"Bagaimana, Dek?" Safwan menatap wajah kesal istrinya penuh tanya.
"Apanya yang bagaimana?" jawab Arlina ketus.
"Kak Lesti bayar hutangnya?" tanyanya lagi. Jawaban ketus istrinya barusan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hatinya.
"Menurut, Abang?" Wanita itu menatap sinis. Rautnya masam. Hingga Safwan menelan ludah pahit karenanya.
"Ayo, pulang!" Arlina menghenyakkan tubuh pada jok sepeda motor dengan kesal.
Tangannya meremas pelan perut yang mulai terasa sering sakit. Bibirnya mendesis. Air mata mengalir begitu saja, antara menahan sakit di perut dan sakit di hati.
Setiba di rumah, ia bergegas turun. Melangkah lebar-lebar, abai dengan kondisi yang sebenarnya sangat kepayahan.
"Hati-hati, Dek." Safwan mengejar khawatir. Berusaha merangkul pundak istrinya untuk menuntun. Namun, perempuan itu lekas menepis.
"Kita mau ke bidan apa ke rumah sakit?" tanyanya ketika Arlina meraih tas perlengkapan lahiran yang sudah dikemas beberapa hari lalu. Segera ia mengambil alih benda itu dari tangan istrinya.
"Antarkan ke rumah Umak," jawab Arlina datar.
"Kenapa ke rumah Umak?" tanya Safwan bingung. Alisnya bertaut.
Tak menjawab, perempuan itu melangkah tak acuh menuju sepeda motor.
"Dek?"
"Ayolah, cepatan. Perutku sakit!"
"Lalu kenapa ke rumah Umak? Kamu mau melahirkan."
"Aku mau melahirkan di rumah Umak."
"Di sana ada bidan?"
"Apa Abang ada uang untuk bayar bidan?"
"Kalau begitu kita ke puskesmas, pakai BPJS."
"Hari minggu, puskesmas tutup."
"Kalau begitu UGD rumah sakit saja."
"Abang pikir cukup hanya berbekal BPJS ke rumah sakit? Dulu sewaktu Umak masuk rumah sakit, ada obat-obat yang tidak ditanggung BPJS, ada juga yang kebetulan habis di apotik rumah sakit sehingga harus beli di luar. Belum lagi pasti ada saja keperluan tidak terduga di sana."
Safwan mencelos. Wajahnya seketika memucat, menyadari betapa pentingnya uang yang dulu ia pinjamkan kepada kakaknya.
"Tapi Abang khawatir kondisimu, Dek," ucapnya penuh rasa bersalah. Netranya berkabut melihat Arlina yang acap meringis memegang perut.
"Harusnya Abang berpikir sejak awal bahwa keperluan orang melahirkan itu banyak. Jadi perlu persiapan dana. Aku sudah menyiapkannya sejak lama, seenaknya Abang kasihkan kepada keluarga Abang. Keluarga Abang itu memang tidak peduli, datang kalau sedang butuh saja. Kalau tidak butuh, lupa. Senangnya menggerogoti. Jadi sekarang, biarkan aku dengan keluargaku. Mereka peduli padaku."
Arlina terisak meluahkan kekesalan di hatinya.
"Maafkan, abang, Dek." Safwan memegang tangan istrinya. Air matanya perlahan lolos. Rasa bersalah dan khawatir berpadu.
"Giliran menagih, Abang tidak mau. Seolah tidak peduli bahwa istrinya akan melahirkan, akan bertaruh nyawa mengantar anaknya ke dunia," isak perempuan itu pilu.
Hatinya benar-benar kecewa, "Sekarang mau antar aku ke rumah Umak, gak? Atau aku harus bayar ojek?"
Safwan tercekat. Getir, ia men-starter sepeda motor bebeknya, meletakkan tas perlengkapan bayi di depan, lalu menunggu Arlina duduk sempurna sebelum melaju.
"Kalau di sini, siapa yang akan membantu kelahiran, Dek," tanyanya pelan. Melangkah perlahan, ia menggandeng istrinya yang semakin kepayahan menuju pintu masuk rumah mertua.
"Ada Bude Barokah."
