map merah marun. Amara membukanya pelan-pelan… dan napasnya tercekat. Perjanjian Nikah. “Ini tidak masuk akal,” bisiknya. “Masuk akal bagi saya,” jawab Arga, menatapnya lurus. “Saya butuh istri untuk urusan tertentu. Legalitas. Warisan. Citra bisnis. Kebutuhan Seksual. Tapi saya tidak punya waktu mencari pasangan hidup.” Pria itu berjalan pelan, menghampiri jendela besar dan menatap keluar. “Saya sudah muak dengan permainan cinta. Saya ingin kesepakatan. Dan Anda, dalam situasi ini… tidak punya pilihan.” “Pernikahan bukan lelucon,” ucap Amara mulai marah. “Ini hidup saya.” Dia menaikkan intonasi. “Dan Anda pikir adik Anda memikirkan itu ketika menggadaikan masa depan keluarganya demi judi kripto?” balas Arga cepat dan tajam. “Saya beri waktu dua jam. Setelah itu, utang akan dialihkan ke jalur hukum dan kolektor akan bergerak.” Amara berdiri. Napasnya berat. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya. “Saya bukan barang.” Suaranya tercekat. Arga berbalik. “Saya juga tidak butuh mainan. Hanya seseorang untuk mengisi kolom ‘istri’ dalam dokumen hukum. Selama setahun. Tidak lebih. Tidak kurang.” Pria bertubuh tinggi atletis itu mendekat. Suaranya merendah, nyaris seperti bisikan. “Dan tubuh Anda akan menjadi jaminannya.” Amara menampar meja. Tapi Arga hanya menatapnya datar. Tidak terguncang. Tidak marah. Seolah sudah terbiasa melihat orang jatuh di hadapannya. *** Di toilet umum masih di gedung yang sama, Amara mengunci pintu, menatap cermin. “Ini bukan hidup yang kamu impikan, Ra. Tapi ini satu-satunya jalan.” Amara melirih, akhirnya dia mengambil keputusan. Tangannya gemetar ketika mengetik pesan untuk adiknya. Kak Amara : Kamu berhasil menghancurkan hidupku, Rendy. Tapi aku enggak akan biarkan ibu ikut hancur. Sebentar lagi, aku bukan hanya kakakmu. Aku akan menjadi istri dari laki-laki yang kamu utangi. Amara tidak peduli pesan itu terkirim atau tidak karena sejak dalam perjalanan ke sini dia sudah menghubungi adik dakzal-nya itu dan tidak pernah tersambung. Akhirnya Amara memiliki kekuatan untuk keluar dari dalam toilet, dia kembali ke ruangan yang tadi sang pengacara dan sang CEO mengintimidasinya. Arga dan pengacara masih ada di sana. Amara melangkah masuk diiringi tatapan Arga dan pengacara setelah tadi gadis itu tiba-tiba mual lalu berlari keluar menuju toilet. Dia duduk di tempat tadi. “Kalau saya setuju… ada satu syarat.” Wajah Amara tampak pucat, tatapannya setengah memohon. Arga menatapnya. “Sebutkan.” “Ibu saya. Stroke. Saya merawatnya sendiri. Kalau saya harus tinggal di tempat Anda, maka saya ingin perawat profesional untuk beliau. Setiap hari. Penuh waktu.” Pengacara mencatat, tapi Arga mengangguk duluan. “Sudah saya urus. Perawat dari klinik kami akan datang malam ini.” Itu bukan simpati. Hanya efisiensi. Amara menggigit bibir, lalu menunduk. “Dia udah menyiapkan semua.” Amara membatin. “Baiklah, kapan kita menikah?” Amara bertanya setelah mendongak menatap lekat pria tampan tapi dingin yang akan menjadi suaminya. “Besok. Jam sembilan pagi. Nikah. Di firma hukum ini.” Sang pengacara yang menjawab. FLASBACK ON “Ayah beri waktu dua minggu, Arga. Kalau kamu belum menikah, Ayah akan umumkan pertunanganmu dengan Alena Wibisono.” Gunawan Dirgantara berdiri di depan jendela besar, menatap Jakarta dengan tangan disilangkan di punggung. Suaranya pelan tapi