Share

3. Pengkhianatan

Pengkhianatan

“Kyla?!”

Sofie setengah tak percaya menatap wanita di hadapannya. Dia memang sedikit mengenal wanita yang bernama Kyla itu. Seorang manager restoran di hotel tempat Sofie bekerja yang terkenal dengan elok tubuh dan mulut manisnya. Semua pelanggan bahkan memujanya. Tidak jarang banyak gosip yang beredar tentangnya. Entah sedang bersama bos kaya atau dengan suami orang dan kini wanita itu sedang menatap Sofie dengan angkuh sambil melipat kedua tangan di dadanya. Seolah merasa menang telah berhasil menaklukkan kekasihnya.

Tidak lama kemudian Fabian keluar dari dalam apartemen dengan kondisi yang sama kusutnya. Wajah Fabian sama terkejutnya dengan Sofie, tidak menyangka kekasihnya bisa mengetahui apa yang selama ini selalu berusaha dia sembunyikan. Sofie yang sangat terguncang hanya terpaku menatap mereka berdua yang terlihat seperti habis bercinta.

“SOFIE! Sedang apa kamu di sini?” Fabian segera menghampiri Sofie.

“Apa yang sudah kalian lakukan?” tanya Sofie getir dengan suara parau bergetar berusaha menahan amarahnya.

“Sayang, memangnya kamu belum bilang padanya tentang hubungan kita? Apa kamu masih belum putus juga dengan dia?” tanya Kyla sinis.

“Apa selama ini kamu tidak pernah menjawab teleponku karena sedang bersenang-senang dengannya? Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?” Sofie menatap Fabian tajam. “Kamu benar-benar jahat!” Sofie sungguh muak melihat dua manusia di depannya ini, dia berbalik pergi sambil berusaha menahan air mata yang nyaris meluncur turun.

“Dengar dulu penjelasanku, Sofie!” Fabian menyusul Sofie dan meraih tangan gadis itu. Namun Sofie terlanjur terluka. Dia menepis tangan Fabian dan berlari pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan sesak di dadanya.

“Tunggu Sofie!” panggil Fabian sambil berusaha mengejar Sofie hingga ke lobi apartemen.

Sofie tidak menggubris dan terus berlari hingga ke parkiran mobil sambil menyeka air mata yang sempat menetes. Pria seperti Fabian tidak pantas untuk ditangisi. Sofie bahkan tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari pria itu. Namun Fabian tidak berhenti mengejarnya. Begitu jarak keduanya menyempit, Fabian kembali menarik tangannya kemudian mencengkeramnya dengan erat.

“Apa yang kamu lakukan? Lepaskan tanganku!” bentak Sofie sambil berusaha melepaskan diri.

“Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku, Sofie!” Fabian masih tetap menggenggam erat tangan Sofie.

“Tidak ada lagi yang perlu aku dengarkan! Aku sudah lihat semuanya! Sekarang lepaskan aku!” sahut Sofie ketus.

“Aa-aku dan wanita itu hanya ketidaksengajaan. Aku masih mencintaimu Sofie!” Fabian mencoba meyakinkan Sofie.

“Ketidaksengajaan? Setelah kamu mencium dan memeluknya dengan mesra. Bahkan kamu membiarkan wanita itu ada di apartemenmu di malam selarut ini dan kamu bilang hanya ketidaksengajaan? Omong kosong! Mulai sekarang jangan temui aku lagi. Kita putus!” pungkas Sofie sambil berusaha melepaskan tangannya yang masih dipegang erat. Rasanya dia ingin segera kabur, tetapi tangan Fabian kembali menahannya.

“Oke-oke. Aku memang salah. Aku minta maaf. Jadi berhentilah merajuk! Kita lupakan saja semua yang sudah berlalu dan memulainya lagi dari awal. Ya?”

“Omong kosong! Berhentilah membual dan lepaskan aku! Aku tidak ingin melihatmu lagi!” teriak Sofie kesal berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Fabian yang semakin erat mencengkeramnya.

“Kenapa kamu begitu marah dia bermalam di tempatku? Sedangkan kamu sebagai pacarku selalu menolak saat kuajak bermalam di sini. Apa kamu tidak sadar, pria mana yang tahan berpacaran dengan wanita kolot dan kaku sepertimu?” ucap Fabian dengan nada mencemooh. “Aku butuh wanita yang bisa membuatku nyaman dan merasa dicintai. Bagaimana bisa kamu membuatku nyaman dengan sikapmu yang sok suci itu! Aku bahkan ragu kamu benar-benar mencintaiku dengan sikap kakumu itu,” tudingnya lagi.

