Pengkhianatan
“Kyla?!”
Sofie setengah tak percaya menatap wanita di hadapannya. Dia memang sedikit mengenal wanita yang bernama Kyla itu. Seorang manager restoran di hotel tempat Sofie bekerja yang terkenal dengan elok tubuh dan mulut manisnya. Semua pelanggan bahkan memujanya. Tidak jarang banyak gosip yang beredar tentangnya. Entah sedang bersama bos kaya atau dengan suami orang dan kini wanita itu sedang menatap Sofie dengan angkuh sambil melipat kedua tangan di dadanya. Seolah merasa menang telah berhasil menaklukkan kekasihnya.
Tidak lama kemudian Fabian keluar dari dalam apartemen dengan kondisi yang sama kusutnya. Wajah Fabian sama terkejutnya dengan Sofie, tidak menyangka kekasihnya bisa mengetahui apa yang selama ini selalu berusaha dia sembunyikan. Sofie yang sangat terguncang hanya terpaku menatap mereka berdua yang terlihat seperti habis bercinta.
“SOFIE! Sedang apa kamu di sini?” Fabian segera menghampiri Sofie.
“Apa yang sudah kalian lakukan?” tanya Sofie getir dengan suara parau bergetar berusaha menahan amarahnya.
“Sayang, memangnya kamu belum bilang padanya tentang hubungan kita? Apa kamu masih belum putus juga dengan dia?” tanya Kyla sinis.
“Apa selama ini kamu tidak pernah menjawab teleponku karena sedang bersenang-senang dengannya? Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?” Sofie menatap Fabian tajam. “Kamu benar-benar jahat!” Sofie sungguh muak melihat dua manusia di depannya ini, dia berbalik pergi sambil berusaha menahan air mata yang nyaris meluncur turun.
“Dengar dulu penjelasanku, Sofie!” Fabian menyusul Sofie dan meraih tangan gadis itu. Namun Sofie terlanjur terluka. Dia menepis tangan Fabian dan berlari pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan sesak di dadanya.
“Tunggu Sofie!” panggil Fabian sambil berusaha mengejar Sofie hingga ke lobi apartemen.
Sofie tidak menggubris dan terus berlari hingga ke parkiran mobil sambil menyeka air mata yang sempat menetes. Pria seperti Fabian tidak pantas untuk ditangisi. Sofie bahkan tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari pria itu. Namun Fabian tidak berhenti mengejarnya. Begitu jarak keduanya menyempit, Fabian kembali menarik tangannya kemudian mencengkeramnya dengan erat.
“Apa yang kamu lakukan? Lepaskan tanganku!” bentak Sofie sambil berusaha melepaskan diri.
“Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku, Sofie!” Fabian masih tetap menggenggam erat tangan Sofie.
“Tidak ada lagi yang perlu aku dengarkan! Aku sudah lihat semuanya! Sekarang lepaskan aku!” sahut Sofie ketus.
“Aa-aku dan wanita itu hanya ketidaksengajaan. Aku masih mencintaimu Sofie!” Fabian mencoba meyakinkan Sofie.
“Ketidaksengajaan? Setelah kamu mencium dan memeluknya dengan mesra. Bahkan kamu membiarkan wanita itu ada di apartemenmu di malam selarut ini dan kamu bilang hanya ketidaksengajaan? Omong kosong! Mulai sekarang jangan temui aku lagi. Kita putus!” pungkas Sofie sambil berusaha melepaskan tangannya yang masih dipegang erat. Rasanya dia ingin segera kabur, tetapi tangan Fabian kembali menahannya.
“Oke-oke. Aku memang salah. Aku minta maaf. Jadi berhentilah merajuk! Kita lupakan saja semua yang sudah berlalu dan memulainya lagi dari awal. Ya?”
“Omong kosong! Berhentilah membual dan lepaskan aku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!” teriak Sofie kesal berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Fabian yang semakin erat mencengkeramnya.
