Share

132

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2024-09-15 09:13:11

"Sakinah, apa yang terjadi, Sakinah ...."

Pendengaranku samar, perlahan kabur, sakit di perut makin menjadi jadi, sementara tubuh mulai lemas dan berkeringat dingin.

"Apa yang kau rasakan?" tanya Mas Yadi panik.

Aku tak mampu menjawab karena bibir ini sudah kelu dan rasa sakit yang melilit membuatku tak mampu menggerakkan lidah.

Hingga semuanya buyar dan menggelap.

**

"Nyonya Sakinah ...."

"Lakukan sesuai prosedur!"

"Tanda tangan di sini!"

"Sakinah ... sadarlah, Sakinah ....."

Lamat-lamat kudengar Mas Yadi dan orang orang ramai, lampu yang menyilaukan namun semuanya masih kabur. Mas Yadi dan seorang pria memanggil sambil mengguncang tubuhku, tapi tapi aku masih tidak sanggup membuka mata lagi.

*

Terbangun ketika diri ini menyadari bahwa aku sudah berada di sebuah ranjang dan ketika pupil mata membuka sempurna, kusadari semua infus menggantung di dekatku dan jarumnya menancap di tangan. Entah apa yang terjadi sebelum itu aku tidak tahu.

"Nyonya sudah siuman?"

"Iya, kenapa, saya di mana?"

"Nyonya, di rumah sakit."

"Iya, saya kenapa?" Aku penasaran sekali.

"Nyonya mengalami pendarahan."

"Lalu bagaimana dengan janin saya?"

"Dokter akan memberi tahu Nyonya keadaannya," jawab Suster itu sambil tersenyum tipis, tapi entah kenapa aku sudah punya firasat yang tidak baik tentang ini.

Tak lama kemudian seorang dokter datang diikuti oleh suster yang tadi merawatku, dia mendekat tersenyum sambil menyapaku.

"Bagaimana keadaan anda sekarang Nyonya Sakinah?"

"Saya merasa pusing dan perut saya sangat sakit, apa yang terjadi?"

"Anda pendarahan karena kelelahan, ditambah kurang asupan gizi serta stress, ditambah pengaruh obat yang pernah masuk ke badan Anda memperparah segalanya. Andaipun bayinya selamat, bisa jadi ia lahir dalam keadaan cacat, maaf Bu, sekali lagi, maafkan saya," jawab dokter tersebut dengan wajah prihatin.

Aku tahu, kekurangan gizi, stress dan riwayat obat, itu semua perbuatan Didit!

"Ja-jadi, saya kehilangan anak?" tanyaku dengan bibir bergetar.

"Kita semua pasti pernah merasakan sakit dan kehilangan, namun, mau tak mau kita harus menjalani kehendak Sang Pencipta. Saya turut berduka, semoga Nyonya diberi kesabaran dan keluasan hati untuk merelakan bayi Anda kembali ke pangkuan Tuhan." dokter itu menepuk bahuku pelan sedang aku yang masih terbaring lemah tak mampu membendung air mata.

"Apakah keluarga saya ada di sini?" Tanyaku dengan suara parau.

"Iya, Nyonya, suami anda sudah menunggu di luar."

"Suami? Didit? Ah, Aku enggan bertemu dia!" Aku membatin sambil menggeleng pelan.

"Kami akan panggilkan," lanjutnya.

"Ti-tidak usah," bisikku lemah namun pria itu sudah menjauh pergi. Tak lama kemudian pintu terbuka dan aku ingin sekali melihat sosok yang berada di balik pintu itu untuk melabraknya. Betapa tidak, apa yang dia lakukan sudah membuatku kehilangan nyawa anak.

"Sakinah ...."

Ah, itu bukan Didit melainkan Suryadi. Dia mendekat dan menatapku iba, membuat hati ini makin tak karuan rasanya.

