Share

Bagian 3

last update Last Updated: 2022-03-08 20:52:42

"Bagaimana, Dek?" Safwan menatap wajah kesal istrinya penuh tanya.

"Apanya yang bagaimana?" jawab Arlina ketus.

"Kak Lesti bayar hutangnya?" tanyanya lagi. Jawaban ketus istrinya barusan menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hatinya.

"Menurut, Abang?" Wanita itu menatap sinis. Rautnya masam. Hingga Safwan menelan ludah pahit karenanya.

"Ayo, pulang!" Arlina menghenyakkan tubuh pada jok sepeda motor dengan kesal.

Tangannya meremas pelan perut yang mulai terasa sering sakit. Bibirnya mendesis. Air mata mengalir begitu saja, antara menahan sakit di perut dan sakit di hati.

Setiba di rumah, ia bergegas turun. Melangkah lebar-lebar, abai dengan kondisi yang sebenarnya sangat kepayahan.

"Hati-hati, Dek." Safwan mengejar khawatir. Berusaha merangkul pundak istrinya untuk menuntun. Namun, perempuan itu lekas menepis.

"Kita mau ke bidan apa ke rumah sakit?" tanyanya ketika Arlina meraih tas perlengkapan lahiran yang sudah dikemas beberapa hari lalu. Segera ia mengambil alih benda itu dari tangan istrinya.

"Antarkan ke rumah Umak," jawab Arlina datar.

"Kenapa ke rumah Umak?" tanya Safwan bingung. Alisnya bertaut.

Tak menjawab, perempuan itu melangkah tak acuh menuju sepeda motor.

"Dek?"

"Ayolah, cepatan. Perutku sakit!"

"Lalu kenapa ke rumah Umak? Kamu mau melahirkan."

"Aku mau melahirkan di rumah Umak."

"Di sana ada bidan?"

"Apa Abang ada uang untuk bayar bidan?"

"Kalau begitu kita ke puskesmas, pakai BPJS."

"Hari minggu, puskesmas tutup."

"Kalau begitu UGD rumah sakit saja."

"Abang pikir cukup hanya berbekal BPJS ke rumah sakit? Dulu sewaktu Umak masuk rumah sakit, ada obat-obat yang tidak ditanggung BPJS, ada juga yang kebetulan habis di apotik rumah sakit sehingga harus beli di luar. Belum lagi pasti ada saja keperluan tidak terduga di sana."

Safwan mencelos. Wajahnya seketika memucat, menyadari betapa pentingnya uang yang dulu ia pinjamkan kepada kakaknya.

"Tapi Abang khawatir kondisimu, Dek," ucapnya penuh rasa bersalah. Netranya berkabut melihat Arlina yang acap meringis memegang perut.

"Harusnya Abang berpikir sejak awal bahwa keperluan orang melahirkan itu banyak. Jadi perlu persiapan dana. Aku sudah menyiapkannya sejak lama, seenaknya Abang kasihkan kepada keluarga Abang. Keluarga Abang itu memang tidak peduli, datang kalau sedang butuh saja. Kalau tidak butuh, lupa. Senangnya menggerogoti. Jadi sekarang, biarkan aku dengan keluargaku. Mereka peduli padaku." 

Arlina terisak meluahkan kekesalan di hatinya.

"Maafkan, abang, Dek." Safwan memegang tangan istrinya. Air matanya perlahan lolos. Rasa bersalah dan khawatir berpadu.

"Giliran menagih, Abang tidak mau. Seolah tidak peduli bahwa istrinya akan melahirkan, akan bertaruh nyawa mengantar anaknya ke dunia," isak perempuan itu pilu. 

Hatinya benar-benar kecewa, "Sekarang mau antar aku ke rumah Umak, gak? Atau aku harus bayar ojek?"

Safwan tercekat. Getir, ia men-starter sepeda motor bebeknya, meletakkan tas perlengkapan bayi di depan, lalu menunggu Arlina duduk sempurna sebelum melaju.

