Share

Bagian 4

Safwan melesatkan sepeda motornya menuju rumah Lesti. Meskipun tidak yakin apakah tujuannya itu benar, tetapi dia perlu bertemu dengan kakaknya itu.

"Aku sudah bilang sama Arlina, uangnya sudah tidak ada," sahut Lesti ketika ia menanyakan hutangnya, "Aku memberikan pakaian bayi bekas Alif, dia malah menolak."

"Pakaian bayi sudah ada, Kak. Arlina meminjam dari Kak Arni. Dia hanya butuh uangnya sekarang. Kakak janji waktu itu hanya sebulan." 

Safwan yang sejatinya sudah emosi karena cemas, mencoba bicara tenang.

"Iya. Cuma waktu itu lalu ada keperluan. Jadi uangnya terpakai."

"Kakak usahakanlah, karena Arlina benar-benar butuh uangnya. Dia akan melahirkan."

"Kakak bilang uangnya sudah terpakai." Suara Lesti meninggi, mulai kesal karena Safwan yang kukuh menagih.

"Iya. Kakak usahakan bagaimana agar uang itu ada. Pinjam atau apalah. Lagi pula aku tidak yakin uang itu benar-benar habis," sahut Safwan dengan suara yang ikutan meninggi. Dia mulai tidak bisa mengontrol emosi.

Lesti menatap tajam. Hatinya tidak bisa menyangkal ucapan Safwan, bahwa memang uang itu ada. Sebagian dia masukkan ke dalam tabungan. Hanya saja ada rasa sayang dihatinya untuk mengurangi nominal tabungan itu.

"Kakak tidak perlu lunasi dulu, seadanya saja berapa. Yang penting bisa untuk pegangan Arlina di rumah sakit."

"Tidak ada, ya, tidak ada Safwan!" Lesti semakin emosi.

Orang yang bersalah, jika terpojok memang akan cenderung terpancing emosi.

"Kakak jangan zolim. Ingat, Kak, doa orang yang terzolimi itu makbul."

"Kamu mengancam? Mau mendoakan yang buruk? Memangnya kamu mau mendoakan kakak apa?" tanya perempuan itu sambil mengangkat dagu.

"Kamu memang tidak tahu berterima kasih, Safwan. Kamu dipungut orangtuaku sejak bayi, dibesarkan hingga kasih sayang mereka nyaris semua untukmu. Aku tersisih.

Berapa banyak Uang orangtuaku yang habis untuk membesarkanmu, sekarang hanya karena lima juta itu kamu mengancamku?" lanjutnya sembari menatap bengis.

Safwan menghela napas berat. Sejak kecil, Lesti memang tidak pernah menyukainya. Wanita itu cemburu karena merasa dirinya merebut kasih sayang kedua orangtuanya.

Safwan terlahir yatim, dan menjadi piatu pada usia tiga hari. Ibunya adalah adik dari ayah Lesti.

Safwan dibesarkan dan dianggap anak sendiri oleh orangtua Lesti. Mereka yang memang mendambakan anak laki-laki, sangat menyayangi Safwan. Suatu kebetulan pula, mereka tidak pernah lagi diamanahi anak setelah itu. Sehingga kehadiran Safwan kecil benar-benar membawa kebahagiaan untuk mereka.

Beragam cara dilakukan Safwan untuk mencuri kasih sayang Lesti, menunjukkan bahwa dia sangat menyayangi kakaknya itu. Dia menuruti semua keinginan Lesti, termasuk meminjamkan uang milik Arlina. Namun, sayang, sepertinya hati Lesti benar-benar telah tertutup.

"Urusan kita berbeda, Kak. Tidak ada sangkut pautnya dengan Arlina," ucapnya pelan, "Satu yang perlu Kakak ingat, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Arlina, aku tidak rela dunia akhirat atas semua ini."

Laki-laki itu melangkah gontai. Hatinya menyesal karena telah bodoh percaya pada wanita yang notabene adalah kakaknya sendiri itu, meskipun bukan kandung.

Dia pikir, sebagai saudara, kakaknya tidak akan tega menahan uangnya apalagi tahu kalau itu adalah untuk persiapan lahiran istrinya. Namun, sepertinya hati sang kakak telah buta.

"Ada apa, Wan?" Di halaman rumah, Yusuf bersama Alif muncul. Sepertinya mereka dari lari pagi.

"Bang." Safwan menatap laki-laki berwajah teduh itu. Harapan baru muncul.

"Sepertinya cemas?" Yusuf menelisik wajah Safwan.

"Arlina akan melahirkan, Bang."

"Terus?"

"Uang persiapan lahiran Arlina dipinjam Kak Lesti."

"Berapa?"

"Lima juta."

"Astagfirullah." Yusuf mengusap wajah kasar, "Sebentar," ucapnya lalu melangkah lebar menuju rumah.

Terdengar seruan cukup keras laki-laki itu kepada Lesti. Lalu terdengar suara keduanya sahut menyahut cukup kencang.

Beberapa saat senyap, tidak berapa lama Yusuf keluar menemui Safwan.

"Maaf, Wan. Abang tidak tahu kalau kakakmu pinjam uang kalian. Abang pun tidak bisa ganti karena semua gaji dia yang pegang. Abang hanya pegang uang bensin saja. Ini kamu bawalah, dari Abang pribadi untuk istrimu. Semoga sehat, selamat, lancar dan dimudahkan. Untuk uangmu itu, nanti akan Abang bicarakan lagi dengan kakakmu," ucap laki-laki tiga puluh delapan tahun itu sambil mengulurkan lima lembar ratusan ribu.

"Terima kasih, Bang." Safwan menerima pemberian Yusuf. Lima ratus ribu, masih kurang. Paling sedikit dia butuh satu juta untuk meyakinkan Arlina agar mau ke rumah sakit.

Ia kembali melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi menuju pangkalan ojek. Meminta bantuan teman-temannya, itulah yang ada dipikirannya.

Ah, memang bodoh. Jika saja dia tidak sok pahlawan meminjamkan uang itu kepada Lesti, atau meminjamkan separuh saja, maka tidaklah akan susah seperti ini.

Meminjami orang yang keperluan mendesak itu wajar, tetapi Lesti? Benar kata Arlina, biaya sekolah bukanlah kebutuhan mendadak. Seharusnya sudah disiapkan sejak lama. Lagipula, rata-rata sekolah di sini membolehkan siswa membayar uang pangkal dengan mencicil dalam satu tahun pertama. Hanya gengsi Lesti saja untuk membayar lunas.

"Aku hanya punya segini, Wan. Bawa saja, tidak usah diganti." Satu per satu teman seperjuangan Safwan menyerahkan lembaran rupiah, merah, biru, dan hijau. Seberapa ada yang mereka mampu.

"Saya akan ganti, Bang," ujar Safwan sambil meraih kertas berharga itu.

"Tidak usah, kamu juga selalu membantu saat kami butuh," sahut salah satu di antara mereka.

"Selamat ya, Wan. Semoga dimudahkan. Istri dan anakmu sehat selamat."

"Aamiin."

Safwan memeluk sahabat-sahabatnya penuh haru. Kemudian berpamitan dan kembali melesatkan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.

Kumpulan dana dari belasan sahabatnya lebih dari jumlah minimal yang dia inginkan. Ditambah dengan pemberian Yusuf, cukup baginya membawa Arlina ke rumah sakit.

Dengan penuh harap, ia membelokkan kendaraan menuju rumah ibu mertua, memarkirkan kuda besi itu dengan cepat di sembarang tempat. Namun, rumah itu sunyi. Pintu dan jendela tertutup rapat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status