Share

Lima - Ayam Penyet

Penulis: ohhyundo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 10:28:11

Mobil kantor itu melaju stabil di tengah arus lalu lintas yang padat. Di dalamnya, percakapan ringan mengalir di antara para penumpang. Lala bercerita tentang kucing barunya, Rendy asik membahas teori random soal algoritma I*******m, dan Pak Bos terkekeh kecil mendengar celotehan anak-anak buahnya.

Di antara semua suara itu, Dira hanya diam. Duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap keluar, meski pemandangannya tak terlalu penting. Lampu jalanan, toko-toko kecil, dan pejalan kaki yang lewat. Hanya visual yang lewat begitu saja, tak masuk benar ke kepalanya.

Yang berisik justru pikirannya sendiri.

Gimana caranya kabur dari makan malam ini tanpa dicurigai? Gak mungkin tiba-tiba bilang ada kerjaan urgent. Atau… pura-pura pusing? Tapi nanti malah ditawarin minyak angin. Malah makin ribet.

“Dir,” suara Lala menyentak lamunan. “Kok kamu diem aja dari tadi?”

“Hm?” Dira menoleh singkat. “Capek dikit.”

“Kamu kayak abis ketemu mantan deh,” celetuk Lala sambil tertawa.

Dira tak membalas. Hanya senyum tipis. Tapi dalam hati, ia tahu itu bukan tebakan asal.

Bukan baru ketemu. Tapi kemungkinan akan ketemu.

Rendy, yang duduk di depan, menimpali, “Tenang aja, persentase ketemu mantan itu kecil. Dunia ini luas. Kalau ketemu lagi, ya berarti jodoh.”

Lala langsung mengangguk dramatis. “Nah! Itu! Kalo jodoh, semesta pasti ngatur ketemunya lagi.”

Dira diam saja. Ia tidak percaya kalimat-kalimat seperti itu lagi. Buatnya, pertemuan tak selalu tentang jodoh. Kadang, cuma tentang luka yang ingin mampir lagi sebentar, memastikan bahwa ia masih terasa.

Mobil berhenti di depan warung Ayam Penyet Satria. Spanduk merah besar menggantung mencolok. Suara pelanggan terdengar ramai dari dalam. Antrian mengular sampai ke trotoar.

Pak Bos turun lebih dulu, memandangi kondisi warung.

“Wah, penuh,” gumamnya.

“Ya ampun, rame bener,” sahut Lala kecewa. “Udah laper banget, Pak…”

Rendy menoleh ke sekitar. “Itu… di seberang ada tempat makan juga. Ayam penyet juga tuh. Gak terlalu rame.”

Semua mata mengikuti arah telunjuk Rendy. Sebuah warung kecil, sederhana. Tidak terlihat modern, tapi cukup bersih dan terang.

“Coba ke sana aja,” ujar Pak Bos. “Gak mungkin kita nunggu satu jam di sini.”

Dira tak berkata apa-apa. Tapi langkahnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya. Setidaknya, ini bukan tempat itu. Bukan tempat yang aku dan dia bangun dari nol.

“Tapi… kita ke Ayam Penyet Satria kan buat survei? Nggak apa-apa emang?” gumam Lala sambil melirik ragu ke antrian panjang di belakang mereka.

Dira menoleh sedikit, suaranya tenang, “Bisa lain hari, kok. Kalau Pak Bos setuju, aku nggak keberatan buat dijadwalkan ulang.”

Pak Bos yang mendengar itu langsung mengangguk. “Iya, nanti kita atur lagi. Sekarang makan dulu aja. Udah pada kelaperan kan?”

Mereka menyebrang, masuk ke warung. Beberapa meja kosong menyambut mereka. Suasananya tenang, hangat.

“Dir, kamu ke kasir ya. Pesan sekalian buat kita semua,” kata Pak Bos.

Dira mengangguk. Ia berjalan ke depan, menuju kasir. Sesampainya di meja, seorang pria berdiri dengan tangan bersilang, menatapnya tanpa senyum. Matanya tajam, dalam, dan langsung menusuk ke titik yang paling enggan Dira sentuh.

Diam. Tapi tatapan itu cukup.

“…Adrian?”

Pria itu mengangguk sekali. “Dira.”

Suara yang tak berubah. Datar. Tenang. Tapi ada ketegasan di ujungnya. Pria itu masih sama. Wajahnya lebih dewasa sekarang. Garis rahangnya lebih tegas. Tapi sorot matanya tetap seperti dulu—dingin dan tak mudah ditembus.

“Kamu… di sini sekarang?” tanya Dira, mencoba terdengar biasa.

“Punya tempat ini,” jawabnya singkat.