penuh tekanan. Arga menyandarkan tubuh ke kursinya, rahangnya mengeras. “Ayah masih berambisi aliansi bisnis dengan keluarga Wibisono?” tanyanya, datar. “Merger. Dan penggabungan lini kredit mikro dengan dana investasi milik keluarga Wibisono. Kamu tahu betapa kuatnya posisi mereka di OJK.” “Ayah tahu aku tidak tertarik pada perjodohan. Dan setelah yang terakhir… aku makin yakin, cinta pun bisa menghancurkan,” balas Arga, nada suaranya mulai tajam. “Cassandra adalah masa lalu. Dan kamu perlu bersikap dewasa soal citra perusahaan.” “Atau Ayah ingin aku jadi boneka yang bisa ditukar kapan saja?” “Ayah ingin kamu jadi CEO yang tahu bagaimana menjaga posisi, saham, dan nama keluarga. Dunia tidak peduli kamu pernah disakiti. Mereka hanya peduli siapa di sebelahmu saat konferensi pers.” Gunawan berbalik, menatapnya dingin. “Kamu harus menikah dalam dua minggu. Pilihannya ada padamu—kamu yang memilih siapa perempuannya atau Ayah yang akan memilihkan untukmu.” Pintu tertutup pelan setelah Gunawan pergi. Arga terdiam beberapa detik. Matanya menatap langit Jakarta yang kelabu. Lalu ia menekan tombol interkom. “Zeno. Ruanganku. Sekarang.” Zeno langsung masuk ke ruangan Arga tanpa mengetuk pintu. “Ayah mau gue menikah. Carikan solusinya. Cepat, legal, tanpa keterlibatan emosional.” Arga langsung mengutarakan maksudnya memanggil Zeno. Zeno tersenyum kemudian mengotak-atik tablet dan menyodorkannya ke depan Arga. “Gue punya kandidat. Amara R. Kusuma. Guru. Kakak dari Rendy Ramadhan nasabah kita yang gagal bayar. Tapi Amara stabil secara kepribadian. Enggak narsis, enggak dramatis. Tanggung jawabnya tinggi. Dan… dia mungkin akan mempertimbangkan kontrak.” “Bukan gold digger?” Arga sedang memindai biodata dan foto Amara. “Enggak. Justru sebaliknya. Dia terlalu realistis.” Arga membaca cepat, lalu mengangguk sekali. “Siapkan semuanya.” Arga memerintah. “Lo yakin?” Zeno bertanya hanya untuk memastikan. “Pastikan dia enggak akan meminta lebih karena gue enggak akan memberi lebih.” “Siaaaap!!!” FLASHBACK OFF *** Rumah kecil di pinggiran Jakarta itu sunyi, hanya suara mesin oksigen pelan di sudut kamar yang menyertai Amara ketika ia duduk di sisi ranjang ibunya. “Ibu kelihatan lebih segar hari ini,” gumam Amara sambil menyisir rambut ibunya. Sumiati tersenyum kecil. “Kamu capek, ya?” “Enggak kok, kenapa Ibu bertanya seperti itu?” Suaranya pelan, meski begitu wajahnya tak bisa menyembunyikan kelelahan batin. Sumiati menggenggam tangannya. “Ibu enggak tahu kenapa melihat kamu akhir-akhir ini tampak begitu lelah. Tapi kamu anak yang baik. Apa pun yang kamu pilih, Ibu percaya itu demi kita.” Tangis Amara nyaris pecah. Tapi ia tersenyum dan mencium tangan ibunya. Amara menoleh ke pintu, seorang wanita berpakaian seragam perawat masuk. “Bu, kenalin ini Ima … perawat yang akan bantu Amara jagain Ibu di rumah. Orangnya baik. Ibu jangan takut.” “Selamat pagi Bu ….” Ima menyapa Sumiati penuh hormat. “Pagi ….” Sumiati tersenyum kaku. “Kenapa seperti kamu mau pergi jauh?” Sumiati mengerutkan kening menatap Amara. “Enggak jauh, Bu… cuma enggak bisa pulang tiap hari.” “Pekerjaan baru? Menjadi guru ‘kan enggak menginap …,” cecar ibunya curiga. “Iya Bu, ada pekerjaan tambahan … gajinya cukup besar ….” Amara tidak memberitahu Ibu tentang hutang pinjol adiknya yang kini kabur entah ke mana. “Oh … Rendy mana? Kenapa