Share

Enam - Ayam Penyet

Penulis: ohhyundo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-17 20:43:41

Belum sempat suasana kembali cair, Rendy mendadak nyeletuk sambil garpu masih nyangkut di mulut, “Eh… jangan-jangan kalian pernah pacaran ya?”

Dira menoleh cepat. “Bukan,” jawabnya datar, tanpa jeda.

Pak Bos—yang berdarah Korea dan dikenal suka ikut nimbrung meski wajahnya selalu serius—mengangkat alis. “Kalau bukan pacaran, jangan-jangan cinta bertepuk sebelah tangan?”

Lala langsung tertawa kecil. “Iya sih… vibes-nya agak-agak begitu. Salah satu dari kalian naksir tapi nggak kesampean?”

Dira menghela napas, menaruh sendoknya perlahan ke pinggir piring. “Kenapa sih semua tebakannya soal hubungan cinta?”

Lala mendongak sambil berlagak mikir. “Kalau gitu, hmm… mungkin… saingan lama? Musuh bebuyutan?”

Dira tidak langsung menjawab. Pandangannya jatuh ke meja. “Mungkin aja,” katanya pelan, lalu kembali mengambil teh dan menyeruputnya.

Hening sejenak. Lala dan Rendy saling lirik, ingin tanya lebih jauh tapi sadar Dira bukan tipe yang bisa digali kalau dia sendiri belum mau cerita. Pak Bos pun hanya mengangguk-angguk bijak, entah paham entah tidak.

Setelah makan selesai, Pak Bos berdiri lebih dulu dan menyerahkan kartu kreditnya ke Dira. “Kamu ke kasir ya, Dir. Pake ini aja.”

Dira mengangguk dan berjalan ke depan. Di balik meja kasir, Adrian masih berdiri seperti tadi—datar, tanpa ekspresi. Tapi kali ini, matanya tak lagi hampa. Ada sorot yang lebih tajam, seperti seseorang yang baru saja menyimpan kalimat di ujung lidahnya sejak beberapa menit lalu.

Begitu Dira sampai di depan meja, Adrian bersuara pelan, tapi nada sarkasmenya jelas terdengar.

“Makasih, ya… buat penilaiannya tadi.”

Dira mengangkat alis, berpura-pura tak paham. “Penilaian?”

Adrian tidak berkedip. “Soal ‘cepat karena pengunjungnya dikit’. Komen yang cerdas. Penuh empati.”

Dira mengangkat dagunya sedikit. “Emang bener, kan. Gak salah juga.”

Adrian menyandarkan tangan di meja, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Owner ayam penyet datang-datang makan di warung seberang. Lagi hunting, atau sengaja mau kasih review buruk?”

Dira mendengus pelan, mulai panas. “Maksud kamu? Aku ke sini buat ngintip usaha kamu?”

“Entahlah,” sahut Adrian ringan. “Kelihatannya kamu masih cukup… terlibat, sampai-sampai peduli.”

Dira terdiam sejenak. Rahangnya mengeras. “Aku cuma makan malam bareng tim kantor. Kebetulan tempat kamu gak penuh. Itu aja. Jangan terlalu ge-er.”

Adrian mengangguk pelan. “Iya. Kebetulan. Kayak hidup kita dulu.”

Dira menarik napas pendek, memutuskan untuk tidak memperpanjang.

“Aku cuma mau bayar. Ini,” katanya, menyodorkan kartu kredit bosnya.

Adrian menerima kartu itu, menatapnya sejenak… lalu meletakkannya kembali di atas meja.

“Maaf. Nggak bisa.”

Dira mengerutkan alis. “Kenapa?”

“Saya gak nerima kartu.”

“…Hah?” Dira menatapnya lama. “Adrian, ini kartu kredit. Semua orang nerima kartu sekarang.”

Adrian tetap tenang. “Saya nggak.”

Dira menahan napas. “Oke. QRIS, ada?”

“Nggak ada juga.”

Dira mulai kehilangan kesabaran. “Serius? Sekarang udah 2025. Bahkan tukang cilok depan kantor aja udah pakai QRIS.”

Adrian tidak goyah. “Saya masih pilih uang cash. Lebih jelas, lebih langsung. Gak ribet.”

“Justru ribet!” Dira bersedekap. “Pantes aja warung kamu sepi. Sistem aja ketinggalan jaman. Gimana mau maju?”

Tatapan Adrian langsung mengeras. “Saya gak butuh disetir soal cara ngelola usaha. Dan saya juga gak minta dikomentari.”

“Oh jadi pelanggan nggak boleh ngasih masukan sekarang?” Dira membalas tajam. “Kamu bukan cuma ketinggalan jaman, tapi juga keras kepala.”