"Kalau di sini, siapa yang akan membantu kelahiran, Dek," tanyanya pelan. Melangkah perlahan, ia menggandeng istrinya yang semakin kepayahan menuju pintu masuk rumah mertua.

"Ada Bude Barokah."

"Bidan kampung? Apa gak apa-apa, Dek?"

"Mau bagaimana lagi?" Arlina berucap dingin. Bersikap tak acuh.

Hati Safwan terasa membeku. Laki-laki itu gamang. Kondisi perempuan yang sedang di ambang perjuangan mengantar benihnya ke dunia itu tampak lemah.

"Kita ke rumah sakit saja ya, Dek. Nanti kamu ditemani Umak dulu, Abang cari uangnya. Abang janji," bujuknya. Berharap Arlina berlembut hati menerima.

"Gak. Aku gak akan ke rumah sakit sebelum ada uangnya. Iya kalau Abang dapat uangnya, kalau enggak?"

"Tapi Abang khawatir, Dek."

"Khawatir kenapa?"

"Bagaimana jika kamu gak kuat?"

"Ya biar saja. Abang 'kan gak peduli. Sudah tahu istrinya hamil, uang persiapan lahiran malah dipinjamkan semuanya. Biar aku mati melahirkan sekalian. Supaya Abang tahu rasanya."

"Dek!" Laki-laki itu lemah. Hatinya tersaruk-saruk membayangkan ucapan perempuan di depannya itu menjadi kenyataan. Cairan bening begitu saja deras mengalir dari sudut netra, 

"Jangan ngomong begitu, Abang minta maaf," ucapnya serak.

Arlina tak acuh. Hatinya masih gusar, baik kepada suaminya, juga kepada Lesti. Langkahnya gontai menuju pintu masuk.

"Assalamualaikum," ucapnya pelan. Energinya hampir habis, terkuras oleh emosi yang masih bertahan.

"Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam. Tidak berapa lama, seorang perempuan paruh baya muncul.

"Nak," sambut perempuan itu langsung memeluk dan menciumi Arlina penuh haru, lalu menggandeng wanita itu ke salah satu kamar. Sementara Safwan kembali menuju sepeda motornya, mengambil tas yang masih tertinggal di sana.

Mak Yati, ibunda Arlina segera menyiapkan tikar untuk putrinya, lalu meminta perempuan itu berbaring dengan kondisi siap lahiran.

Di kamar itu, sudah menunggu seorang perempuan lanjut usia yang masih tampak segar. Beliau, yang Arlina sebut Bude Barokah.

Lembut, ia mengusap wajah Arlina, meraba perut, juga tangan.

"Kondisinya lemah," ujarnya pelan.

"Apa tidak sebaiknya dibawa ke klinik saja. Takutnya tidak kuat mengejan nanti," lanjutnya sambil menatap Safwan.

Laki-laki itu menghela napas berat, lalu duduk di samping Arlina. Meraih tangan istrinya, ia mendekatkan wajah pada wanita itu.

"Kita ke rumah sakit ya, Dek," bujuknya parau.

"Enggak," Arlina menjawab ketus.

"Abang akan cari uangnya."

"Abang mau cari di mana? Aku gak mau punya hutang," sahutnya lemah.

"Abang yang tanggung jawab. Insya Allah."

"Aku gak mau ke rumah sakit kalau uangnya belum ada."

"Dek, jangan menyiksa diri sendiri. Abang khawatir."

"Biarin," perempuan itu menyentak tangan dari genggaman suaminya.

Safwan kembali menghela napas berat.

"Kalau begitu tunggu, ya. Janji, kamu harus kuat. Abang cari uangnya. Abang akan kembali secepatnya," ucap laki-laki itu sambil mencium kening Arlina. Matanya berkabut, 

"Kuat ya, Sayang." Ia mengusap pelan pucuk kepala istrinya, lalu beranjak.

