Safwan tercekat, menatap nanar rumah yang bagai tak berpenghuni itu. Sejenak ia terpaku, sebelum akhirnya tersadar dan tergesa menuju sepeda motornya kembali.
"Ada apa, Wan?" Pipit--tetangga tepat samping rumah menyapa.
"Mmm ... tahu mereka pada ke mana, Kak?" Safwan bertanya khawatir.
"Lho, kamu belum tahu? Bukannya tadi mengantar istrimu mau melahirkan?"
"Kemana, Kak?" Laki-laki itu panik. Apa yang terjadi pada Arlina? Jantungnya berdegup kencang. Takut sesuatu yang buruk terjadi.
"Bagaimana, sih? Istri melahirkan, suami tidak tahu." Bukannya menjawab, perempuan tambun itu justru berucap yang membuat panas telinga Safwan. Padahal dia sedang butuh informasi.
"Kakak tahu Arlina dibawa kemana?" tanyanya tidak sabar.
"Ya ke rumah sakitlah. Masa ke pasar. Tadi kabarnya pingsan beberapa kali. Jadi Mak Yati minta tolong suami saya mengantar ke rumah sakit."
Pingsan? Safwan terhenyak. Bagai hilang logika, seketika laki-laki itu men-starter sepeda motornya lalu menarik tuas gas hingga full. Menuju rumah sakit daerah, ia melesat di antara ramainya pengguna jalan, abai pada umpatan karena dianggap begundal yang bisa mencelakakan.
Berkali-kali laki-laki itu mengusap kasar matanya yang berembun. Pikirannya hanya satu, Arlina. Ketakutan merajai hatinya. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi.
"Maafkan, abang, Sayang," lirihnya berulang kali.
"Abang mohon kuatlah. Kuat, Sayang," pintanya sepanjang perjalanan.
Memasuki pelataran rumah sakit, Safwan memarkirkan sepeda motornya sembarang. Tidak peduli sedikitpun pada area itu terdapat simbol huruf P disilang. Ia tidak sempat melihat sekitar. Kuda besi itu ditinggalkan begitu saja. Berlari kencang, ia menuju bagian UGD.
Seperti hilang akal, laki-laki itu berlari panik mengitari setiap bed, mencari sosok sang istri yang sangat dikhawatirkannya. Namun, nihil. Kemana Arlina? Safwan gemetar. Cemas membalut sukma.
"Pak ... Pak, cari siapa?" Pertanyaan dari perawat yang sejatinya sudah dilontarkan sejak tadi dan mengikuti kemana arah kakinya, baru terdengar.
"Istri saya," sahutnya cemas. Napasnya tersengal.
"Istri, Bapak, siapa?"
"Ngngng ... tadi, Arlina, mau melahirkan, pingsan." Kalimat yang meluncur terbata-bata. Tidak tertata dengan baik.
"Ibu Arlina?"
"Iya."
"Memang benar tadi ada pasien yang mau melahirkan atas nama, Bu Arlina, Pak. Tapi beliau sudah dirujuk."
"Rujuk?"
"Iya."
"Memangnya kenapa harus rujuk? Kemana?"
"Bapak ke Nurse Station saja, ya. Biar dijelaskan dokter."
Laki-laki itu mengangguk, bergegas menuju tempat yang dimaksud perawat dan meminta informasi dari dokter atas kondisi istrinya.
"Kondisi Ibu Arlina tidak baik, Pak. Demikian juga bayi yang di kandungannya, denyut jantungnya sangat lemah. Kami merekomendasikan beliau untuk menjalani sectio. Akan tetapi, dokter kandungan kita sedang dinas luar ke Kuala Lumpur. Jadi Ibu Arlina kami rujuk," papar dokter cukup melemaskan otot-otot Safwan. Seketika tulang belulangnya serasa luruh mendengar anak dan istrinya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Ya Allah ....
Serta merta air matanya lolos. Ia tergugu, menyesali telah terlambat membawa belahan jiwanya itu ke rumah sakit karena harus mencari pinjaman dana. Sementara tabungan sang istri, dia berikan kepada Lesti yang dengan sengaja tidak mau membayar padahal mampu.
Bagaimana jika ....