“Kenapa kamu begitu marah dia bermalam di tempatku? Sedangkan kamu sebagai pacarku selalu menolak saat kuajak bermalam di sini. Apa kamu tidak sadar, pria mana yang tahan berpacaran dengan wanita kolot dan kaku sepertimu?” ucap Fabian dengan nada mencemooh. “Aku butuh wanita yang bisa membuatku nyaman dan merasa dicintai. Bagaimana bisa kamu membuatku nyaman dengan sikapmu yang sok suci itu! Aku bahkan ragu kamu benar-benar mencintaiku dengan sikap kakumu itu,” tudingnya lagi.
Sofie menggeretakkan rahangnya. Sudah cukup dia menahan sabar dengan apa yang telah dilihatnya. Sudah cukup dadanya terasa sesak dikhianati seperti ini. Hingga sebuah tamparan mendarat sempurna di permukaan pipi Fabian. Kini Sofie menatap pria itu seolah menantangnya. Menatap tajam tepat di kedua netra pekat yang balas menatapnya tak percaya.
“Apa wanita itu membuatmu nyaman dengan cara seperti itu? Apa harus seintim itu denganmu baru kamu merasa nyaman dan benar-benar dicintai?” tanya Sofie sinis sambil menatap Fabian dengan penuh rasa kemarahan.
“Aku memang bukan wanita sempurna, tapi aku tahu batasannya. Aku hanya ingin memberikan semua yang kupunya termasuk tubuhku hanya pada pria yang menjadi suamiku, pria yang akan menemaniku sampai akhir usiaku. Untuk apa kamu menyatakan kamu mencintaiku kalau nyatanya kamu tidak bisa menjaga wanitamu bahkan dari nafsumu sendiri. Apa aku salah? Kupikir kamu benar-benar memahamiku tapi ternyata kamu sama sekali tidak mengerti aku! Kalau kamu tidak bisa menghargai prinsipku, sebaiknya hubungan kita selesai di sini saja!” dengan napas nyaris terengah Sofie memuntahkan semua isi hatinya.
“Tapi Sofie—" Fabian kembali menarik lengan Sofie. “Kamu menuntutku untuk memahamimu, tapi apa kamu juga sudah memahami diriku? Aku rasa tidak. Aku bahkan merasa kamu tidak benar-benar memberikan cintamu padaku!”
“Kalau cinta yang kamu maksud adalah harus tidur denganmu, jelas tidak akan pernah kuberikan!” bentak Sofie sambil berusaha melepaskan cengkeraman Fabian dari tangannya.
“Lepaskan tanganku!” teriak Sofie mulai frustrasi. Cengkeraman itu semakin membuat tangannya kesakitan. Namun Fabian masih mencengkeram erat tangan Sofie sambil menatap wanita itu tajam. “Kubilang lepaskan tanganku!” Suara Sofie mulai terdengar dingin, sedingin tatapannya kepada Fabian.
“Dia bilang lepaskan tangannya!” Tiba-tiba sebuah tangan menarik lengan Sofie dari cengkeraman Fabian.
“Kamu ini siapa? Berani-beraninya mencampuri urusan kami!” bentak Fabian kesal pada pria yang menarik tangan Sofie. Tatapannya tajam menghunjam menatap pria bertopi dan berkacamata hitam yang berdiri di samping Sofie.
“Aku temannya dan sikapmu sudah keterlaluan,” sahut pria yang tidak lain adalah Rexa yang sudah tidak tahan menyaksikan perdebatan Sofie dan Fabian dari kejauhan. “Ayo kita pergi!” Rexa menggandeng tangan Sofie dan berjalan cepat menjauh dari Fabian tanpa menghiraukan teriakan dan makian dari pria itu. Sedangkan Sofie hanya mengikuti Rexa sambil mengusap genangan air mata yang memenuhi pelupuk matanya.
“Sepertinya pria menyebalkan itu tidak mengejarmu lagi,” kata Rexa sambil mengeluarkan kunci mobilnya. “Pria seperti itu tidak pantas untuk kamu tangisi! Jangan sia-siakan air matamu yang berharga itu!” katanya sambil memberikan sebuah sapu tangan sutra berwarna biru laut.