belum pulang?” Ibu bertanya lagi. “Rendy sedang ada pekerjaan di luar kota … nanti Rendy pasti hubungi Ibu.” Sumiati mengangguk lemah. “Aku pamit, ya Bu.” Tangannya gemetar saat menggenggam koper kecil berisi beberapa helai pakaian. Dan di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah kamar ibunya yang telah tertutup. “Maaf, Bu… karena aku akan jadi istri seseorang. Tapi bukan karena cinta.”Cahaya pagi menembus celah tirai kamar dan mendarat tepat di wajah Amara.Ia mengerjap perlahan, merasa hangat dan terkurung dalam pelukan yang kokoh. Nafas hangat menyentuh tengkuknya, dan ketika Amara menunduk sedikit, ia menyadari tubuhnya tak terlapisi sehelai kain pun.Kesadarannya kembali—tentang malam yang penuh desahan dan rintihan. Tentang sentuhan yang begitu familiar, tentang gairah yang meledak dan pelukan yang menenangkan setelahnya.Pelan-pelan, Amara menoleh ke belakang. Arga masih terlelap, wajahnya tampak damai dan tenang, seakan beban bertahun-tahun telah rontok bersamaan dengan malam itu. Tangan Arga masih memeluk pinggang Amara, dan kakinya terlilit di antara kaki Amara seperti berusaha memastikan perempuan itu tidak akan pergi lagi.Amara menggigit bibir bawahnya. Perasaan campur aduk menyerangnya—antara malu, bersalah, canggung, dan mungkin sedikit bahagia.Ia mencoba menarik tubuhnya perlahan, tapi Arga malah menariknya lebih erat. Suara baritonnya terdenga
“Sebelum datang ke sini, saya ke rumah sakit dulu untuk menanyakan hasil tes dna dan ternyata hasilnya sudah keluar.” Arga menyimpan amplop di atas meja yang langsung Amara raih dan membukanya.Makan malam sudah selesai dan mereka pindah ke ruang televisi.Arga mengangkat Rembukan dari bouncer lalu memangkunya.Tidak ada penolakan atau gerakan gelisah meski Rembulan terus mendongak menatap Arga seakan sedang merekam baik-baik wajah yang jadi sering ada itu.“Dia memang anak kandung Rendy, hasilnya cocok.” Arga berujar kembali sebelum selesai Amara membaca seluruh tulisan di dalam kertas.“Syukurlaaaah ….” Amara mendesah lega.Ima memberikan Aryana kepada Amara. “Kamu makan dulu, Ma.” “Baik, Bu.” Amara langsung memakai apron menyusui untuk menyusui Aryana sementara ibu Sumiati menundukan kepala dengan mata terpejam di kursi rodanya seperti sedang bicara dengan sang Maha Pencipta mungkin mengucapkan banyak rasa syukur karena Aryana-cucunya bisa diselamatkan dan bisa berkumpu
“Banyak sekali masaknya, Bu …,” celetuk Ima yang sedang membantu Amara mengolah sayur dan daging untuk menjadi menu makan malam. “Pak Arga mau datang,” balas Amara pelan. “Oh … pak Bayu bilang kalau besok beliau juga mau datang ….” “Oh ya?” Amara menoleh menatap Ima sambil tersenyum. “Ih Ibu … kenapa senyumnya seperti itu?” Ima mengerucutkan bibirnya. “Sekarang kamu Bayu lebih sering chat kamu dari pada aku ….” Amara bukan sedang merajuk, senyumnya malah semakin lebar. “Saya pikir pak Bayu chat Ibu juga ….” Tampang Ima terlihat tidak nyaman. “Enggak tuh.” Amara tertawa. “Ibu lagi Happy ya? Akhir-akhir ini Ibu sering tertawa dan tawa Ibu lepas sekali.” Ima balas menggoda Amara. “Apa sih kamu, Ima.” Amara mengulum senyum. “Bu, sebenarnya saya mau ngomong tapi bukan kapasitas saya ….” Kalimat Ima menggantung. “Kamu mau ngomong apa?” Amara berubah serius. “Tentang pak Arga … saya setuju dengan ibu Sumiati … sebaiknya Ibu kembali bersama dengan pak Arga.”
