Safwan melesatkan sepeda motornya menuju rumah Lesti. Meskipun tidak yakin apakah tujuannya itu benar, tetapi dia perlu bertemu dengan kakaknya itu.
"Aku sudah bilang sama Arlina, uangnya sudah tidak ada," sahut Lesti ketika ia menanyakan hutangnya, "Aku memberikan pakaian bayi bekas Alif, dia malah menolak."
"Pakaian bayi sudah ada, Kak. Arlina meminjam dari Kak Arni. Dia hanya butuh uangnya sekarang. Kakak janji waktu itu hanya sebulan."
Safwan yang sejatinya sudah emosi karena cemas, mencoba bicara tenang.
"Iya. Cuma waktu itu lalu ada keperluan. Jadi uangnya terpakai."
"Kakak usahakanlah, karena Arlina benar-benar butuh uangnya. Dia akan melahirkan."
"Kakak bilang uangnya sudah terpakai." Suara Lesti meninggi, mulai kesal karena Safwan yang kukuh menagih.
"Iya. Kakak usahakan bagaimana agar uang itu ada. Pinjam atau apalah. Lagi pula aku tidak yakin uang itu benar-benar habis," sahut Safwan dengan suara yang ikutan meninggi. Dia mulai tidak bisa mengontrol emosi.
Lesti menatap tajam. Hatinya tidak bisa menyangkal ucapan Safwan, bahwa memang uang itu ada. Sebagian dia masukkan ke dalam tabungan. Hanya saja ada rasa sayang dihatinya untuk mengurangi nominal tabungan itu.
"Kakak tidak perlu lunasi dulu, seadanya saja berapa. Yang penting bisa untuk pegangan Arlina di rumah sakit."
"Tidak ada, ya, tidak ada Safwan!" Lesti semakin emosi.
Orang yang bersalah, jika terpojok memang akan cenderung terpancing emosi.
"Kakak jangan zolim. Ingat, Kak, doa orang yang terzolimi itu makbul."
"Kamu mengancam? Mau mendoakan yang buruk? Memangnya kamu mau mendoakan kakak apa?" tanya perempuan itu sambil mengangkat dagu.
"Kamu memang tidak tahu berterima kasih, Safwan. Kamu dipungut orangtuaku sejak bayi, dibesarkan hingga kasih sayang mereka nyaris semua untukmu. Aku tersisih.
Berapa banyak Uang orangtuaku yang habis untuk membesarkanmu, sekarang hanya karena lima juta itu kamu mengancamku?" lanjutnya sembari menatap bengis.
Safwan menghela napas berat. Sejak kecil, Lesti memang tidak pernah menyukainya. Wanita itu cemburu karena merasa dirinya merebut kasih sayang kedua orangtuanya.
Safwan terlahir yatim, dan menjadi piatu pada usia tiga hari. Ibunya adalah adik dari ayah Lesti.
Safwan dibesarkan dan dianggap anak sendiri oleh orangtua Lesti. Mereka yang memang mendambakan anak laki-laki, sangat menyayangi Safwan. Suatu kebetulan pula, mereka tidak pernah lagi diamanahi anak setelah itu. Sehingga kehadiran Safwan kecil benar-benar membawa kebahagiaan untuk mereka.
Beragam cara dilakukan Safwan untuk mencuri kasih sayang Lesti, menunjukkan bahwa dia sangat menyayangi kakaknya itu. Dia menuruti semua keinginan Lesti, termasuk meminjamkan uang milik Arlina. Namun, sayang, sepertinya hati Lesti benar-benar telah tertutup.
"Urusan kita berbeda, Kak. Tidak ada sangkut pautnya dengan Arlina," ucapnya pelan, "Satu yang perlu Kakak ingat, jika sesuatu yang buruk terjadi pada Arlina, aku tidak rela dunia akhirat atas semua ini."
Laki-laki itu melangkah gontai. Hatinya menyesal karena telah bodoh percaya pada wanita yang notabene adalah kakaknya sendiri itu, meskipun bukan kandung.
Dia pikir, sebagai saudara, kakaknya tidak akan tega menahan uangnya apalagi tahu kalau itu adalah untuk persiapan lahiran istrinya. Namun, sepertinya hati sang kakak telah buta.
"Ada apa, Wan?" Di halaman rumah, Yusuf bersama Alif muncul. Sepertinya mereka dari lari pagi.
"Bang." Safwan menatap laki-laki berwajah teduh itu. Harapan baru muncul.
"Sepertinya cemas?" Yusuf menelisik wajah Safwan.
"Arlina akan melahirkan, Bang."
"Terus?"
"Uang persiapan lahiran Arlina dipinjam Kak Lesti."
"Berapa?"
"Lima juta."
"Astagfirullah." Yusuf mengusap wajah kasar, "Sebentar," ucapnya lalu melangkah lebar menuju rumah.
Terdengar seruan cukup keras laki-laki itu kepada Lesti. Lalu terdengar suara keduanya sahut menyahut cukup kencang.