Adrian menyempitkan mata. “Kalau kamu ngerasa sistemku bikin repot, lain kali gak usah mampir.”

“Tenang aja. Emang gak niat balik juga.”

Suara gesekan kursi terdengar dari belakang. Pak Bos sudah berdiri, mendekat dengan wajah sedikit bingung melihat keduanya nyaris baku hantam hanya gara-gara metode pembayaran.

“Eh, eh… kalian kenapa?” tanyanya perlahan.

Dira menoleh, masih menahan nafas. “Gak bisa bayar pakai kartu. Gak bisa QR juga.”

Pak Bos merogoh dompetnya. “Aduh… ya udah, saya cash-in aja deh…”

Ia mulai menghitung uang di dompet. Lempar selembar lima puluh ribuan, dua puluh ribuan, selembar sepuluh ribu, lalu mulai melirik bingung.

“Ehh… bentar, kurang dikit,” gumamnya sambil ngeluarin uang receh. “Dira, kamu bawa cash?”

Rendy langsung nyodorin dua lembar ribuan. “Saya ada, Pak. Ini. Kurang berapa?”

Lala pun ikut menyusul. “Saya ada dua ribu koin. Tapi bau permen ya, habis dari kantong celana.”

Mereka akhirnya patungan, rame-rame.

Adrian diam saja, hanya mengawasi semua kekacauan itu dengan satu alis terangkat. Dira juga berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Saat pembayaran selesai, Pak Bos menyodorkan uang tunai terakhir. “Nah. Beres. Tapi bener ya, kalian kenal? Kayaknya… bukan cuma kenal biasa?”

Adrian tak menjawab. Dira juga tidak.

Tapi keduanya saling tatap. Tatapan penuh friksi, seperti dua orang yang tahu terlalu banyak tentang satu sama lain—dan sedang berusaha keras agar tidak meledak di tempat umum.

Lala dan Rendy buru-buru mendekat, menarik tangan Dira.

Udah, Dir. Yuk balik… sebelum lo bikin sambelnya mendidih di sini.”

Dira menoleh pelan ke arah Lala yang menarik lengannya, lalu mengangguk. Ia berjalan menjauh dari kasir tanpa menengok ke belakang.

Mereka bertiga berjalan keluar menuju mobil yang sudah diparkir di pinggir jalan. Pak Bos sudah duluan masuk, sibuk dengan HP-nya di kursi depan. Lala dan Rendy membuka pintu belakang sambil lanjut ngobrol kecil, masih membahas sambal dan spekulasi hubungan Dira-Adrian yang nggak kelar-kelar.

Dira menyusul paling belakang.

Tapi langkahnya terhenti.

Matanya menangkap siluet yang baru turun dari mobil hitam metalik yang berhenti persis di depan warung Ayam Penyet Satria—tepat di seberang tempat mereka makan tadi.

Dari balik pintu mobil itu, muncul seseorang yang tak mungkin ia salah kenali, bahkan setelah lima tahun. Satria.

Rambutnya lebih rapi. Bajunya lebih mahal. Sikapnya masih seperti dulu—tenang, penuh percaya diri. Tapi kini ada perempuan cantik di sampingnya, mengenakan dress putih sederhana yang memeluk lengan Satria seperti sudah biasa. Istrinya.

Dan di tangan Satria yang satunya, tergenggam jemari kecil seorang anak laki-laki—usia tiga atau empat tahun, mungkin. Bocah itu tertawa kecil sambil menunjuk-neunjuk neon sign restoran.

Satria membungkuk sedikit, tersenyum, lalu menggendong si kecil ke pelukannya. Sekeluarga itu pun masuk ke restoran mewah mereka dengan langkah ringan, tanpa tahu bahwa ada sepasang mata di seberang jalan yang membeku menatap mereka.

Dira tak bisa bergerak.

Pemandangan itu—keluarga kecil bahagia, mobil mahal, wajah santai—semua itu seperti tamparan yang telat datang. Terlalu indah untuk orang yang terlalu licik. Dan terlalu menyakitkan untuk orang yang pernah dia tinggalkan begitu saja.

Lala menoleh ke arah Dira yang masih berdiri mematung. “Dir, kamu kenapa?”

Dira tak menjawab.

Hanya matanya yang masih terkunci pada sosok yang dulu ia cintai, dan hari ini—tanpa permisi—muncul kembali, membawa segala hal yang dulu ia impikan… untuk mereka.