Dira mengangguk pelan. Ia tak tahu harus merasa apa. Senang bukan. Kaget, mungkin. Canggung, pasti.

“Empat ayam penyet. Nasi. Sambel biasa. Es teh manis lima,” ucap Dira datar.

Adrian mencatat pesanan tanpa melihat catatan. Ia tidak menawarkan menu tambahan. Tidak juga bertanya kabar. Hanya hening beberapa detik, lalu berkata, “Duduk aja. Nanti aku antar ke meja.”

“Terima kasih.”

Dira berbalik, kembali ke meja. Tapi ia tahu mata Adrian belum lepas dari punggungnya. Sama seperti dirinya yang masih menyisakan sepotong kenangan tentang pria itu. Pesaing. Rival lama. Seseorang yang dulu nyaris mengambil segalanya… tapi justru kini jadi penyelamat dari pertemuan yang lebih ia hindari.

“Dir,” bisik Lala begitu Dira duduk. “Itu barista-nya kenal kamu ya?”

“Bukan barista,” gumam Dira. “Pemiliknya.”

“Wow… keren juga. Ganteng. Tapi dingin.”

Dira tak menanggapi. Tatapannya hanya terpaku ke gelas kosong di depannya. Hatinya… tenang, tapi tidak nyaman. Seperti hujan kecil yang turun di malam yang salah.

Beberapa menit kemudian, makanan datang. Adrian sendiri yang mengantarkannya, tanpa banyak bicara. Ia hanya meletakkan piring-piring dengan tenang, lalu pergi tanpa menoleh lagi.

Pelayanannya… cepat juga,” komentar Rendy sambil mengunyah puas.

Dira menyendok nasinya pelan. Ia mencicipi sedikit sambel, lalu menatap piring itu lama.

Tidak sepedas kenangan. Tapi tetap terasa.

“Cepet karena lagi nggak banyak pengunjung,” gumam Dira tanpa angkat kepala.

Lala yang duduk di samping langsung melirik panik dan membisik, “Ih, nanti kedengeran owner-nya loh, Dir…”

Tapi Dira tampak acuh saja. Tatapannya kosong. Ucapannya tadi memang tidak berniat menyindir—lebih ke pengamatan spontan. Jujur saja, warung ini… masih terasa sama seperti dulu. Sederhana. Sepi. Adem, tapi tidak mengundang.

Ia mengaduk nasinya pelan. Mungkin Adrian masih bertahan bukan karena strategi bisnis cemerlang, tapi karena… terpaksa. Karena nggak ada pilihan lain.

Pandangan Dira berpindah ke seberang jalan. Warung Ayam Penyet Satria masih tampak penuh. Antrean bahkan makin panjang, kursi-kursinya nyaris tak pernah kosong. Lampu-lampu terang, pelayan berseragam rapi, dan suara tawa pengunjung terdengar jelas meski dari jauh.

Kontras sekali dengan tempat ini. Terlalu kontras.

Seolah sedang mengejek tempat milik Adrian—yang bahkan lebih dulu berdiri di wilayah ini.

Saat Dira kembali menunduk, langkah kaki mendekat dari arah dapur. Adrian datang membawa semangkuk nasi tambahan, meletakkannya perlahan di meja.

Ia menoleh sedikit ke arah Dira, lalu berkata datar, “Nggak apa-apa. Soal pengunjung… yang kamu bilang barusan memang benar.”

Seketika meja itu hening.

Rendy melirik ke Lala. Lala membenarkan posisi duduk. Pak Bos mendongak dari piringnya, agak heran.

Dira hanya menoleh pelan. Tak meminta maaf. Tak membela diri. Ia tetap menatap Adrian dengan wajah netral.

Pak Bos memecah keheningan dengan bertanya, “Kalian… saling kenal ya?”

Adrian menoleh padanya, tapi tak langsung menjawab.

Dira menarik napas tipis. “Pernah. Dulu.”

“Pernah satu proyek?” tanya Rendy penasaran.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Dira singkat.

Adrian hanya berdiri beberapa detik sebelum kembali ke dapur tanpa menambahkan sepatah kata pun.

Lala menatap Dira dengan alis terangkat tinggi, tapi memilih tak bertanya lebih jauh.

Dan Dira? Tatapannya masih tertinggal di punggung Adrian yang menjauh. Kali ini bukan karena bingung atau bersalah. Tapi karena ia baru sadar satu hal—tatapan Adrian tadi… tidak marah. Tidak juga sedih.

Tapi ada sesuatu di sana.

