Apartemen mewah Cassandra di jantung kota masih menyala terang meski hari sudah mulai malam. Lampu-lampu gantung berkilau hangat, menyinari interior elegan penuh cita rasa borjuis. Musik jazz lembut terdengar dari speaker di sudut ruangan, mengisi kekosongan yang hanya bisa dimiliki orang kaya—dan kesepian.Ketika pintu diketuk, Cassandra tersenyum kecil. Dia tahu siapa yang datang tanpa perlu bertanya.Rendy masuk tanpa banyak basa-basi, jaket kulitnya basah karena gerimis. Matanya menyapu interior seperti biasa—tak pernah terkesan, tak pernah kagum, seolah kemewahan hanyalah latar biasa dari permainan yang lebih besar.Cassandra berjalan menghampiri dengan langkah anggun, mengenakan gaun tidur satin merah marun yang menempel sempurna di tubuhnya.“Rendy,” bisiknya, seolah nama itu adalah puisi.“Aku datang bukan buat basa-basi,” ucap Rendy dingin, membuang pandangan ke arah jendela.Cassandra mendekat, tak terganggu. “Aku senang kamu datang… kabar baik atau buruk?”“Amara per
Arga tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Langkahnya cepat, gugup, dan tanpa jeda untuk menyapa siapa pun. Clara yang baru saja membuka laptop hanya sempat mengangguk hormat saat pria itu melewati mejanya tanpa sepatah kata.Zeno sudah berada di ruangannya, membalik halaman laporan divisi keuangan sambil menyeruput kopi yang sudah dingin. Saat pintu diketuk dan terbuka nyaris bersamaan, ia mendongak tanpa ekspresi.Arga masuk tanpa basa-basi. Matanya sembab, sorotnya tajam tapi rapuh.“Lo udah dapet kabarnya?” tanyanya langsung, nyaris memohon.Zeno meletakkan cangkir kopi, menyilangkan tangan di dada. “Gue dapet jawaban.”Arga menahan napas. Jantungnya berdegup kencang.Zeno menarik napas sebelum berbicara, suaranya datar. “Plat nomor itu… palsu. Enggak terdaftar di database mana pun. Artinya, mobil itu memang disiapkan khusus agar enggak bisa dilacak.”Deg.Arga mengedip beberapa kali, mencoba mencerna. “Jadi lo… lo nggak bisa temuin dia?”Zeno mengangguk pelan. “Belum.
Langkah Arga terasa semakin hampa setelah keluar dari ruang rawat Alena. Hatinya tak kunjung tenang meski wajahnya tampak datar. Di balik genggaman erat tangannya, ada kegundahan yang tak bisa ia pendam sendiri lagi.Saat menuruni tangga darurat menuju basement parkiran, pikirannya kembali pada sosok yang selama ini menjadi sahabat Amara setelah dia dikhianati sahabatnya gurunya sendiri. Arga menggeser layar ponsel, membuka kontak.Lavina – Istri VikramJemarinya ragu. Tapi akhirnya ia menekan ikon panggil.Nada sambung.Satu kali.Dua kali.Tiga.Tersambung.“Hallo?” suara Lavina terdengar dari seberang, lelah dan waspada.Arga langsung bicara sebelum keberaniannya surut.“Lavina … ini aku, Arga. Aku cuma mau tanya—kamu tahu di mana Amara?”Hening sejenak.Kemudian, suara Lavina terdengar datar, bahkan dingin. “Enggak.”“Lavina … aku tahu kamu deket sama dia. Kalau dia bilang sesuatu—apa pun—tentang ke mana dia pergi, aku mohon kasih tahu aku. Aku benar-benar panik se
Sore menurun pelan bersama rasa bersalah yang kian menyesakkan dada Arga. Di tangan kirinya, selembar kertas berisi plat nomor mobil yang terekam di CCTV rumah sakit terasa seperti satu-satunya tali pengikat harapan.Tanpa banyak pikir, ia mengetik nama yang sahabatnya yang sebenarnya hubungan mereka pun tidak sedang baik-baik saja.Zeno.Pria itu bukan hanya sahabat, tetapi juga rekan seperjuangan di CitraKredit—dan orang yang dulu selalu melindungi Amara saat Arga sibuk menyakiti.Arga : Gue butuh bantuan lo. Tolong temui gue di Kafe Kasa, yang dekat rumah sakit. Penting.Balasan muncul beberapa menit kemudian.Arga tiba lebih dulu. Kafe kecil itu masih sepi menjelang malam. Ia memilih duduk di sudut dekat jendela, memesan espresso hanya untuk menjaga tangan tetap sibuk.Waktu berlalu perlahan sampai suara langkah mendekat membuatnya mendongak.Zeno.Pria itu duduk tanpa senyum, hanya anggukan kecil sebagai bentuk pengakuan eksistensi Arga. Sorot matanya dingin, tajam, tida
Langkah Arga terasa lebih berat dari sebelumnya saat ia berjalan kembali menyusuri gang sempit.Orang-orang yang tadinya memperhatikannya mulai kembali ke rutinitas masing-masing. Namun dalam kepala Arga, tak ada yang kembali seperti semula. Segalanya kini terasa rusak—patah dalam diam.Mobilnya masih terparkir di ujung gang, mencolok di tengah deretan kendaraan roda dua dan tukang sayur yang lewat.Arga membuka pintu dengan kasar dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kemudi. Tangannya meraih setir, menggenggam erat seperti hendak menahan semua gempa di dadanya.Ia menarik napas dalam, sekali, dua kali, tapi rasanya tetap sesak.Lalu Arga mengeluarkan ponsel. Jemarinya bergetar saat membuka kontak dan mengetik nama yang sudah menunggu di memorinya Vikram.Nada sambung berdering lama.Satu detik.Dua.Tiga.Hingga akhirnya, suara sang kakak tiri terdengar dari seberang.“Ya?” Vikram menyahut ketus.Arga tidak langsung bicara. Tenggorokannya tercekat.“Vik … Amara pergi,” ucapn
Udara di dataran tinggi menyambut mereka dengan pelukannya yang sejuk. Driver berhenti di depan sebuah rumah kayu luas bergaya kolonial yang berdiri anggun di tengah taman bunga yang sedang mekar.Pepohonan tua mengayun pelan seolah menyambut kehadiran tamu baru.Amara turun dari mobil perlahan dibantu Bayu yang sudah lebih turun membukakan pintu.Rembulan yang dibedong hangat masih terlelap dalam dekapan sang mama.Pintu rumah terbuka.Seorang perempuan paruh baya dengan rambut sebagian memutih duduk di atas kursi roda yang didorong oleh seorang perawat. Sorot matanya tajam namun teduh. Kulitnya berkerut, meski begitu ada ketegasan yang tetap hidup di sana. “Ibu .…” Suara Amara lirih, nyaris tercekat.Sumiati tidak menjawab langsung. Matanya tertuju pada sosok kecil yang terbungkus dalam kain putih lembut di pelukan putrinya. Bayu mundur pelan, memberi ruang bagi momen yang tak bisa diulang.Amara mendekat, lalu berlutut perlahan di hadapan ibunya.“Ini Rembulan, Bu… cucu I