Sofie menggeretakkan rahangnya. Sudah cukup dia menahan sabar dengan apa yang telah dilihatnya. Sudah cukup dadanya terasa sesak dikhianati seperti ini. Hingga sebuah tamparan mendarat sempurna di permukaan pipi Fabian. Kini Sofie menatap pria itu seolah menantangnya. Menatap tajam tepat di kedua netra pekat yang balas menatapnya tak percaya.

“Apa wanita itu membuatmu nyaman dengan cara seperti itu? Apa harus seintim itu denganmu baru kamu merasa nyaman dan benar-benar dicintai?” tanya Sofie sinis sambil menatap Fabian dengan penuh rasa kemarahan.

“Aku memang bukan wanita sempurna, tapi aku tahu batasannya. Aku hanya ingin memberikan semua yang kupunya termasuk tubuhku hanya pada pria yang menjadi suamiku, pria yang akan menemaniku sampai akhir usiaku. Untuk apa kamu menyatakan kamu mencintaiku kalau nyatanya kamu tidak bisa menjaga wanitamu bahkan dari nafsumu sendiri. Apa aku salah? Kupikir kamu benar-benar memahamiku tapi ternyata kamu sama sekali tidak mengerti aku! Kalau kamu tidak bisa menghargai prinsipku, sebaiknya hubungan kita selesai di sini saja!” dengan napas nyaris terengah Sofie memuntahkan semua isi hatinya.

“Tapi Sofie—" Fabian kembali menarik lengan Sofie. “Kamu menuntutku untuk memahamimu, tapi apa kamu juga sudah memahami diriku? Aku rasa tidak. Aku bahkan merasa kamu tidak benar-benar memberikan cintamu padaku!”

“Kalau cinta yang kamu maksud adalah harus tidur denganmu, jelas tidak akan pernah kuberikan!” bentak Sofie sambil berusaha melepaskan cengkeraman Fabian dari tangannya.

“Lepaskan tanganku!” teriak Sofie mulai frustrasi. Cengkeraman itu semakin membuat tangannya kesakitan. Namun Fabian masih mencengkeram erat tangan Sofie sambil menatap wanita itu tajam. “Kubilang lepaskan tanganku!” Suara Sofie mulai terdengar dingin, sedingin tatapannya kepada Fabian.

“Dia bilang lepaskan tangannya!” Tiba-tiba sebuah tangan menarik lengan Sofie dari cengkeraman Fabian.

“Kamu ini siapa? Berani-beraninya mencampuri urusan kami!” bentak Fabian kesal pada pria yang menarik tangan Sofie. Tatapannya tajam menghunjam menatap pria bertopi dan berkacamata hitam yang berdiri di samping Sofie.

“Aku temannya dan sikapmu sudah keterlaluan,” sahut pria yang tidak lain adalah Rexa yang sudah tidak tahan menyaksikan perdebatan Sofie dan Fabian dari kejauhan. “Ayo kita pergi!” Rexa menggandeng tangan Sofie dan berjalan cepat menjauh dari Fabian tanpa menghiraukan teriakan dan makian dari pria itu. Sedangkan Sofie hanya mengikuti Rexa sambil mengusap genangan air mata yang memenuhi pelupuk matanya.

“Sepertinya pria menyebalkan itu tidak mengejarmu lagi,” kata Rexa sambil mengeluarkan kunci mobilnya. “Pria seperti itu tidak pantas untuk kamu tangisi! Jangan sia-siakan air matamu yang berharga itu!” katanya sambil memberikan sebuah sapu tangan sutra berwarna biru laut.

“Siapa yang menangis. Mataku kelilipan debu!” sungut Sofie dengan bibir mengerucut. “Tapi, terima kasih sudah menolongku tadi,” ucap Sofie tulus dengan suara nyaris berbisik. Sedikit keki perdebatannya dengan Fabian dilihat Rexa.

“Sekarang kita impas.” Rexa pun naik ke mobilnya dan pergi meninggalkan Sofie yang terbengong-bengong melihat kelakuan Rexa yang pergi tanpa berbasa-basi mengajaknya serta.

“Dasar pria menyebalkan! Kenapa menolongku setengah-setengah! Setidaknya kamu antarkan aku ke stasiun terdekat. Sudah selarut ini mana ada kendaraan yang lewat di jalan ini.” Sofie mendengkus jengkel.

“Argh ... benar-benar hari yang gila!” gerutu Sofie kesal sambil berjalan meninggalkan halaman apartemen menuju jalan raya dan berharap masih ada taksi yang lewat.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status