“Siapa yang menangis. Mataku kelilipan debu!” sungut Sofie dengan bibir mengerucut. “Tapi, terima kasih sudah menolongku tadi,” ucap Sofie tulus dengan suara nyaris berbisik. Sedikit keki perdebatannya dengan Fabian dilihat Rexa.
“Sekarang kita impas.” Rexa pun naik ke mobilnya dan pergi meninggalkan Sofie yang terbengong-bengong melihat kelakuan Rexa yang pergi tanpa berbasa-basi mengajaknya serta.
“Dasar pria menyebalkan! Kenapa menolongku setengah-setengah! Setidaknya kamu antarkan aku ke stasiun terdekat. Sudah selarut ini mana ada kendaraan yang lewat di jalan ini.” Sofie mendengkus jengkel.
“Argh ... benar-benar hari yang gila!” gerutu Sofie kesal sambil berjalan meninggalkan halaman apartemen menuju jalan raya dan berharap masih ada taksi yang lewat.
****
“Kita mau ke mana malam-malam begini?” tanya Sofie sambil memandangi jalanan yang tidak dia kenal di sekelilingnya.Bukannya menjawab Rexa hanya tersenyum tipis sambil terus melajukan mobilnya menyusuri jalan raya yang semakin lama semakin sepi.Melihat jalanan yang semakin sepi, Sofie mulai waspada dengan apa yang akan Rexa lakukan selanjutnya. Apalagi saat melihat wajah pria itu yang masih terlihat kesal sejak kejadian di studio foto tadi.Mobil Rexa berbelok memasuki gerbang besar sebuah tempat rekreasi. Setelah membayar tiket masuk, Rexa melajukan mobilnya mencari tempat parkir yang sepi. Pria itu sengaja mencari tempat yang jauh dari keramaian untuk menghindari kehebohan massa yang akan mengenal identitasnya.“Ayo turun!” perintah Rexa begitu selesai mematikan mesin mobilnya.Tanpa menjawab, Sofie ikut turun dari mobil. Hal yang pertama wanita itu lakukan adalah mengamati keadaan sekitar. Memahami di mana tepatnya dia berada agar kalau terjadi sesuatu padanya, dia bisa kabur meny
Gerutuan Sofie makin panjang terdengar begitu melihat pose Rexa memeluk Kaisha dari belakang. Segala macam caci maki wanita itu tujukan pada pria yang kemarin membuat jantungnya nyaris jungkir balik karena senang. Kini Sofie semakin yakin kalao pria itu hanya mengerjainya saja kemarin. Lagi pula mana mungkin Rexa menyukai wanita mungil cerewet seperti dirinya.“Waa!!!” Sofie tiba-tiba terpekik kaget ketika hawa dingin menyengat menggigit kulit pipinya. Wanita itu langsung menoleh untuk melihat siapa yang berani mengusiknya saat ini. Namun baru saja hendak mencaci maki orang yang mengganggunya memaki Rexa, Sofie justru terhipnotis senyuman manis dari pria yang berdiri sambil menyodorkan sekaleng minuman dingin di hadapannya itu. “Revano!”“Kenapa merengut begitu?” tanyanya sambil membukakan tutup minuman kaleng kemudian menyerahkannya ke tangan Sofie. “Cappuccino dingin, kesukaanmu, kan?” katanya lagi.Senyum Sofie semakin lebar, “Terima kasih.”“Cemburu, ya?” tanya Revano tepat sasara
Sofie membuka mata sambil tersenyum memeluk guling. Apa yang sudah terjadi padanya semalam? Kenapa dia jadi tersipu malu seperti sekarang? Ah ... semua kejadian itu seperti mimpi rasanya.Sofie berguling ke kanan dan kiri. Lalu menutup wajahnya dengan guling dan kembali membayangkan kejadian demi kejadian yang dialaminya semalam. Seulas senyum kembali mengembang di bibirnya. Hingga dering jam alarm membuyarkan semua angannya.Sofie bangkit dari tempat tidur. Tatapannya langsung tertuju pada gaun cream yang tergantung pada pintu lemari di hadapannya. Semburat kemerahan kembali menjalar di pipi Sofie. Ah ... lama-lama dia bisa berhalusinasi. Sofie menepuk pipinya pelan dan beranjak meninggalkan kamar.Masih pagi memang, tetapi Sofie tidak menemukan Sonya di mana pun. Hanya ada secarik kertas berisi catatan yang ditulis Sonya tertempel dengan magnet di pintu kulkas. Memberitahukan kalau sahabatnya itu tidak akan pulang malam ini karena harus kerja lembur.Sofie duduk di kursi meja makan.