Beberapa saat senyap, tidak berapa lama Yusuf keluar menemui Safwan.
"Maaf, Wan. Abang tidak tahu kalau kakakmu pinjam uang kalian. Abang pun tidak bisa ganti karena semua gaji dia yang pegang. Abang hanya pegang uang bensin saja. Ini kamu bawalah, dari Abang pribadi untuk istrimu. Semoga sehat, selamat, lancar dan dimudahkan. Untuk uangmu itu, nanti akan Abang bicarakan lagi dengan kakakmu," ucap laki-laki tiga puluh delapan tahun itu sambil mengulurkan lima lembar ratusan ribu.
"Terima kasih, Bang." Safwan menerima pemberian Yusuf. Lima ratus ribu, masih kurang. Paling sedikit dia butuh satu juta untuk meyakinkan Arlina agar mau ke rumah sakit.
Ia kembali melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi menuju pangkalan ojek. Meminta bantuan teman-temannya, itulah yang ada dipikirannya.
Ah, memang bodoh. Jika saja dia tidak sok pahlawan meminjamkan uang itu kepada Lesti, atau meminjamkan separuh saja, maka tidaklah akan susah seperti ini.
Meminjami orang yang keperluan mendesak itu wajar, tetapi Lesti? Benar kata Arlina, biaya sekolah bukanlah kebutuhan mendadak. Seharusnya sudah disiapkan sejak lama. Lagipula, rata-rata sekolah di sini membolehkan siswa membayar uang pangkal dengan mencicil dalam satu tahun pertama. Hanya gengsi Lesti saja untuk membayar lunas.
"Aku hanya punya segini, Wan. Bawa saja, tidak usah diganti." Satu per satu teman seperjuangan Safwan menyerahkan lembaran rupiah, merah, biru, dan hijau. Seberapa ada yang mereka mampu.
"Saya akan ganti, Bang," ujar Safwan sambil meraih kertas berharga itu.
"Tidak usah, kamu juga selalu membantu saat kami butuh," sahut salah satu di antara mereka.
"Selamat ya, Wan. Semoga dimudahkan. Istri dan anakmu sehat selamat."
"Aamiin."
Safwan memeluk sahabat-sahabatnya penuh haru. Kemudian berpamitan dan kembali melesatkan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.
Kumpulan dana dari belasan sahabatnya lebih dari jumlah minimal yang dia inginkan. Ditambah dengan pemberian Yusuf, cukup baginya membawa Arlina ke rumah sakit.
Dengan penuh harap, ia membelokkan kendaraan menuju rumah ibu mertua, memarkirkan kuda besi itu dengan cepat di sembarang tempat. Namun, rumah itu sunyi. Pintu dan jendela tertutup rapat.
#24Riwayat diabetes gestasional yang di alami Lesti berdampak cukup buruk. Ia mengalami eklamsia berat.Berbagai masalah yang terjadi, membuat Lesti terpukul dan stres. Hal ini memperparah kondisinya. Lesti mengalami kejang saat kontraksi dan tidak tertolong. "Maafkan papa, Ma." Sekuat tenaga Yusuf menahan air mata agar tidak tumpah ketika menaburkan air bunga di atas tempat peristirahatan terakhir Lesti. Berulang kali laki-laki itu menarik napas, mencoba melepaskan sesuatu yang menyesak di dada. Sesuatu yang terasa teramat sakit karena ada yang direnggut secara paksa, menyisakan ruang hampa yang membuatnya perih oleh kerinduan. Rindu yang tidak akan ada ujungnya. "Maafkan papa ...," ucapnya lagi. Kali ini air mata itu tak terbendung. Ia tergugu pilu di atas dua pusara dari dua wanita yang pergi secara bersama-sama. Tubuhnya berguncang. "Papa mencintai Mama, papa rindu ...." Terbayang olehnya pengkhianatan yang dulu ia lakukan, semakin membuat tubuh kuyunya berguncang. Penyesala
"Ma ...." Yusuf bergegas ketika netranya mendapati Lesti duduk di kursi ruang kunjung tahanan. "Mengapa baru datang, Ma. Papa menunggu sejak kemarin-kemarin," ucapnya cengeng. Ia tampak tertekan, frustrasi. Rautnya kusut. Gurat-gurat lelah terukir di sana. Matanya terlihat lebih cekung. Sinarnya pudar. Rahangnya tak lagi kokoh. Hampir dua bulan ia menjalani penyelidikan, dan besok adalah sidang pertamanya. "Maaf, Pa. Kondisi mama tidak baik," sahut wanita itu lemah. Wajahnya terlihat kuyu, pucat dan lemah, "Mama diminta bedrest oleh dokter.""Tolong papa, Ma. Carikan pengacara. Papa tidak mau lama-lama di sini. Papa tersiksa." Alih-alih menanyakan kabar Lesti yang sedang tidak baik, Yusuf meraih tangan wanita itu, lalu menggenggamnya erat. Netranya menyorot sendu, memelas. Lesti menarik napas berat, "Pengacara?""Iya, Ma. Pengacara yang handal. Yang bisa membantu papa keluar dari sini. Papa tidak tahan di sini, Ma. Penghuni yang lain kejam-kejam. Mereka tidak menyukai papa. Awal-aw
