Share

Akad Tanpa Restu

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-07 20:16:33

Amara menggenggam koper kecil di pangkuannya, duduk di pojok gerbong LRT yang nyaris kosong.

Jam delapan pagi dan langit Jakarta seperti ikut menyimpan rahasia yang hendak ia telan bulat-bulat.

Tubuhnya diam, tapi batinnya gemuruh. Nafasnya pendek-pendek dan sesekali ia menyeka keringat di pelipis yang tak kunjung berhenti meski AC menyala.

Matanya menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan gedung-gedung tinggi berkelebat cepat, secepat langkah hidupnya berubah semalam. Dari guru sederhana jadi calon istri seorang CEO—dalam waktu kurang dari 24 jam.

Bukan karena cinta. Tapi karena utang. Karena adiknya. Karena tak ada pilihan lain.

“Sebentar lagi kamu menikah, Ra…”

“Dengan pria asing … yang bahkan enggak pernah tersenyum padamu.”

Suara itu bergaung di kepalanya.

LRT berhenti di stasiun Dukuh Atas. Amara berdiri, menyeret kopernya lalu bergegas masuk ke toilet umum di pojok terminal. Tangan Amara gemetaran saat membuka kancing blus, menggantinya dengan kebaya putih polos yang ia sewa semalam dari tetangga yang memiliki bisnis rias pengantin.

Di depan kaca, ia mengoleskan bedak tipis, memulaskan lip balm pink selanjutnya menyemprotkan parfum beraroma vanila yang nyaris habis.

“Setidaknya aku akan berdiri dengan sisa harga diri,” gumamnya.

Amara memandangi bayangannya di cermin. Wajah itu belum siap menjadi istri siapa pun. Tapi hidup tak pernah menunggu kesiapan siapa pun.

***

Ruangan di mana Amara berada sekarang terlalu luas untuk hanya lima orang.

Amara duduk di sisi kiri meja, tak ada riasan, tak ada musik, dan tak ada keluarga. Hanya ia, Arga, dua saksi dari firma hukum, dan seorang penghulu yang dibayar profesional.

“Saya nikahkan engkau, Arga Baskara dengan Amara Rahma Kusuma binti .…”

Kalimat itu menguap, disambut ijab kabul yang terlalu lancar, terlalu hampa.

Tidak ada mata yang berkaca-kaca. Tidak ada peluk haru. Hanya tanda tangan di lembar dokumen, disusul dengan selembar kertas lain yang lebih tebal dan lebih panjang:

Kontrak Pernikahan.

Amara membaca pelan. Pasal demi pasal. Semuanya tertulis jelas:

• Durasi: satu tahun.

• Tidak ada hak waris.

• Hubungan fisik diizinkan atas permintaan suami.

• Tidak boleh membuka hubungan emosional atau romantis dengan pihak ketiga.

• Tidak boleh menyentuh ruang kerja dan kamar utama kecuali diminta.

• Segala kebutuhan pribadi Amara selama kontrak akan ditanggung pihak suami.

Tangannya gemetar saat menandatangani. Bukan karena takut—tapi karena seluruh harga dirinya ikut tercantum dalam baris-baris kaku itu.

Arga menandatangani terakhir. Lalu menatap Amara.

“Ayo pulang.”

***

Mobil hitam itu memasuki sebuah cluster eksclusive di kawasan elite para kaum jetset lalu berhenti tepat di depan bangunan minimalis tiga lantai tanpa pagar. Tak ada hiasan mencolok. Bahkan halamannya hanya ditumbuhi rerumputan pendek dan pohon palem kecil di sudut.

Arga turun lebih dulu, kemudian melangkah santai tanpa membuka pintu mobil untuk Amara.

Ia juga tidak menggandeng tangan istrinya. Hanya berjalan di depan dan Amara mengikutinya dengan langkah kecil dan hati berat.

Begitu pintu rumah dibuka, Arga masuk lebih jauh ke dalam sana diikuti Amara.

Dia berhenti di ruang televisi lalu memutar tubuh hingga berhadapan dengan Amara.