"Bidan kampung? Apa gak apa-apa, Dek?"
"Mau bagaimana lagi?" Arlina berucap dingin. Bersikap tak acuh.
Hati Safwan terasa membeku. Laki-laki itu gamang. Kondisi perempuan yang sedang di ambang perjuangan mengantar benihnya ke dunia itu tampak lemah.
"Kita ke rumah sakit saja ya, Dek. Nanti kamu ditemani Umak dulu, Abang cari uangnya. Abang janji," bujuknya. Berharap Arlina berlembut hati menerima.
"Gak. Aku gak akan ke rumah sakit sebelum ada uangnya. Iya kalau Abang dapat uangnya, kalau enggak?"
"Tapi Abang khawatir, Dek."
"Khawatir kenapa?"
"Bagaimana jika kamu gak kuat?"
"Ya biar saja. Abang 'kan gak peduli. Sudah tahu istrinya hamil, uang persiapan lahiran malah dipinjamkan semuanya. Biar aku mati melahirkan sekalian. Supaya Abang tahu rasanya."
"Dek!" Laki-laki itu lemah. Hatinya tersaruk-saruk membayangkan ucapan perempuan di depannya itu menjadi kenyataan. Cairan bening begitu saja deras mengalir dari sudut netra,
"Jangan ngomong begitu, Abang minta maaf," ucapnya serak.
Arlina tak acuh. Hatinya masih gusar, baik kepada suaminya, juga kepada Lesti. Langkahnya gontai menuju pintu masuk.
"Assalamualaikum," ucapnya pelan. Energinya hampir habis, terkuras oleh emosi yang masih bertahan.
"Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam. Tidak berapa lama, seorang perempuan paruh baya muncul.
"Nak," sambut perempuan itu langsung memeluk dan menciumi Arlina penuh haru, lalu menggandeng wanita itu ke salah satu kamar. Sementara Safwan kembali menuju sepeda motornya, mengambil tas yang masih tertinggal di sana.
Mak Yati, ibunda Arlina segera menyiapkan tikar untuk putrinya, lalu meminta perempuan itu berbaring dengan kondisi siap lahiran.
Di kamar itu, sudah menunggu seorang perempuan lanjut usia yang masih tampak segar. Beliau, yang Arlina sebut Bude Barokah.
Lembut, ia mengusap wajah Arlina, meraba perut, juga tangan.
"Kondisinya lemah," ujarnya pelan.
"Apa tidak sebaiknya dibawa ke klinik saja. Takutnya tidak kuat mengejan nanti," lanjutnya sambil menatap Safwan.
Laki-laki itu menghela napas berat, lalu duduk di samping Arlina. Meraih tangan istrinya, ia mendekatkan wajah pada wanita itu.
"Kita ke rumah sakit ya, Dek," bujuknya parau.
"Enggak," Arlina menjawab ketus.
"Abang akan cari uangnya."
"Abang mau cari di mana? Aku gak mau punya hutang," sahutnya lemah.
"Abang yang tanggung jawab. Insya Allah."
"Aku gak mau ke rumah sakit kalau uangnya belum ada."
"Dek, jangan menyiksa diri sendiri. Abang khawatir."
"Biarin," perempuan itu menyentak tangan dari genggaman suaminya.
Safwan kembali menghela napas berat.
"Kalau begitu tunggu, ya. Janji, kamu harus kuat. Abang cari uangnya. Abang akan kembali secepatnya," ucap laki-laki itu sambil mencium kening Arlina. Matanya berkabut,
"Kuat ya, Sayang." Ia mengusap pelan pucuk kepala istrinya, lalu beranjak.
"Saya titip Arlina ya, Mak," ucapnya pada ibu mertua yang duduk tidak jauh darinya. Perempuan paruh baya itu menjawab dengan anggukan.