"Saya titip Arlina ya, Mak," ucapnya pada ibu mertua yang duduk tidak jauh darinya. Perempuan paruh baya itu menjawab dengan anggukan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang   Bagian 27. Roda Berputar

    #24Riwayat diabetes gestasional yang di alami Lesti berdampak cukup buruk. Ia mengalami eklamsia berat.Berbagai masalah yang terjadi, membuat Lesti terpukul dan stres. Hal ini memperparah kondisinya. Lesti mengalami kejang saat kontraksi dan tidak tertolong. "Maafkan papa, Ma." Sekuat tenaga Yusuf menahan air mata agar tidak tumpah ketika menaburkan air bunga di atas tempat peristirahatan terakhir Lesti. Berulang kali laki-laki itu menarik napas, mencoba melepaskan sesuatu yang menyesak di dada. Sesuatu yang terasa teramat sakit karena ada yang direnggut secara paksa, menyisakan ruang hampa yang membuatnya perih oleh kerinduan. Rindu yang tidak akan ada ujungnya. "Maafkan papa ...," ucapnya lagi. Kali ini air mata itu tak terbendung. Ia tergugu pilu di atas dua pusara dari dua wanita yang pergi secara bersama-sama. Tubuhnya berguncang. "Papa mencintai Mama, papa rindu ...." Terbayang olehnya pengkhianatan yang dulu ia lakukan, semakin membuat tubuh kuyunya berguncang. Penyesala

  • Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang   Bagian 26

    "Ma ...." Yusuf bergegas ketika netranya mendapati Lesti duduk di kursi ruang kunjung tahanan. "Mengapa baru datang, Ma. Papa menunggu sejak kemarin-kemarin," ucapnya cengeng. Ia tampak tertekan, frustrasi. Rautnya kusut. Gurat-gurat lelah terukir di sana. Matanya terlihat lebih cekung. Sinarnya pudar. Rahangnya tak lagi kokoh. Hampir dua bulan ia menjalani penyelidikan, dan besok adalah sidang pertamanya. "Maaf, Pa. Kondisi mama tidak baik," sahut wanita itu lemah. Wajahnya terlihat kuyu, pucat dan lemah, "Mama diminta bedrest oleh dokter.""Tolong papa, Ma. Carikan pengacara. Papa tidak mau lama-lama di sini. Papa tersiksa." Alih-alih menanyakan kabar Lesti yang sedang tidak baik, Yusuf meraih tangan wanita itu, lalu menggenggamnya erat. Netranya menyorot sendu, memelas. Lesti menarik napas berat, "Pengacara?""Iya, Ma. Pengacara yang handal. Yang bisa membantu papa keluar dari sini. Papa tidak tahan di sini, Ma. Penghuni yang lain kejam-kejam. Mereka tidak menyukai papa. Awal-aw

  • Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang   Bagian 25

    Kirana menapak pelan pada reruntuhan puing yang menghitam, mencari jejak benda berharga yang mungkin masih bisa terselamatkan. Namun, nihil. Sang jago merah telah melalap semuanya kemarin. Hanya menyisakan pecahan tembok dan bahan yang tak bisa terbakar. Sementara berbagai surat menyurat penting, ijazah, atau sertifikat rumah lenyap tak berjejak. Bahkan perhiasan yang dulu diberikan Yusuf tidak dapat ia temukan. Wanita muda itu menggeram kesal. "Argh!" Ia meraup patahan material yang terjangkau, lalu membantingnya kasar, menguarkan abu yang membuat pekat area sekitar. Haruskah pengorbanannya berakhir sia-sia? Gadis itu merasakan sesuatu menggumpal di dadanya. Ia butuh pelampiasan untuk memecahkan gumpalan itu. Akan tetapi, mau marah pada siapa?"Sudahlah, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Paling tidak tanah ini masih tersisa untuk kita miliki," ucap Iriana. Padahal ia pun sama geramnya. Belum berapa lama semua itu dinikmati, harus ludes tak bersisa. "Tapi surat-surat pentin

  • Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang   Bagian 24

    "Kak."Safwan menatap kakak angkatnya yang kini berbaring lemah di ruang keluarga rumah orangtua mereka itu. Nurherita telah meletakkan kasur lantai di sana sebagai alas wanita itu beristirahat. Ia baru saja pulang dari rumah sakit.Perlahan laki-laki itu mendekat, kemudian duduk merendahkan diri di samping Lesti. Arlina mengikuti di sampingnya, meletakkan satu kantong berisi beberapa jenis buah.Lesti bergeming. Tidak sedikit pun menoleh pada sosok yang ia benci selama ini. Sosok yang ia yakini telah merampas kasih sayang kedua orangtuanya. Dia yang dibesarkan sejak kecil sebagai anak tunggal, dengan kasih sayang yang utuh dari kedua orangtuanya, tiba-tiba harus berbagi dengan Safwan kecil, sosok yang selalu merebut perhatian Nurherita karena tangisnya. "Apa kabar, Kak?" Arlina memulai kata. Namun, hening yang menjawab. Lesti enggan berucap. Kedua suami istri itu menghela napas, saling berpandangan tak nyaman. Meskipun mereka sudah menduga sebelumnya akan mendapat perlakuan seperti

  • Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang   Bagian 23

    Lesti masuk kembali ke dalam rumah dengan rasa sesak di dada. Air mata tak putus mengalir. Tubuhnya berguncang karena sesenggukan. Hatinya nelangsa, mengapa hidupnya harus se-menyedihkan ini? Dosa besar apa yang telah ia lakukan sehingga harus mendapatkan hukuman seperti ini. Wanita itu mengusap pelan jejak basah di pipi. "Kemaskan pakaian dan barang-barangmu, Sayang," ucapnya kepada Alif. Anak itu ia larang untuk ke sekolah sejak Yusuf di tahan. Ia takut Alif akan mendapat perundungan dari teman-temannya."Kita harus pergi. Rumah ini bukan milik kita lagi," lanjutnya parau. "Iya, Ma," sahut Alif sambil mengangguk. Ia sudah paham apa yang terjadi. Bahwa laki-laki yang selama ini dia banggakan, terlibat kasus tindak pidana korupsi. Lesti sendiri menuju kamar utama. Tempat penuh kenangan indah bersama Yusuf sebelum prahara mengguncang rumah tangga mereka. Wanita itu mengemas barang pribadi miliknya, juga Yusuf.Tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini, bahwa semua akan berakhir s

  • Karma Ipar yang Sengaja Menahan Utang   Bagian 22

    "Bang, lihat hiasan kue ulang tahunnya, lucu 'kan?" ujar Arlina sambil menunjukkan ponsel jadulnya pada Safwan. "Iya," sahut Safwan sambil memerhatikan. Ada album kumpulan kue ulang tahun di salah satu akun facebook. Seperti biasa, jelang tidur keduanya berbincang terlebih dahulu. "Aku mau ambil usaha ini, Bang. Boleh, gak?""Hah?" Safwan sedikit terperangah. Ia tidak menyangka jika pembicaraan istrinya mengarah ke sana. "Boleh gak?""Nanti kamu kecapekan. Lukamu bagaimana?""Lukaku Insyaallah sudah gak sakit lagi, Bang. 'Kan sudah dua bulan lebih.""Iya, tapi tetap harus dijaga. Kata orang, habis sesar itu gak boleh capek, gak boleh angkat berat.""Insyaallah aku gak capek, Bang. Aku akan takar sampai di mana batas kemampuan aku. Gak akan memaksakan diri dengan terima orderan banyak di luar kemampuan.""Kenapa harus kerja, sih? Biar abang saja yang kerja lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan kita.""Bukan sekedar uang. Aku bosan kalau setiap hari di rumah gak ada kegiatan, Ban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status