Ah, dia tidak mampu membayangkan. Begitu saja terucap pengharapan buruk dari hatinya untuk perempuan itu. Sebab dia telah zalim.
Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman, (HR Bukhari).
"Rujuk kemana, Dok?" tanyanya pilu.
"Kami arahkan ke Sanggau, Pak. Karena kalau ke Pontianak lebih jauh. Kita khawatir kondisi Bu Arlina dan janinnya. Beliau harus segera mendapat pertolongan medis."
"Tadi berangkatnya bagaimana, Dok?"
"Diantar ambulans."
"Apa sudah lama?"
"Sekitar setengah jam yang lalu."
"Baik, Dok. Terima kasih informasinya."
"Sama-sama."
Safwan meninggalkan ruang UGD, bergegas menuju tempat di mana tadi ia meninggalkan sepeda motornya. Bibirnya merutuk ketika benda itu tidak ditemukan. Sebelum satpam menyampaikan bahwa juru parkir telah memindahkannya pada tempat seharusnya.
Laki-laki itu mengarahkan kendaraannya menuju pulang, menyiapkan sedikit keperluan secepat yang dia bisa, mampir mengisi minyak kendaraan, lalu kembali menarik tuas gas hingga full.
Keselamatan pribadi sama sekali tak lagi ia pikirkan. Yang membayang hanya wajah lemah Arlina saat tadi dia tinggalkan, juga kalimat dokter saat di UGD tadi. Hatinya nelangsa.
Meski pandangan kabur oleh kabut yang menyungkup netra, tuas gas tak juga laki-laki itu kendurkan.
"Bertahanlah, Sayang. Abang mohon," lirihnya tak henti.
"Ijinkan aku memeluk istriku lebih lama, ya Allah. Ijinkan kami bersama hingga tua, membesarkan putra-putri kami berdua," pintanya berselang-seling.
Suara klakson terus menggema, menemani sepanjang perjalanan Safwan. Jarinya tak henti menekan tombol suara itu, meminta jalan kepada setiap pengendara. Meski balasan yang dia terima dibarengi umpatan, tak sedikitpun membuatnya berniat melemahkan tarikan gas.
Dua jam terlewati, Safwan tiba di gerbang rumah sakit daerah Sanggau. Segera saja dia menuju UGD, menanyakan informasi tentang Arlina pada personil di sana.
"Ibu Arlina sudah dibawa ke ruang kebidanan untuk tindakan persiapan operasi," terang perawat yang ada di sana.
"Di mana ruangannya, Sus?" Safwan bertanya cemas.
"Bapak keluar ruangan ini melalui pintu itu, kemudian belok kanan. Nanti ada plang penunjuk arah. Ikuti saja."
"Terima kasih." Safwan berlari menuju arah yang ditunjuk perawat, membaca penunjuk arah, bertanya pada siapa saja yang ditemui.
Belum sampai pada ruangan yang dicari, sebuah brankar didorong menuju arahnya berada. Dua orang yang mengekor petugas medis dari belakang sangat ia kenal. Artinya yang terbaring di atas brankar itu pasti Arlina.
Laki-laki itu mencelos. Lututnya lemah. Ia bagai terkunci ketika brankar itu melewatinya.
Kedua wanita yang mengekor di belakang menatapnya dengan raut cemas. Air mata tumpah pada masing-masing pipi mereka. Wanita yang lebih tua menyusut air mata ketika mendekati Safwan.
"Ridhai Arlina ya, Wan," pintanya serak.
