Amara : Aku tahu kenapa kamu menjauh, karena kamu bingung bagaimana mengatakan kepadaku kalau Alena sedang mengandung.Lavina yang membaca pesan itu langsung melipat bibirnya ke dalam dengan mata berkaca-kaca.Amara : Aku enggak marah sama kamu, aku tahu bagaimana perasaan kamu saat ini.Satu pesan lagi masuk dari Amara dan berhasil membuat satu buliran kristal jatuh ke pipi Lavina.Dia menekan nomor Vikram untuk terhubung dalam sambungan telepon.“Hallo, Sayang?” Vikram langsung menyahut karena jika tidak, maka dia akan tidur di luar.“Aku mau ke rumah Amara, ya?” “Sayaaaaaang ….” Vikram mengesah.“Please … jangan ikut campur.”“Please, Vikram … aku wanita, Amara wanita, aku sedang mengandung … aku juga, dalam posisi seperti ini—Amara sangat membutuhkan aku … aku janji enggak akan ikut campur.” Vikram berdecak lidah kesal, dia tahu tidak akan bisa melarang istrinya.“Ya sudah, tapi diantar driver dan driver harus nungguin kamu di rumah Arga.” Akhirnya Vikram mengalah.“
“Tadi Arga yang telepon, katanya Alena muntah-muntah … adik kamu sedang hamil muda, ayo kita temani dia, kamu datang terlambat saja ke kantor,” kata Margareth seenaknya seperti ketika dia memaksa mengajak Cassandra sarapan pagi saat ini dengan maksud memperbaiki hubungan.Cassandra mendengkus pelan, dia menyesap tehnya.“Ayolah Cassandra … dia adik kamu … Ibu mohon, berdamai lah dengan semua ini.” Margareth memohon tapi nada suaranya terdengar memerintah.“Baiklah …,” kata Cassandra akhirnya malas-malasan.Dia bangkit diikuti Margareth lalu berjalan duluan ke kasir untuk membayar tagihan sarapan pagi mereka.“Kamu bisa cari pria lain yang lebih mapan dan baik dari Arga,” kata Margareth sembari melingkari lengan Cassandra sewaktu mereka berjalan ke loby.Cassandra tersenyum tipis. “Doakan saja, Bu.” Dia membalas singkat.Mobil MPV Premium Margareth muncul dan berhenti di depan mereka.Keduanya masuk ke dalam mobil. “Ke Penthouse Alena, Pak.” Margareth memberi instruksi kepada d
Langkah Arga terdengar berat ketika akhirnya menjejakkan kaki di rumah itu—rumah yang seharusnya menjadi tempat ia pulang, tempat ia merasa nyaman dan tempat dia membangun kebahagiaan bersama Amara dan anak mereka.Pintu dibuka pelan. Udara di dalam terasa dingin. Hening. Seolah rumah ini ikut kecewa dan enggan menyambutnya.Ia melihat ruang tamu kosong, meja makan rapi namun terdengar suara samar dari a4ah dapur dan. Amara sedang menyeduh teh, mengenakan daster yang sama seperti dua malam lalu. Rambutnya digerai seadanya. Wajahnya sembab. Matanya langsung menatap Arga tanpa berkedip.Tak ada senyum. Tak ada sapaan.“Amara—”“Enggak usah,” potong Amara, suaranya datar namun tajam. “Aku enggak perlu dengar alasan.”Arga menghela napas, melangkah mendekat dengan cepat. “Aku bisa jelaskan.”Amara menatapnya penuh luka. “Kamu bisa jelaskan apa? Bahwa kamu lebih memilih menemani wanita lain saat aku di rumah ini menunggumu sampai tertidur sambil menangis? Bahwa kamu dua malam menghi
Mentari mulai tinggi saat Arga duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatap Alena yang akhirnya tertidur setelah drama pagi yang begitu menguras tenaga—bagi mereka berdua. Tubuh Alena masih tampak lemah, tapi rona wajahnya tak lagi sepucat beberapa jam lalu. Napasnya tenang. Wajahnya damai.Terlalu damai untuk seseorang yang baru saja membuatnya melewatkan dua malam di tempat yang salah.Arga menatap layar ponselnya sejenak. Pesan dari Amara semalam masih belum dibuka. Dadanya sesak setiap kali melihatnya. Tapi ia belum sanggup membalas. Arga terlalu takut, takut kalimat apapun hanya akan melukai Amara lebih dalam.Pelan-pelan, Arga bangkit. Ia berdiri di sisi tempat tidur, menatap Alena yang masih tertidur, lalu menarik napas dalam-dalam dan bersuara pelan begitu melihat Alena membuka mata perlahan.“Aku pulang sebentar, Alena. Aku akan minta ibu datang untuk menemani kamu … aku harus ganti baju dan ke kantor sebentar… setelah itu aku balik lagi.”Tak ada jawaban. Alena menutup
Malam kembali datang, tapi bukan malam yang sama seperti biasanya.Sudah hampir dua malam Arga tidak pulang. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada telepon. Dan kali ini tak ada alasan yang bisa Amara terima dengan logika ataupun hati.Di dalam rumah yang hening, Amara duduk di pojok sofa dengan tubuh meringkuk, mengenakan daster longgar berwarna lavender yang mulai kehilangan keharuman deterjennya. Ponselnya terus digenggam erat sejak sore, meski layar sudah mati dan tidak ada notifikasi apapun.Cahaya dari televisi menyinari wajahnya yang pucat. Berita gosip tentang kehamilan Alena masih menjadi sorotan media dan walaupun ia sudah mematikan suara siaran itu sorot gambar dan tulisan berjalan di bawah layar masih terus menampar perasaannya.“Alena Wibisono resmi mengandung anak dari pemilik CitraKredit.”“Dokter keluarga mengonfirmasi kondisi kehamilan rawan.”“Arga Dirgantara terlihat menemani sang istri di rumah sakit.”Istri.Kata itu berulang-ulang menancap seperti be
Sore itu, Arga masih duduk di balik meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar membaca apapun.Padahal suasana kantor CitraKredit perlahan mulai lengang. Beberapa staf sudah mulai berkemas pulang. Ponselnya bergetar.Nama Alena muncul di layarnya.Alena : Ga, dokter Prasetyo udah datang. Katanya mau bicara sama kamu langsung soal kondisiku dan janin. Tolong datang sebentar aja. Aku butuh kamu di sini.Arga mendesah. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menatap langit sore yang mulai redup dari balik dinding kacanya. Ada perasaan jengah yang menumpuk di dada. Ia ingin mengabaikan pesan itu. Tapi rasa bersalah menjeratnya seperti tali tak kasat mata.Beberapa menit kemudian tanpa membalas pesan Alena, ia beranjak. Mengambil jas, memasukkan ponsel ke saku, dan melangkah keluar.Di rumah sakit, Alena sudah duduk di ruang konsultasi. Wajahnya pucat dibuat-buat, dan tangannya memegangi perut dengan ekspresi seperti menahan nyeri. Dokter Prasetyo duduk di hadapannya sa