"Maaf ya, karena kamu harus mengalami ini demi aku. Aku menyesal, kau harus mengikutiku ke rumah sakit karena khawatir._" pria itu menggenggam tanganku.

"Lalu apa yang terjadi, apa aku dikuret?"

"Aku terpaksa memberikan izin, karena jika tidak, nyawamu juga akan melayang sia-siaa."

"Oh, Tuhan ....." Rasanya sakit sekali kehilangan anak yang sudah hampir empat bulan menghuni rahimku, sesak sekali rasanya seolah ditimpakan batu besar.

"Apa dia laki laki atau perempuan?" bisikku sedih.

"Laki laki."

jawaban itu membuat dadaku makin terlubangi oleh kekecewaan, bayangkan, kehilangan anak laki-laki yang sudah kutunggu-tunggu, seolah menghancurkan segenap hati dan perasaan.

"Ya Allah, aku makin benci pada Didit Mas, aku benci sekali," jawabku mengusap air mata.

" ... Seharusnya bayi ini masih baik baik saja, jika dia tidak menyuntikkan obat keras."

Sabar sakinah, sabar ya ... dia akan mendapatkan akibat perbuatannya."

"Itu harus terjadi Mas, harus ...." Aku menangis sambil mencengkeram lengan.

"Iya, tenangkan dirimu, anak anak akan datang dan mereka pasti sedih melihatmu hancur begini," bisiknya sambil memelukku, membiarkan aku menumpahkan sakit di dadanya.

Tangisanku bergulir, menyayat hati dan mungkin menghancurkan perasaan orang mendengarnya. Aku tahu bahwa kepergian bayi itu akan meringankan langkahku untuk lepas dari ayahnya jahat, namun tetap sakitnya kehilangan anak sungguh tak terkira.

*

Pukul delapan malam, kedua putriku datang untuk menjenguk, baru saja mereka masuk dan melihatku sudah terbaring lemah dengan cekungan kantung mata yang hampir berwarna ungu, putriku nampak terkejut, sedih, dan langsung memelukku.

"Mama apa yang terjadi?

Siska langsung melabuhkan diri ke pelukanku.

"Sudahlah, Sis, jangan ingatkann terus apa yang terjadi, nanti Mama gak sembuh-sembuh," sela Imel.

"Makanya aku sedih banget, Kak. Kenapa keluarga kita hancur begini? Musibah demi musibah silih berganti dan akhir-akhirnya Papa dan Mama juga yang saling bahu membahu membereskan masalah mereka, gak ada yang lain yang siap bantu."

"Mama minta maaf apa yang terjadi sejauh ini, minta maaf sekali," bisikku lirih pada kedua anakku.

"Its, oke, Ma, kita gak pernah tahu bahwa orang akan berbuat jahat." Imel membalas genggaman tanganku.

"Makanya aku juga gak mau dari awal Papa sama Mama cerai, lihat kita hanya dijadikan korban dari mereka yang punya dendam. Papa itu dulu adalah Dandim yang terkenal baik dan tegas, kenapa kini orang tuaku berada di titik paling memalukan?"

Anakku menjatuhkan diri kursi dengan lemah lalu mengusap air matanya.

"Mama minta maaf sudah terlalu emosional dengan perkawinan Papa yang kedua," bisikku pelan.

"Iya, gak bisa disalahkan. Wajar juga sih, Ma, kita aja bisa bayangkan. Udahlah, jangan pikirkan lagi, Ma. fokus aja pada kesembuhan. Bukannya Mama mau balas Om Didit?"

"Iya, Imel."

"Kalo begitu jangan ditangisi lagi, kita harus ikhlas dengan kepergian adik bayi, meski itu menyedihkan."

"Iya." Kupeluk mereka dengan sepenuh jiwa, aku tahu, tak semudah ini untuk melupakan kesakitan, namun, aku harus bersikap tegar di depan kedua anakku.

Mas Yadi tak lama kemudian datang membawakan nasi bungkus dan bubur untukku, tak lupa sekantong buah dan sekotak susu.