“Ma ..., sudah siap belum?”Di sudut bumi yang lain, Lesti sedang mematut dirinya di depan cermin, mengaplikasikan kuas dan spons make up pada wajah, fitting beberapa stel baju. Lalu memutuskan mengenakan model terbaru yang sedang trend.“Sebentar lagi, Pa ...!” serunya dari dalam kamar. Sementara Yusuf dan Alif sudah menunggu sejak tadi di ruang tamu.“Lama sekali!” seru laki-laki itu tidak sabar.“Mama ‘kan harus tampil cantik, Pa,” ucap Lesti. Wanita itu sudah berdiri di depan yusuf.“Gimana?” tanyanya sambil bergaya memutar badan, memamerkan outfit yang dia kenakan. Gaun panjang yang pres di badan. Meskipun bawahan dan lengan panjang, tetapi model baju sempurna menunjukkan bentuk indah tubuhnya. Ditambah lagi, jilbab yang dia kenakan hanya pasmina yang melilit di leher.“Cantik, Ma. K
Safwan menyusut air mata mengantar tubuh Arlina yang didorong masuk ke ruang operasi. Hatinya luruh."Abang ridho atasmu, Sayang. Berjanjilah kamu akan kuat. Berjuanglah," lirihnya sambil mencium wajah pucat yang terpejam.Beberapa lama ia terpaku di ruang tunggu bedah central, kemudian memutuskan keluar."Saya ke sana dulu, Mak," pamitnya pada ibu mertua yang duduk di kursi lorong rumah sakit tidak jauh dari ruang bedah. Perempuan senja itu tampak tak henti mengusap pipi. Bibirnya selalu bergetar, melirihkan berbait doa untuk keselamatan putri bungsu tercinta."Ya," sahutnya sambil mengangguk lemah.Safwan melangkah gontai, netranya menatap plang penunjuk arah. Yang dia cari adalah musholla. Ia butuh bicara kepada Sang Pencipta, meminta agar Arlina baik-baik saja. Tidak dapat ia bayangkan jika wanita itu harus pergi. Hatinya tidak sanggup. Kondisi sang istri da
Safwan melangkah gontai, beberapa kali ia mengusap wajah dengan gusar, mengusir kabut yang menyungkup netra.Kakinya terasa berat terangkat ketika memasuki area kamar jenazah. Ia mencelos saat menatap salah satu bed, satu tubuh mungil ditutup selimut putih terbujur kaku di sana. Laki-laki itu mendekat perlahan. Sontak ia tergugu."Bangun, Nak," lirihnya, "Ayah bahkan belum mendengar kamu menangis. Menangislah yang kencang, ayah tidak akan marah. Jangan diam saja."Laki-laki itu menelungkupkan wajah di samping tubuh beku yang baru saja hadir ke dunia itu. Tubuhnya berguncang. Isaknya pilu meratapi buah hati yang belum sempat melihat indahnya dunia itu. Hatinya remuk. Jiwanya nelangsa.Setelah cukup lama menangis, ia menguatkan diri mengangkat wajah. Tangannya bergetar membuka kain yang menyelimuti buah hatinya itu.Seraut wajah mungil nan damai menyambut ketika kain itu tera
Yusuf terus berkelit ketika Lesti berusaha meraih ponsel pintarnya, "Papa mau ke kamar mandi, kebelet sejak tadi," ucapnya dan begitu saja ia gegas berlalu."Masa ke kamar mandi bawa hp?" Lesti merengut kesal. Namun, Yusuf tidak memedulikan."Tuh lihat, baterainya sudah merah begini," ujarnya setelah keluar dari kamar mandi.Ia menyodorkan benda pipih persegi panjang itu pada Lesti, "Kalau dipakai pas baterai lemah, nanti cepat rusak," dalihnya."Heleh, Papa setiap triwulan juga tukar hp yang baru. Rusak pun tidak apa dan tidak akan seberapa.""Gak triwulan lagi sekarang, Ma. Caturwulan.""Beda satu bulan saja. Sinikan hp-nya. Mama pinjam."Yusuf mengulurkan gawai berbentuk persegi panjangnya itu, pun dengan sedikit kesal. Lesti kalau sudah maunya, tidak akan bisa ditahan.Sambil menyandar di pucuk r