Safwan melesatkan sepeda motornya menuju rumah Lesti. Meskipun tidak yakin apakah tujuannya itu benar, tetapi dia perlu bertemu dengan kakaknya itu."Aku sudah bilang sama Arlina, uangnya sudah tidak ada," sahut Lesti ketika ia menanyakan hutangnya, "Aku memberikan pakaian bayi bekas Alif, dia malah menolak.""Pakaian bayi sudah ada, Kak. Arlina meminjam dari Kak Arni. Dia hanya butuh uangnya sekarang. Kakak janji waktu itu hanya sebulan."Safwan yang sejatinya sudah emosi karena cemas, mencoba bicara tenang."Iya. Cuma waktu itu lalu ada keperluan. Jadi uangnya terpakai.""Kakak usahakanlah, karena Arlina benar-benar butuh uangnya. Dia akan melahirkan.""Kakak bilang uangnya sudah terpakai." Suara Lesti meninggi, mulai kesal karena Safwan yang kukuh menagih."Iya. Kakak usahakan bagaimana agar uang itu ada. Pinjam atau apalah. Lagi
Safwan tercekat, menatap nanar rumah yang bagai tak berpenghuni itu. Sejenak ia terpaku, sebelum akhirnya tersadar dan tergesa menuju sepeda motornya kembali."Ada apa, Wan?" Pipit--tetangga tepat samping rumah menyapa."Mmm ... tahu mereka pada ke mana, Kak?" Safwan bertanya khawatir."Lho, kamu belum tahu? Bukannya tadi mengantar istrimu mau melahirkan?""Kemana, Kak?" Laki-laki itu panik. Apa yang terjadi pada Arlina? Jantungnya berdegup kencang. Takut sesuatu yang buruk terjadi."Bagaimana, sih? Istri melahirkan, suami tidak tahu." Bukannya menjawab, perempuan tambun itu justru berucap yang membuat panas telinga Safwan. Padahal dia sedang butuh informasi."Kakak tahu Arlina dibawa kemana?" tanyanya tidak sabar."Ya ke rumah sakitlah. Masa ke pasar. Tadi kabarnya pingsan beberapa kali. Jadi Mak Yati minta tolong suami saya mengantar ke
“Ma ..., sudah siap belum?”Di sudut bumi yang lain, Lesti sedang mematut dirinya di depan cermin, mengaplikasikan kuas dan spons make up pada wajah, fitting beberapa stel baju. Lalu memutuskan mengenakan model terbaru yang sedang trend.“Sebentar lagi, Pa ...!” serunya dari dalam kamar. Sementara Yusuf dan Alif sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu.“Lama sekali!” seru laki-laki itu tidak sabar.“Mama ‘kan harus tampil cantik, Pa,” ucap Lesti. Wanita itu sudah berdiri di depan yusuf.“Gimana?” tanyanya sambil bergaya memutar badan, memamerkan outfit yang dia kenakan. Gaun panjang yang pres di badan. Meskipun bawahan dan lengan panjang, tetapi model baju sempurna menunjukkan bentuk indah tubuhnya. Ditambah lagi, jilbab yang dia kenakan hanya pasmina yang melilit di leher.“Cantik, Ma. K
Safwan menyusut air mata mengantar tubuh Arlina yang didorong masuk ke ruang operasi. Hatinya luruh."Abang ridho atasmu, Sayang. Berjanjilah kamu akan kuat. Berjuanglah," lirihnya sambil mencium wajah pucat yang terpejam.Beberapa lama ia terpaku di ruang tunggu bedah central, kemudian memutuskan keluar."Saya ke sana dulu, Mak," pamitnya pada ibu mertua yang duduk di kursi lorong rumah sakit tidak jauh dari ruang bedah. Perempuan senja itu tampak tak henti mengusap pipi. Bibirnya selalu bergetar, melirihkan berbait doa untuk keselamatan putri bungsu tercinta."Ya," sahutnya sambil mengangguk lemah.Safwan melangkah gontai, netranya menatap plang penunjuk arah. Yang dia cari adalah musholla. Ia butuh bicara kepada Sang Pencipta, meminta agar Arlina baik-baik saja. Tidak dapat ia bayangkan jika wanita itu harus pergi. Hatinya tidak sanggup. Kondisi sang istri da