“Enggak ada asisten rumah tangga, agar pernikahan kontrak kita enggak ada yang tahu jadi tugas kamu menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah tangga.”

Amara memindai keseluruhan rumah itu, memang besar tapi dia masih sanggup membersihkannya sendiri.

“Kamar kamu di lantai dua. Kiri, setelah tangga. Sudah disiapkan sejak tadi pagi. Jangan ubah letak apa pun di rumah ini tanpa izin.”

Amara hanya mengangguk. Napasnya pendek dan tangan masih memegang koper kecil.

Arga melanjutkan langkah tapi kemudian berhenti sejenak tepat di ambang pintu. Ia menoleh.

“Saya akan pulang malam …,” katanya menatap Amara dingin.

“Dan malam ini…” Tatapannya berubah tajam menusuk.

“Kita akan mulai bagian dari kontrak kita. Bersiaplah.”

Pintu depan tertutup dengan suara yang nyaris senyap. Tapi dentumnya menggema dalam dada Amara.

Ia berdiri di tengah rumah asing itu, sendirian sebagai nyonya rumah merangkap asisten rumah tangga.

***

Setelah menyimpan kopernya, Amara langsung memesan ojeg online untuk pergi mengajar.

Dia sudah menukar jadwalnya dengan guru mata pelajaran Sejarah.

Jam istirahat pertama. Amara duduk di bangku paling pojok ruang guru, tatapannya menunduk menatap kedua tangan yang saling bertaut di atas pangkuan.

Rania-sahabat sekaligus sesama guru, datang dengan tatapan khawatir.

“Amara, kamu enggak apa-apa? Muka kamu… pucat banget. Dari kemarin kamu kayak orang linglung.”

Amara menghela napas. Lalu pelan-pelan, ia menyodorkan jari manis kirinya ke arah Raina.

Sebuah cincin.

Cincin tipis, perak polos. Tak mewah. Tapi jelas terlihat.

Rania membelalak. “Kamu menikah?? Dengan siapa? Kapan? Kamu enggak bilang apa-apa!”

Amara menatap temannya. Air mata hampir tumpah, tapi ia tahan. Amara tidak ingin menangis di sekolah.

“Aku enggak sempat cerita. Semuanya terjadi dalam sehari. Dan alasannya… bukan cinta.”

Rania terdiam. Napasnya terhenti sesaat.

“Jangan bilang… kamu dijodohkan?”

Amara menggeleng. Lalu menatap lurus.

“Aku menikah karena adikku meninggalkan utang pinjol sejumlah miliaran. Aku enggak bisa membayarnya. Dan pria yang memiliki perusahaan pinjol itu … dia menawarkan pernikahan kontrak. Setahun. Lalu selesai.”

Rania menutup mulutnya menggunakan satu tangan. Wajahnya berubah.

“Amara… Astaga. Itu gila. Kamu yakin dia bukan orang gila? Apa kamu aman di rumahnya?”

Amara mengangguk pelan. “Dia bukan orang baik, tapi dia bukan monster juga….” Amara menatap kosong ke depan.

“Dia … cuma laki-laki yang sibuk dan mungkin enggak percaya cinta.”

“Dan kamu? Apa kamu bisa hidup tanpa cinta?”

Amara tidak menjawab. Matanya menatap jauh, ke arah jendela kelas.

“Aku enggak tahu. Tapi sekarang, aku hidup untuk sesuatu yang lebih penting dari cinta … Ibu.”

Rania hanya bisa menatapnya dengan campuran sedih dan kagum.

“Kalau kamu butuh tempat pulang, atau cuma butuh nangis, aku ada, Ra. Jangan simpan semuanya sendiri.”

Amara mengangguk pelan disertai senyum tipis yang dipaksakan di bibirnya.

“Makasih, Nia .…”

Rania masih menatap penuh khawatir. “Apa kamu dan pria tua itu melakukan hubungan suami istri juga?” Rania akhirnya bertanya apa yang mengganjal dalam pikirannya.

“Pria tua apa?” Amara belum mengerti maksud Rania.

