Ruang kerja pribadi Arga di lantai tertinggi kantor CitraKredit terasa lebih sunyi dari biasanya. Tirai tak dibuka, hanya cahaya dari lampu meja kerja yang menyinari tumpukan dokumen merger yang kini tak lagi penting.Zeno berdiri di depan jendela, menatap kota Jakarta yang sibuk seakan dunia di luar baik-baik saja—berbanding terbalik dengan isi kepala Arga yang makin gelap.“Sudah enam bulan sejak Amara pergi,” suara Arga akhirnya terdengar, serak, seolah tenggorokannya tersumbat kenyataan. “Gue udah telusuri semua rekaman CCTV rumah sakit, tanya orang-orang yang pernah mengenal dia, tapi tetap enggak ada hasil.”Zeno berbalik pelan. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tapi ada kelembutan tipis dalam nadanya saat berkata, “Karena lo nyari pakai cara yang terlalu formal. Kalau Amara enggak mau ditemukan, dia pasti akan pastikan jejaknya tertutup.”Arga mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya di kursi kerja. “Amara pasti sakit hati banget sampai segitu teguhnya ninggalin gue.”“Lo
Langit senja di dataran tinggi tampak lebih teduh sore itu, dengan awan lembut bergulung pelan di atas hamparan hijau yang menyelimuti perbukitan. Di balik villa kayu yang sederhana namun hangat, aroma rebusan daun mint dan kayu manis dari dapur menyebar hingga ke teras.Amara sedang duduk di kursi rotan kala itu, mengenakan sweater lembut dan kain selimut menutupi kakinya. Rembulan tertidur di box bayinya di dalam kamar, napasnya tenang. Bayi kecil itu tampak damai—dan kedamaiannya adalah satu-satunya alasan Amara masih bertahan.Deru mesin terdengar dari kejauhan. Sebuah mobil SUV abu-abu berhenti perlahan di depan pagar kayu.Bayu turun, membawa dua tas kertas dari supermarket terkenal di Jakarta dan satu kantong berisi obat-obatan.Amara menoleh sejenak, lalu kembali menatap lembah di kejauhan.“Kamu datang lagi, Bayu?” ucapnya pelan dengan ekspresi tidak enak hati.Bayu tersenyum samar. “Selama kalian belum usir aku, aku akan terus datang.”“Bagaimana aku mau mengusirmu, i
Langit Jakarta sore itu mendung. Awan tebal menggantung di atas gedung-gedung tinggi, seolah ikut menekan dada Alena yang kini tengah duduk di belakang taksi online, memandangi lalu lintas yang bergerak lambat.Tangannya menggenggam erat ponsel. Di pangkuannya, bayi Aryana tertidur lelap dalam gendongan selempang berwarna krem yang sudah mulai lusuh. Ia tampak tenang—kontras dengan wajah ibunya yang sembab, putus asa.Sudah tujuh kali Alena menelepon Rendy.Dan semua tak dijawab.Panggilan terakhir hanya berujung pada suara mesin penjawab, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan…”Alena membanting ponsel ke jok mobil, napasnya memburu. Tangannya gemetar, bukan karena marah saja, tapi karena takut. Karena benar-benar sendiri.Sang driver menatapnya bingung dari kaca spion tengah.“Aku enggak bisa begini terus…,” desisnya pelan, menatap jendela, melihat pantulan wajahnya yang sudah tak menyerupai seorang sosialita, apalagi ibu muda dari keluarga konglomerat.
Rumah Arga tampak gelap. Tirai tak ditarik, lampu tak dinyalakan. Hanya cahaya lampu rumah tetangga dari luar jendela yang memantul samar di lantai kayu. Arga duduk sendiri di ruang tengah, masih mengenakan setelan kantor yang kini kusut. Dasinya longgar, dua kancing kemejanya terbuka, dan tangan kirinya menggenggam segelas scotch yang belum disentuh.Di meja di hadapannya—foto-foto dari Cassandra. Tes DNA. Bukti. Semua bukti yang tak bisa lagi ia sangkal.Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Matanya merah, bukan karena menangis, tapi karena terlalu lama menahan emosi yang terus bergemuruh seperti badai.“Semua ini… hanya permainan? Aku cuma pion?!” bisiknya.Lalu, gelas di tangannya melayang. Pecah membentur dinding, suara pecahannya memantul di ruangan hampa.“BAJINGAN!” teriaknya.Arga terhuyung bangkit, berjalan tak tentu arah ke teras. Angin malam menyambutnya, menusuk tubuhnya yang tak peduli pada dingin. Pandangannya menatap ke lampu-lampu kota Jakarta yang berkilau ja
Pintu besar rumah keluarga Wibisono mengayun keras saat dibuka. Suara langkah sepatu hak tinggi Margareth menggema tajam di marmer foyer. Di belakangnya, Bernadus mengekor dengan ekspresi gelap, menggenggam lengan Cassandra yang nyaris terseret.“Masuk!” bentak Bernadus.Cassandra mendesis pelan, “Ayah, Ibu! Ini enggak perlu dibesar-besarkan .…”Plak!Tamparan Margareth mendarat tepat di pipi kirinya, membuat kepala Cassandra terpelanting ke samping.“Kamu pikir apa yang kamu lakukan itu hebat?! Kamu pikir kami bangga punya anak seperti kamu?!” suara Margareth meledak, matanya penuh amarah dan luka.Cassandra memegang pipinya, terkejut. “Ibu?! Aku cuma—aku ingin membuktikan kepada kalian kalau Alena tidak sebaik yang kalian pikir!”“Membuktikan?!” Bernadus maju. “Membuktikan apa?! Kamu menjebak adik kamu sendiri dengan mempermalukan kami di depan keluarganya Arga! Kamu menghancurkan Alena—adikmu sendiri!”“Aku cuma menunjukkan kebenaran!” pekik Cassandra, emosinya ikut naik. “
Alena sudah diperbolehkan pulang oleh dokterPenthouse malam itu terang oleh lampu gantung kristal yang memantulkan kilau elegan ke seluruh ruangan. Balon-balon biru muda dan putih menghiasi sudut ruangan, sementara meja penuh dengan hidangan yang ditata rapi oleh katering langganan Margareth.Suasana hangat dan penuh tawa. Bernadus berdiri di dekat mini bar, mengangkat gelas anggur ringan, sementara Gunawan sedang menggendong si bayi yang baru diberi nama: Aryana Bagaskara sesuai dengan nama belakang Arga. Bayi itu tampak tenang dalam balutan bedong biru, tidur di pelukan sang kakek tirinya.Margareth duduk di sofa bersama Laraswati dan Alena yang masih mengenakan gaun longgar pascamelahirkan. Arga berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan dari kejauhan dengan senyum tipis namun hati yang kosong dan hampa.Dia senang karena telah memiliki anak laki-laki yang bisa menggantikannya memimpin perusahaan namun sayang bukan lahir dari rahim Amara-wanita yang dicintainya.Meski begitu