Sesuatu yang belum selesai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan Belas - Ayam Penyet

    Aroma wangi dari dapur masih menggantung di udara saat Adrian duduk berhadapan dengan tiga piring ayam penyet yang tersaji dengan tampilan menggiurkan. Satu per satu sambel tersusun rapi di atas piring ayam goreng berwarna keemasan, lengkap dengan lalapan segar dan nasi hangat yang mengepul di mangkuk kecil.Ia mulai dengan potongan ayam pertama.Kulit ayamnya renyah keemasan, tapi ketika dipotong, dagingnya masih lembut dan juicy. Bumbunya meresap sempurna hingga ke tulang. Ungkepannya tidak sekadar asin atau pedas, tapi kompleks—aroma ketumbar, lengkuas, daun salam, dan serai saling berpadu dengan harmonis. Tekstur dagingnya empuk, tapi tetap punya gigitan yang menyenangkan.“Ini ayamnya…,” gumam Adrian, setengah tak percaya, “diungkepnya pas banget. Nggak kelembekan, nggak kering.”Dira mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas. “Itu resep lama. Tapi aku tweak sedikit. Aku tambah takaran air kelapanya. Bikin dagingnya lebih juicy.”Adrian mengangguk pelan, kagum. Ia lalu mencelup

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh Belas - Ayam Penyet

    Sebelum berangkat ke ruko, Dira dengan mata berbinar mengajak Adrian singgah dulu ke pasar tradisional.“Aku butuh bahan-bahan segar buat eksperimen sambelku. Yuk ke pasar dulu!” ajaknya penuh semangat.Adrian hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Ia mengikuti Dira keluar kantor, seolah itu hal yang wajar saja—seperti suami yang setia menemani istrinya belanja kebutuhan dapur.Pasar tradisional sore itu masih ramai, meski matahari mulai turun perlahan. Bau tanah basah bercampur aroma rempah, ayam potong, dan gorengan hangat memenuhi udara. Dira melangkah cepat di antara kios-kios, membawa daftar belanja di ponselnya. Di belakangnya, Adrian berjalan tenang sambil menggendong dua kantong belanja yang sudah berat, tanpa satu pun keluhan.“Aku butuh cabai rawit, bawang putih, keju, sama daun jeruk. Oh, sama tomat juga!” ujar Dira sambil terus melangkah, tidak menyadari bahwa jalur di depannya agak becek.Adrian baru mau membuka mulut untuk memperingatkan ketika—“Dir, hati-ha—”Belum sele

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam Belas - Ayam Penyet

    Setelah kondisinya membaik, Dira kembali melangkah masuk ke kantor. Napasnya sudah mulai stabil, meski sisa-sisa ketegangan masih tertinggal di dalam dadanya. Lala berjalan di sebelahnya, masih menatap Dira dengan tatapan khawatir tapi tidak berkata apa-apa. Begitu mereka melewati area kerja, semua mata langsung menoleh.Beberapa pura-pura kembali mengetik, yang lain hanya menunduk sambil mencuri pandang. Tapi Dira tidak lagi peduli. Ia menegakkan kepala dan berjalan lurus ke mejanya.Satria terlihat keluar dari ruangan Pak Lee dengan ekspresi seperti biasa—dingin, tenang, dan menyebalkan. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Seolah bukan dia yang baru saja dihujani amarah Dira di depan semua orang.Dira menahan napas, memalingkan wajah saat pria itu sempat melirik ke arahnya. Tapi Satria hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi begitu saja. Ia bahkan sempat menyapa salah satu staf di dekat pintu, membuat suasana jadi lebih aneh.Tak lama setelah Satria menghilang dari pandangan, telepo

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima Belas - Ayam Penyet

    Suasana kantor yang semula sudah tegang kini seperti retak di ujung jurang. Tidak ada satu pun yang berani bersuara saat Satria melempar sindiran itu, seolah semua napas menahan diri, takut menyulut percikan lebih besar.Dira mendekap tangannya di dada, berusaha keras menahan emosi. Tapi itu sia-sia. Ketika Satria melangkah lebih dekat, dengan senyum setengah mencemooh, Dira merasa dadanya seperti akan meledak.“Dulu, siapa yang tiap hari ngintilin aku? Ke mana aku pergi, kamu pasti ada di belakangku. Sekarang malah…,” Satria mengangkat bahu, suaranya dibuat seolah santai. “Mungut orang lain buat bantu kamu jalanin hidup?”Dira mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua bisik-bisik rekan kerja di sekitarnya makin menekan pikirannya. Rasa malu, marah, kecewa—semuanya bercampur jadi satu.Adrian masih berdiri di tempatnya, tetap tenang, seakan tidak terusik sama sekali oleh hinaan itu. Tapi Dira tidak bisa. Tidak kali ini.Dengan langkah lebar, Dira mendekat. Suara sepatunya berderap lantan

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status