"Aku beli ini untuk makan malam," ujarnya sambil menyerahkan bawaannya itu pada putri Putri kami.

"Sakinah kau harus makan dan minum susu, agar segera sembuh," ujarnya sambil tersenyum.

"Baik, Mas, makasih ya," jawabku memaksakan senyum.

Dulu, ia tak banyak bicara, hanya beberapa kata dan seperlunya, apalagi jika ia kembali dari tempat tugas maka sikap diamnya bertambah dua kali lipat. Namun, entah mengapa sekarang ia sangat hangat. Mungkinkah ia sedang mencari kesempatan kedua???

Aku harus bagaimana?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karma 2   170. letusan

    saat letusan senjata itu terdengar untuk kedua kalinya lalu panggilan berakhir tiba-tiba sakinah benar-benar panik. dia segera melaporkan Pada suamikmya bahwa Imelda dan Roni sedang mendapatkan penyerangan di villa keluarga William yang ada di pinggir kota. saat itu suaminya juga sedang sakit, ia masih harus menjalani masa penyembuhan setelah luka akibat perbuatan Bendi dan geng kriminalnya. mereka pernah datang menyerang rumah dan menembak letkol Suryadi serta Roni."mas!" dengan segala kepanikan Sakinah menelpon suaminya. "ada apa?""terjadi sesuatu pada Roni dan Imel.""kenapa mereka.""entahlah, Mas! saat menelpon Roni aku mendengar suara tembakan.""apa ada teriakan dan keramaian?""tidak tahu, Mas.""kabarilah kakeknya Roni.""baik." selagi Sakinah akan menelpon keluarga Roni Suryadi sendiri sibuk membereskan barang-barang dan mengamankan milik mereka yang berharga ke dalam sebuah tas mereka harus bersiap-siap, untuk mengantisipasi bahwa suatu saat Bendi dan anak buahnya dat

  • Karma 2   169. panik dan berlari

    Sakinah berlari keluar dari istana Ny. Erika, hatinya berdebar kencang seperti gendang yang dipukul keras. Ia merasakan kepanikan yang mencengkeram jiwanya. Ny. Erika tahu di mana Imelda berada dan Ny. Erika akan melakukan apa saja untuk membalas dendam."Aku harus mencari Heri," gumam Sakinah, napasnya terengah-engah. "Aku harus memberitahunya tentang ancaman ini."Sakinah melesat cepat menuju showroom motor milik Heri. Ia tahu bahwa Heri sedang berusaha menata hidupnya kembali setelah kejadian yang menimpanya. tepat saat tiba di sana, Sakinah menemukan Heri sedang menunjukkan motor baru kepada seorang pelanggan. saat mereka saling pandang Heri nampak sangat sini sedang Sakinah menatap dengan pandangan yang penuh kekhawatiran."pak herii," kata Sakinah, suaranya bergetar. "Aku harus berbicara padamu."Sakinah menarik Heri ke sisi dan menceritakan semuanya. Ia menceritakan pertemuannya

  • Karma 2   168. pergi menemui Erika

    Tak bisa ditunda-tunda lagi, rencana untuk menemui Erika dan menawarkan perdamaian akan segera dilakukan oleh sakinah. Sakinah melangkah memasuki ruangan mewah Ny. Erika, hati berdebar kencang. Udara di ruangan itu terasa berat, dipenuhi aroma parfum mahal dan ketegangan yang mencekam. Ny. Erika duduk di sofa beludru, wajahnya dingin dan begitu melihat Sakinah kebengisan dan dendam terlihat jelas di sana. "Kau berani datang ke sini?" desis Ny. Erika, suaranya dingin dan menusuk. "Kau berani datang setelah kau menghancurkan hidupku?"Sakinah menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Ny. Erika masih mendendam padanya. Ia tahu bahwa Ny. Erika ingin membalas dendam atas apa yang telah terjadi. terutama kepada putrinya yang telah membuat dia kehilangan separuh bisnisnya, kehilangan gudangnya karena kebakaran dan sempat masuk penjara meski hanya beberapa bulan. "Erika, aku datang untuk meminta kesempatan," kata Sakinah, suaranya lembut dan penuh ketulusa