“Pria yang menikah dengan kamu sudah tua, kan? Kalau pemilik perusahaan pasti sudah berumur.”

Amara tertawa mendengarnya. “Enggak … dia enggak tua, umurnya masih tiga puluh tahun.”

“Ganteng?” Rania mendekatkan wajahnya sambil membulatkan mata.

Amara tersenyum lalu mengangguk pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sefira Tiara
terlalu banyak yg janggal dr ceritanya, sejak kapan kereta pagi d jakarta sepi, nikah jg udh kaya nikah siri yg gak ngurus administrasi keduabelah pihak
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Kenapa Amara cerita ke temannya kalau dia sudah nikah kontrak.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   TAMAT

    Udara pagi itu hangat, seperti menyimpan restu yang tak terucap dari langit. Di pelataran rumah sederhana yang disulap menjadi tempat akad, kain putih dan bunga melati menggantung indah, menghias setiap sudut seperti senyum yang dipintal dari harapan.Di dalam kamar pengantin perempuan, Ima duduk di depan cermin, mengenakan kebaya putih gading yang sederhana namun membuat auranya memancar. Tangannya dingin, bahkan lebih dingin dari ujung jari penata rias yang tengah merapikan sanggulnya.“Sudah cantik sekali, Mbak Ima ….”“Kalau aku tiba-tiba pingsan pas ijab kabul gimana?” tanya Ima pelan.Penata rias terkekeh pelan. “Kalau Mbaknya pingsan, Mas Bayu juga mungkin ikut pingsan bareng.”Ima tertawa canggung. Di dalam hatinya, bergemuruh rasa yang tak bisa dibahasakan. Ia bukan gadis kota, tak biasa jadi pusat perhatian, apalagi mengenakan kebaya dengan selendang renda, duduk di kursi pengantin yang dikelilingi puluhan mata.“Aku cuma gadis biasa,” bisiknya pada pantulan diri di ce

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Semuanya Akan Berbalik

    Langit Amsterdam kelabu. Angin musim gugur meniup dedaunan kuning yang berputar-putar di jalanan sepi di distrik Noord.Di dalam sebuah apartemen tua berlantai tiga yang retaknya terlihat jelas dari luar, Cassandra duduk di tepi kasur kecil berlapis kain kumal, menatap jendela berkabut dengan mata kosong.Sudah dua minggu listrik dan air di tempat itu dimatikan. Uang simpanannya habis untuk membayar biaya hidup mereka sejak melarikan diri dari Indonesia. Sementara Rendy telah ditahan pihak kepolisian Belanda.Beberapa bulan sebelumnya, mereka berdua datang dengan paspor turis dan sisa tabungan Cassandra—uang hasil menjual mobil dan perhiasan yang dulu dibelikan keluarganya. Di awal, mereka menyewa apartemen murah di kawasan yang cukup terpencil. Cassandra berpikir bisa memulai hidup baru, mungkin mencari pekerjaan, menyamar sebagai istri WNI, atau menyewa identitas palsu.Tapi Rendy punya rencana lain.Dia mulai berhubungan dengan seorang pria dari lingkaran gelap. Rendy tergoda

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Arah

    Zeno berdiri di tepi pagar ketika Arga mulai melajukan kendaraannya, dengan tangan bersedekap dan senyum kecil menyambut mereka yang akan berangkat menuju rumah utama.“Kalian hati-hati di jalan ya,” ujar pria itu saat mobil Arga berhenti di depannya. “Terima kasih, Mas Zeno … untuk Aryana … untuk semuanya.” Zeno terkekeh kecil. “Santaiii. Gue cuma ingin liat sahabat gue bahagia.”“Lo enggak ikut mampir ke rumah?” tanya Arga kemudian.“Gue harus balik ke kantor. Masih ada jadwal meeting sore ini.”“Titip salam buat mbak Clara ya, Mas,” ujar Amara sambil tersenyum tipis.Zeno mengangguk. “Pasti. Dia akan senang dengar kamu pulang karena selama ini Arga uring-uringan terus sewaktu nyariin kamu.”Setelah berpamitan, Arga melajukan kendaraannya kembali dan dengan satu tarikan nafas panjang, mereka pun melanjutkan perjalanan terakhir siang itu—menuju rumah mereka sendiri.***Rumah itu berdiri megah tapi bersahaja, dengan desain kontemporer bernuansa hangat. Amara sempat menghe