Tapi bukan dengan dia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan Belas - Ayam Penyet

    Aroma wangi dari dapur masih menggantung di udara saat Adrian duduk berhadapan dengan tiga piring ayam penyet yang tersaji dengan tampilan menggiurkan. Satu per satu sambel tersusun rapi di atas piring ayam goreng berwarna keemasan, lengkap dengan lalapan segar dan nasi hangat yang mengepul di mangkuk kecil.Ia mulai dengan potongan ayam pertama.Kulit ayamnya renyah keemasan, tapi ketika dipotong, dagingnya masih lembut dan juicy. Bumbunya meresap sempurna hingga ke tulang. Ungkepannya tidak sekadar asin atau pedas, tapi kompleks—aroma ketumbar, lengkuas, daun salam, dan serai saling berpadu dengan harmonis. Tekstur dagingnya empuk, tapi tetap punya gigitan yang menyenangkan.“Ini ayamnya…,” gumam Adrian, setengah tak percaya, “diungkepnya pas banget. Nggak kelembekan, nggak kering.”Dira mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas. “Itu resep lama. Tapi aku tweak sedikit. Aku tambah takaran air kelapanya. Bikin dagingnya lebih juicy.”Adrian mengangguk pelan, kagum. Ia lalu mencelup

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh Belas - Ayam Penyet

    Sebelum berangkat ke ruko, Dira dengan mata berbinar mengajak Adrian singgah dulu ke pasar tradisional.“Aku butuh bahan-bahan segar buat eksperimen sambelku. Yuk ke pasar dulu!” ajaknya penuh semangat.Adrian hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Ia mengikuti Dira keluar kantor, seolah itu hal yang wajar saja—seperti suami yang setia menemani istrinya belanja kebutuhan dapur.Pasar tradisional sore itu masih ramai, meski matahari mulai turun perlahan. Bau tanah basah bercampur aroma rempah, ayam potong, dan gorengan hangat memenuhi udara. Dira melangkah cepat di antara kios-kios, membawa daftar belanja di ponselnya. Di belakangnya, Adrian berjalan tenang sambil menggendong dua kantong belanja yang sudah berat, tanpa satu pun keluhan.“Aku butuh cabai rawit, bawang putih, keju, sama daun jeruk. Oh, sama tomat juga!” ujar Dira sambil terus melangkah, tidak menyadari bahwa jalur di depannya agak becek.Adrian baru mau membuka mulut untuk memperingatkan ketika—“Dir, hati-ha—”Belum sele

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam Belas - Ayam Penyet

    Setelah kondisinya membaik, Dira kembali melangkah masuk ke kantor. Napasnya sudah mulai stabil, meski sisa-sisa ketegangan masih tertinggal di dalam dadanya. Lala berjalan di sebelahnya, masih menatap Dira dengan tatapan khawatir tapi tidak berkata apa-apa. Begitu mereka melewati area kerja, semua mata langsung menoleh.Beberapa pura-pura kembali mengetik, yang lain hanya menunduk sambil mencuri pandang. Tapi Dira tidak lagi peduli. Ia menegakkan kepala dan berjalan lurus ke mejanya.Satria terlihat keluar dari ruangan Pak Lee dengan ekspresi seperti biasa—dingin, tenang, dan menyebalkan. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Seolah bukan dia yang baru saja dihujani amarah Dira di depan semua orang.Dira menahan napas, memalingkan wajah saat pria itu sempat melirik ke arahnya. Tapi Satria hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi begitu saja. Ia bahkan sempat menyapa salah satu staf di dekat pintu, membuat suasana jadi lebih aneh.Tak lama setelah Satria menghilang dari pandangan, telepo

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima Belas - Ayam Penyet

    Suasana kantor yang semula sudah tegang kini seperti retak di ujung jurang. Tidak ada satu pun yang berani bersuara saat Satria melempar sindiran itu, seolah semua napas menahan diri, takut menyulut percikan lebih besar.Dira mendekap tangannya di dada, berusaha keras menahan emosi. Tapi itu sia-sia. Ketika Satria melangkah lebih dekat, dengan senyum setengah mencemooh, Dira merasa dadanya seperti akan meledak.“Dulu, siapa yang tiap hari ngintilin aku? Ke mana aku pergi, kamu pasti ada di belakangku. Sekarang malah…,” Satria mengangkat bahu, suaranya dibuat seolah santai. “Mungut orang lain buat bantu kamu jalanin hidup?”Dira mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua bisik-bisik rekan kerja di sekitarnya makin menekan pikirannya. Rasa malu, marah, kecewa—semuanya bercampur jadi satu.Adrian masih berdiri di tempatnya, tetap tenang, seakan tidak terusik sama sekali oleh hinaan itu. Tapi Dira tidak bisa. Tidak kali ini.Dengan langkah lebar, Dira mendekat. Suara sepatunya berderap lantan

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status