Safwan melangkah gontai, beberapa kali ia mengusap wajah dengan gusar, mengusir kabut yang menyungkup netra.Kakinya terasa berat terangkat ketika memasuki area kamar jenazah. Ia mencelos saat menatap salah satu bed, satu tubuh mungil ditutup selimut putih terbujur kaku di sana. Laki-laki itu mendekat perlahan. Sontak ia tergugu."Bangun, Nak," lirihnya, "Ayah bahkan belum mendengar kamu menangis. Menangislah yang kencang, ayah tidak akan marah. Jangan diam saja."Laki-laki itu menelungkupkan wajah di samping tubuh beku yang baru saja hadir ke dunia itu. Tubuhnya berguncang. Isaknya pilu meratapi buah hati yang belum sempat melihat indahnya dunia itu. Hatinya remuk. Jiwanya nelangsa.Setelah cukup lama menangis, ia menguatkan diri mengangkat wajah. Tangannya bergetar membuka kain yang menyelimuti buah hatinya itu.Seraut wajah mungil nan damai menyambut ketika kain itu tera
Yusuf terus berkelit ketika Lesti berusaha meraih ponsel pintarnya, "Papa mau ke kamar mandi, kebelet sejak tadi," ucapnya dan begitu saja ia gegas berlalu."Masa ke kamar mandi bawa hp?" Lesti merengut kesal. Namun, Yusuf tidak memedulikan."Tuh lihat, baterainya sudah merah begini," ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.Ia menyodorkan benda pipih persegi panjang itu pada Lesti, "Kalau dipakai pas baterai lemah, nanti cepat rusak," dalihnya."Heleh, Papa setiap triwulan juga tukar hp yang baru. Rusak pun tidak apa dan tidak akan seberapa.""Gak triwulan lagi sekarang, Ma. Caturwulan.""Beda satu bulan saja. Sinikan hp-nya. Mama pinjam."Yusuf mengulurkan gawai berbentuk persegi panjangnya itu, pun dengan sedikit kesal. Lesti kalau sudah maunya, tidak akan bisa ditahan.Sambil menyandar di pucuk r
"Ingat kata dokter. Mama jangan capek, jangan banyak pikiran," ujar Yusuf. Pagi ini dia mengenakan seragam pemda kebesarannya. Sebenarnya penampilannya sudah rapi. Namun, ia masih mematut diri di depan cermin. Tangannya masih sibuk menarik ulur bagian baju yang tampak kurang rapi, atau menyisir rambut untuk yang kesekian kali.Baju yang Yusuf kenakan press membungkus tubuh, menampilkan gurat ototnya yang atletis. Lengan baju yang menempel ketat, memperlihatkan bentukan otot tangan yang kekar. Pria itu benar-benar terlihat sangat macho di usianya yang matang.Sifat Yusuf yang mudah bergaul, supel dan luwes menambah nilai plus sosoknya di mata para rekan kerja, baik pria maupun wanita.Dia pun pandai berkelakar, hangat saat mengajar. Sehingga sampai saat ini, meskipun sudah menjabat sebagai kepala sekolah, Yusuf tetap menjadi guru idola para siswa.Hanya satu nilai negatif yang
Dada Lesti bergemuruh ketika mendapati Iriana menyambut Yusuf sembari tersenyum lebar. Meskipun dalam jarak beberapa meter, terlihat sekali perempuan itu begitu semringah. Sudut bibirnya terangkat sempurna, menampakkan giginya yang putih. Napas Lesti memburu. Iriana adalah teman yang sama bobroknya dengan dirinya. Sama-sama di-drop out saat kuliah. Bahkan lebih buruk karena tidak bisa mengontrol diri. Dia sering menghabiskan malam bersama pacarnya hingga hamil. Memasuki usia 20 tahun, perempuan itu menikah. Namun, tidak berselang lama rumah tangganya kandas. Selama ini kehidupan Iriana cukup memprihatinkan. Sebagai teman dekat, Lesti selalu ada. Tak segan ia membantu dalam hal finansial. Memberikan uang secara percuma dengan basa basi untuk jajan Kirana, putri Iriana. Sejauh itu ia berbuat untuk sahabatnya, begini balasan yang ia terima?Lesti memegang dada, merasakan nyeri yang tiba-tiba mendera di sana. Ia terkulai lemas di atas sepeda motor, menelungkup pada stang. Napasnya memb