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Pulang

    Langit siang itu cerah, tapi udara terasa lebih lembut dari biasanya. Seolah alam pun tahu bahwa hari ini akan menjadi awal baru bagi seseorang yang telah lama bersembunyi dari dunia.Amara berdiri di ambang pintu kamar, menatap koper besar yang sudah tertutup rapat. Di sisinya, Ima sedang melipat selimut kecil dan meletakkannya ke dalam tas kain berisi kebutuhan bayi. Di sisi lain, Arga sedang berbicara lewat telepon dengan nada serius—mengatur kepergian mereka semua ke Jakarta.“Aku sudah hubungi Bayu. Dia akan datang bawa mobil dan kursi roda untuk Ibu,” ucap Arga sambil menutup telepon.Dia menghampiri Amara lalu duduk di sebelahnya.Amara hanya mengangguk pelan. Pandangannya melayang ke luar jendela, ke halaman belakang Villa Bayu yang selama enam bulan terakhir menjadi tempat persembunyiannya—tempat ia lari dari pria yang selalu menyakiti hatinya, tempat ia menangis dalam sepi, dan tempat ia belajar menerima luka.“Aku akan kangen tempat ini,” gumamnya lirih.Arga menoleh.

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Keputusan Untuk Pulang

    Cahaya pagi menembus celah tirai kamar dan mendarat tepat di wajah Amara.Ia mengerjap perlahan, merasa hangat dan terkurung dalam pelukan yang kokoh. Nafas hangat menyentuh tengkuknya, dan ketika Amara menunduk sedikit, ia menyadari tubuhnya tak terlapisi sehelai kain pun.Kesadarannya kembali—tentang malam yang penuh desahan dan rintihan. Tentang sentuhan yang begitu familiar, tentang gairah yang meledak dan pelukan yang menenangkan setelahnya.Pelan-pelan, Amara menoleh ke belakang. Arga masih terlelap, wajahnya tampak damai dan tenang, seakan beban bertahun-tahun telah rontok bersamaan dengan malam itu. Tangan Arga masih memeluk pinggang Amara, dan kakinya terlilit di antara kaki Amara seperti berusaha memastikan perempuan itu tidak akan pergi lagi.Amara menggigit bibir bawahnya. Perasaan campur aduk menyerangnya—antara malu, bersalah, canggung, dan mungkin sedikit bahagia.Ia mencoba menarik tubuhnya perlahan, tapi Arga malah menariknya lebih erat. Suara baritonnya terdenga

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Demi Rembulan

    “Sebelum datang ke sini, saya ke rumah sakit dulu untuk menanyakan hasil tes dna dan ternyata hasilnya sudah keluar.” Arga menyimpan amplop di atas meja yang langsung Amara raih dan membukanya.Makan malam sudah selesai dan mereka pindah ke ruang televisi.Arga mengangkat Rembukan dari bouncer lalu memangkunya.Tidak ada penolakan atau gerakan gelisah meski Rembulan terus mendongak menatap Arga seakan sedang merekam baik-baik wajah yang jadi sering ada itu.“Dia memang anak kandung Rendy, hasilnya cocok.” Arga berujar kembali sebelum selesai Amara membaca seluruh tulisan di dalam kertas.“Syukurlaaaah ….” Amara mendesah lega.Ima memberikan Aryana kepada Amara. “Kamu makan dulu, Ma.” “Baik, Bu.” Amara langsung memakai apron menyusui untuk menyusui Aryana sementara ibu Sumiati menundukan kepala dengan mata terpejam di kursi rodanya seperti sedang bicara dengan sang Maha Pencipta mungkin mengucapkan banyak rasa syukur karena Aryana-cucunya bisa diselamatkan dan bisa berkumpu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status