Rexa tidak yakin dengan apa yang sedang dilakukannnya sekarang. Rexa kembali seperti orang yang baru mengenal wanita. Saat ini bahkan dia rela terjebak dalam studio bioskop untuk sekadar menonton film bersama wanita yang memikatnya alih-alih kamar hotel yang nyaman. “Kita mau nonton film apa, sih?” tanya Sofie begitu mereka duduk di kursi masing-masing. “Horor,” sahut Rexa santai. Sedangkan Sofie terpekik kaget. “Horor?!” Sofie menegakkan tubuhnya menghadap Rexa. “Bukannya aku tidak suka film horor, hanya saja nonton di bioskop membuat film horor berpuluh-puluh kali lipat lebih menyeramkan. Efek suaranya selalu membuatku tidak bisa tidur setelah menontonnya.” Rexa hanya memperhatikan wanita itu berargumen dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. “Jadi, bolehkan ganti film yang lain?” tanya Sofie sambil menatap Rexa memohon. “Bagus, dong! Nanti aku temani supaya kamu bisa tidur nyenyak,” sahut Rexa dengan seringaian nakalnya. Sofie langsung mencubit lengan pria itu hingga Rexa meng
“Loh, kenapa kita ke sini?” tanya Sofie heran begitu wanita itu tersadar jalan yang mereka laluinya adalah jalan menuju Mall Savero di pusat kota. “Mau apa malam-malam gini ke mall? Sebentar lagi juga mallnya tutup,” ucap Sofie heran saat Rexa memarkirkan mobilnya di basement mall.“Bioskop masih buka sampai tengah malam.”“Untuk apa ke bioskop?”“Ya nonton, dong!” sungut Rexa kesal dengan kebodohan Sofie mencerna semua sikapnya. Sedangkan wanita itu hanya ber-oh ria.Rexa kembali menarik lengan Sofie dan meminta wanita itu berjalan di sisinya bukan di belakangnya. Keadaan ini membuat kewaspadaan Sofie naik level. Sejak memasuki mall, wanita itu selalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.Meskipun Rexa memakai topi hingga wajahnya tidak terlalu jelas terlihat, tetapi Sofie tetap merasa tidak aman. Wanita itu bahkan berharap tidak akan ada sedikit pun masalah yang muncul ketika mereka berjalan hanya berdua saja seperti ini.“Kamu kenapa? Seperti mau maling dompet pengunjung saja!” t
Rexa mulai melajukan mobilnya tepat di belakang mobil van para member B-Men. Rexa memang lebih suka mengendarai mobilnya sendiri. Sedangkan member B-Men lainnya lebih senang menggunakan mobil van milik perusahaan karena lebih praktis. Mereka semua tiba di Royal Restaurant saat semburat kemerahan mulai meredup dan berganti malam. Sutradara Erick dan seluruh kru pembuatan drama sudah menunggu mereka di sudut kanan ruangan. Para member B-Men pun bergabung dan membaur dengan semuanya. Rexa duduk diapit kedua wanita yang membuat hati Sofie bagai dilumat di atas papan penggilasan. Siapa lagi kalau bukan Kaisha dan Azalea. Terlebih lagi Azalea yang sedari tiba tidak pernah melepaskan Rexa sedikit pun, seakan sedang membalaskan kekesalannya di studio tadi. Ada saja cara yang wanita itu lakukan untuk mencoba menarik perhatian Rexa. Untunglah Sofie duduk di samping Revano dan Sonya. Setidaknya dia memiliki teman untuk berbincang. Walaupun harus menghindari tatapan tajam Rexa setiap kali Sofi