  • Karma 2   167. mencarinya

    * Dua Minggu kemudian. hidup Sakinah berjalan dengan normal, meski hanya tinggal bertiga bersama suami dan anak bungsunya Siska tapi, Sakinah mulai merasa tentram. ditambah keyakinannya bahwa Tuan William akan melindungi Imel membuat wanita berusia 43 tahun itu sedikit tenang. "Bagaimana luka lukamu, Mas?"" Tanya sakinah Pada Suryadi suaminya. seperti biasa dia bawakan air hangat dan kompres untuk membantu pria itu mengganti perbannya. "sedikit membaik meski bekas operasi di perutku masih terasa nyeri, aku sudah terbiasa dengan luka dan aku bisa mengatasinya." "apa kita harus kembali ke klinik?" Tanya sakinah dengan khawatir. "Tidak usah. kamu tidak harus mengkhawatirkan aku, yang harus kamu khawatirkan adalah Imelda dan Roni. mereka lebih membutuhkan bantuan dibandingkan kita." "semoga situasinya membaik, sebab tuan William akan menemui pejabat berwenang di kota ini dan meminta beliau untuk menekan Erika. wanita itu tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan Tapi dia bisa

  • Karma 2   166. sebulan berlalu

    sebulan berlalu setelah Sakinah memberikan hasil USG kepada Imelda, sebulan berlalu setelah Roni dibawa pulang kembali ke rumah tuan William dan Suryadi suaminya sudah pulang ke rumah dan mulai jalani masa pemulihan. Setelah dua luka ditembak yang berhasil menembus dada, tapi syukurnya Suryadi masih selamat, kini Sakinah lebih berhati-hati dan lebih mengetatkan keamanan di rumahnya. dia bahkan mengganti pintu gerbang menjadi pintu baja yang kuat juga membayar seseorang untuk mengawasi kegiatan Putri keduanya yang selalu kuliah dan hangout bersama teman-temannya.sekali Imelda menelpon tapi pembicaraan hanya tentang kabar dan semuanya baik-baik saja. kadang iya menyatakan keresahannya tentang perlakuan Tuhan Heri tapi lama-kelamaan semuanya membaik seiring dengan terbuktinya kehamilan Imelda. "mama pikir kamu berpura-pura tapi ternyata mama melihat kehamilanmu dengan jelas.""Yang kulakukan adalah dosa besar dan aku tidak nyaman dengan itu, Ma. Kakek William sudah mengajukan gugatan

  • Karma 2   165. hasil USG

    Dengan segala koneksi yang ada Sakinah berusaha menghubungi salah satu kenalannya yang berprofesi sebagai dokter kandungan, Dia pernah punya hubungan baik di masa lalu sebagai istri semua orang komandan distrik militer. dia ada dokter tersebut berulang kali melakukan kerjasama dan bahkan membantu Sakinah taat kehamilannya jadi dia akan pergi menemui wanita itu untuk meminta bantuan sedikit. "aku pergi dulu.""iya hati-hati.""aku tidak terlalu mencemaskan diriku tapi kau yang ada di rumah sakit ini siapa tahu anak buah bendi datang dan menyuntikkan cairan kematian ke dalam infusmu.""sebentar lagi Siska akan datang selagi itu aku akan terjaga, aku tidak akan tidur sampai anakku datang.""baiklah jaga dirimu baik-baik Sakinah mencium kening suaminya lalu berpamitan pergi."fversama mobil tua dengan beberapa bekas lubang tembakan, Sakinah mengendarai sedan versi lama tersebut menuju ke klinik dokter langganannya. sepanjang perjalanan gerimis turun perlahan membasahi aspal berwarna kela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status