Kirana menapak pelan pada reruntuhan puing yang menghitam, mencari jejak benda berharga yang mungkin masih bisa terselamatkan. Namun, nihil. Sang jago merah telah melalap semuanya kemarin. Hanya menyisakan pecahan tembok dan bahan yang tak bisa terbakar. Sementara berbagai surat menyurat penting, ijazah, atau sertifikat rumah lenyap tak berjejak. Bahkan perhiasan yang dulu diberikan Yusuf tidak dapat ia temukan. Wanita muda itu menggeram kesal. "Argh!" Ia meraup patahan material yang terjangkau, lalu membantingnya kasar, menguarkan abu yang membuat pekat area sekitar. Haruskah pengorbanannya berakhir sia-sia? Gadis itu merasakan sesuatu menggumpal di dadanya. Ia butuh pelampiasan untuk memecahkan gumpalan itu. Akan tetapi, mau marah pada siapa?"Sudahlah, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Paling tidak tanah ini masih tersisa untuk kita miliki," ucap Iriana. Padahal ia pun sama geramnya. Belum berapa lama semua itu dinikmati, harus ludes tak bersisa. "Tapi surat-surat pentin
"Kak."Safwan menatap kakak angkatnya yang kini berbaring lemah di ruang keluarga rumah orangtua mereka itu. Nurherita telah meletakkan kasur lantai di sana sebagai alas wanita itu beristirahat. Ia baru saja pulang dari rumah sakit.Perlahan laki-laki itu mendekat, kemudian duduk merendahkan diri di samping Lesti. Arlina mengikuti di sampingnya, meletakkan satu kantong berisi beberapa jenis buah.Lesti bergeming. Tidak sedikit pun menoleh pada sosok yang ia benci selama ini. Sosok yang ia yakini telah merampas kasih sayang kedua orangtuanya. Dia yang dibesarkan sejak kecil sebagai anak tunggal, dengan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya, tiba-tiba harus berbagi dengan Safwan kecil, sosok yang selalu merebut perhatian Nurherita karena tangisnya. "Apa kabar, Kak?" Arlina memulai kata. Namun, hening yang menjawab. Lesti enggan berucap. Kedua suami istri itu menghela napas, saling berpandangan tak nyaman. Meskipun mereka sudah menduga sebelumnya akan mendapat perlakuan seperti
Lesti masuk kembali ke dalam rumah dengan rasa sesak di dada. Air mata tak putus mengalir. Tubuhnya berguncang karena sesenggukan. Hatinya nelangsa, mengapa hidupnya harus se-menyedihkan ini? Dosa besar apa yang telah ia lakukan sehingga harus mendapatkan hukuman seperti ini. Wanita itu mengusap pelan jejak basah di pipi. "Kemaskan pakaian dan barang-barangmu, Sayang," ucapnya kepada Alif. Anak itu ia larang untuk ke sekolah sejak Yusuf di tahan. Ia takut Alif akan mendapat perundungan dari teman-temannya."Kita harus pergi. Rumah ini bukan milik kita lagi," lanjutnya parau. "Iya, Ma," sahut Alif sambil mengangguk. Ia sudah paham apa yang terjadi. Bahwa laki-laki yang selama ini dia banggakan, terlibat kasus tindak pidana korupsi. Lesti sendiri menuju kamar utama. Tempat penuh kenangan indah bersama Yusuf sebelum prahara mengguncang rumah tangga mereka. Wanita itu mengemas barang pribadi miliknya, juga Yusuf.Tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini, bahwa semua akan berakhir s
"Bang, lihat hiasan kue ulang tahunnya, lucu 'kan?" ujar Arlina sambil menunjukkan ponsel jadulnya pada Safwan. "Iya," sahut Safwan sambil memerhatikan. Ada album kumpulan kue ulang tahun di salah satu akun facebook. Seperti biasa, jelang tidur keduanya berbincang terlebih dahulu. "Aku mau ambil usaha ini, Bang. Boleh, gak?""Hah?" Safwan sedikit terperangah. Ia tidak menyangka jika pembicaraan istrinya mengarah ke sana. "Boleh gak?""Nanti kamu kecapekan. Lukamu bagaimana?""Lukaku Insyaallah sudah gak sakit lagi, Bang. 'Kan sudah dua bulan lebih.""Iya, tapi tetap harus dijaga. Kata orang, habis sesar itu gak boleh capek, gak boleh angkat berat.""Insyaallah aku gak capek, Bang. Aku akan takar sampai di mana batas kemampuan aku. Gak akan memaksakan diri dengan terima orderan banyak di luar kemampuan.""Kenapa harus kerja, sih? Biar abang saja yang kerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan kita.""Bukan sekedar uang. Aku bosan kalau setiap hari di rumah gak ada kegiatan, Ban