“Bu, matahari paginya bagus … kita jemur Aryana dan Rembulan sekarang aja ya?” Ima berujar dari ambang pintu.“Oh boleh ….” Amara menggendong Rembulan lalu Ima menggendong Aryana dari box bayi.Dua bayi mungil itu sudah wangi setelah tadi Amara memandikannya secara bergantian.“Ibu mana?” Amara bertanya ketika berjalan di lorong dengan Ima setengah langkah di depannya.“Ibu sudah di depan, Bu ….” “Ooo ….” Amara bergumam.Di halaman yang luas itu, bu Sumiati duduk di kursi roda bermandikan sinar matahari yang hangat.Beliau tersenyum begitu melihat dua cucunya dibawa mendekat.Amara dan Ima duduk di kursi kayu lalu membuka pakaian bayi-bayi itu agar sinar matahari langsung mengenai kulit mereka.“Cucu Nenek … tampan dan cantik ….” Ibu Sumiati mencoba berkomunikasi.Rembulan tersenyum sembari menendang-nendang kakinya sedangkan Aryana memejamkan matanya sembari menggeliat dalam pelukan Ima.“Kayanya Aryana kekenyangan menyusu, Bu ….”Amara mengangguk. “Iya … sampai kempes i
Langit dataran tinggi mulai memerah, menandakan sore yang sebentar lagi tumbang menjadi senja. Udara yang sebelumnya hangat mulai menggigit, mengirimkan aroma kayu lembap dan embun ke dalam sela-sela jendela villa.Arga berdiri di teras samping, menatap bentangan hijau yang tak asing baginya padahal baru sehari singgah. Di dalam pelukannya, rasa haru bertemu Rembulan masih menggantung. Tapi ia tahu waktunya sudah habis. Ia harus pulang.Ia melangkah masuk, mendekati Ima yang sedang membersihkan ruang tamu.“Ima, bisakah kamu… panggilkan Amara? Aku mau pamit,” ucap Arga pelan namun tegas.Ima menatapnya sejenak, membaca ketulusan itu, lalu mengangguk. “Saya panggilkan dulu, Pak.”Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari koridor kamar. Amara muncul dengan wajah tenang tapi dingin. Rambutnya disanggul seadanya, matanya letih namun masih menyimpan bara yang tak padam. Ia duduk di ujung sofa panjang, menjaga jarak aman dari Arga.“Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya
Mobil hitam itu berhenti perlahan di depan sebuah villa kecil di dataran tinggi—bangunan sederhana tapi hangat, dikelilingi pohon-pohon cemara yang menjulang seolah menjaga ketenangan penghuninya.Amara turun lebih dulu sambil menggendong bayi laki-laki yang masih tertidur pulas. Arga menyusul, sedikit kikuk, membenarkan kerah bajunya meski udara tak terlalu dingin. Matanya menatap villa yang tak asing lagi, meski baru sekali ia lihat.Pintu terbuka sebelum mereka sempat mengetuk. Ima, sang perawat, berdiri di ambang dengan ekspresi terkejut. “Bu Amara?” serunya pelan, kemudian matanya melebar saat melihat siapa yang berdiri di belakang wanita itu. “Pak Arga…?”Amara hanya mengangguk pelan. “Apa Rembulan sudah bangun?”“Belum, Bu … masih tidur nyenyak. Tadi malam agak rewel, tapi sekarang tenang,” jawab Ima sambil membuka pintu lebih lebar. “Masuk Bu … saya sudah masak makan siang.” “Makasih ya Ima ….”Amara melangkah duluan, sementara Arga berhenti sejenak di ambang pintu.“P