"Ingat kata dokter. Mama jangan capek, jangan banyak pikiran," ujar Yusuf. Pagi ini dia mengenakan seragam pemda kebesarannya. Sebenarnya penampilannya sudah rapi. Namun, ia masih mematut diri di depan cermin. Tangannya masih sibuk menarik ulur bagian baju yang tampak kurang rapi, atau menyisir rambut untuk yang kesekian kali.Baju yang Yusuf kenakan press membungkus tubuh, menampilkan gurat ototnya yang atletis. Lengan baju yang menempel ketat, memperlihatkan bentukan otot tangan yang kekar. Pria itu benar-benar terlihat sangat macho di usianya yang matang.Sifat Yusuf yang mudah bergaul, supel dan luwes menambah nilai plus sosoknya di mata para rekan kerja, baik pria maupun wanita.Dia pun pandai berkelakar, hangat saat mengajar. Sehingga sampai saat ini, meskipun sudah menjabat sebagai kepala sekolah, Yusuf tetap menjadi guru idola para siswa.Hanya satu nilai negatif yang
Dada Lesti bergemuruh ketika mendapati Iriana menyambut Yusuf sembari tersenyum lebar. Meskipun dalam jarak beberapa meter, terlihat sekali perempuan itu begitu semringah. Sudut bibirnya terangkat sempurna, menampakkan giginya yang putih. Napas Lesti memburu. Iriana adalah teman yang sama bobroknya dengan dirinya. Sama-sama di-drop out saat kuliah. Bahkan lebih buruk karena tidak bisa mengontrol diri. Dia sering menghabiskan malam bersama pacarnya hingga hamil. Memasuki usia 20 tahun, perempuan itu menikah. Namun, tidak berselang lama rumah tangganya kandas. Selama ini kehidupan Iriana cukup memprihatinkan. Sebagai teman dekat, Lesti selalu ada. Tak segan ia membantu dalam hal finansial. Memberikan uang secara percuma dengan basa basi untuk jajan Kirana, putri Iriana. Sejauh itu ia berbuat untuk sahabatnya, begini balasan yang ia terima?Lesti memegang dada, merasakan nyeri yang tiba-tiba mendera di sana. Ia terkulai lemas di atas sepeda motor, menelungkup pada stang. Napasnya memb
Safwan memapah Arlina turun dari ambulans, lalu membantunya berjalan masuk ke rumah Mak Yati. Mereka baru saja tiba dari rumah sakit."Aku bisa sendiri," ucap Arlina keras kepala sambil menepis tangan Safwan. Namun, lelaki itu bersikeras. Ia khawatir wanita itu terjatuh. Apalagi ketika dilihatnya istrinya berjalan masih terbungkuk-bungkuk karena menahan sakitnya akibat luka bekas caesar."Diamlah, Dek. Abang bantu. Kamu masih kepayahan," ucap Safwan sabar. Dia sadar kesalahannya fatal. Jadi harus banyak-banyak bersabar. Arlina terpaksa menurut."Di mana, Mak?" tanya Safwan ketika sampai di dalam. Ia bertanya ke mana kamar yang akan ditempati Arlina."Di sini, Safwan. Sudah kakak bersihkan." Arni yang menjawab. Selama mereka di rumah sakit, Arni sudah membersihkan rumah Mak Yati yang berantakan saat ditinggal."Iya, Kak," sahut Safwan. Ia mengiring Arlina masuk, membantu Arlina duduk dan berbaring di atas kasur kapuk yang ada di kamar."Abang akan datang setiap hari," ujarnya lembut pa
Sementara itu di kediaman Kirana."Saya terima nikahnya dan dan kawinnya Kirana Lestari Binti Iriana dengan mas kawin sebuah rumah, dibayar tunai."Kemudian seruan sah dari Iriana, juga dua orang saksi yang Yusuf undang menggema. Pernikahan siri yang diwalikan hakim itu terjadi. Lesti yang memaksa hadir, menangis tergugu. Hatinya tersaruk-saruk, pilu. Dia benar-benar tidak menyangka lelaki yang dikiranya mencintainya sungguh-sungguh itu mendua. Bahkan memilih perempuan yang pantas menjadi putrinya, perempuan yang adalah anak sahabatnya sendiri, dan itu menambah luka menjadi berlipat-lipat pedihnya.Napas Lesti tergeragap akibat isak, ia meremas-remas dadanya yang sesak. Kehidupan royal yang menjadi faktor Iriana, sahabat yang sangat dipercayanya mengkhianatinya. Dia benar-benar tidak menyangka. Padahal untuk tetap bisa royal, tak jarang dia harus meminjam.Jika menurutkan rasa sakit, ingin perempuan itu melaporkan perilaku Yusuf yang sangat tidak terpuji itu kepada dinas pendidikan