Home / Romansa / Karma Pedas Sang Mantan / Empat - Ayam Penyet

Share

Empat - Ayam Penyet

Author: ohhyundo
last update Last Updated: 2025-04-15 10:00:07

Dira duduk di teras rumah Buk Lik Ratna, ditemani secangkir teh manis yang sudah mulai dingin. Matanya menatap jauh ke jalanan kecil di depan rumah. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan suara burung yang bersahut-sahutan. Tapi hatinya tak selega pagi itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sekaligus membakar semangatnya dari dalam.

“Le, wis yakin?” tanya Pak Lik pelan, sambil duduk di sebelahnya.

Dira mengangguk. “Yakin, Pak Lik. Aku harus kembali. Kuliahku belum selesai. Aku nggak mau hidupku berhenti cuma karena Satria mutusin jadi pengkhianat.”

Pak Lik menatapnya dengan mata yang teduh, lalu menepuk punggung tangan Dira. “Bagus. Tapi inget ya… kamu boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan pernah ngelakuin hal yang bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”

Dira menoleh. “Iya, Pak Lik. Aku udah mikir. Aku nggak akan balas dia pakai cara yang kotor. Aku bakal buktiin kalau aku bisa berhasil tanpa dia.”

Tiba-tiba, dari balik dapur, terdengar suara senggolan panci. Buk Lik muncul sambil membawa tas kecil dan beberapa bekal yang sudah dibungkus rapi.

“Nih. Bawain sambel teri sama peyek. Siapa tahu pas di kosan kamu laper, bisa langsung makan,” ujarnya sambil menyodorkan kantong plastik.

Dira tersenyum haru. “Bu Lik, makasih ya… buat semuanya.”

Buk Lik mengusap bahu Dira pelan. “Le… kamu anak baik. Hidup kadang kejam, tapi jangan biarin hatimu ikut jadi keras. Sakit itu pelajaran. Tapi jangan sampai sakitmu jadi alasan buat nyakitin diri sendiri.”

Mata Dira memanas. Ia memeluk Buk Lik erat-erat, menumpahkan rasa terima kasih yang tak bisa ia ucapkan seluruhnya. Di pelukan itu, seolah semua kepedihan selama berminggu-minggu terakhir sedikit meluruh.

Pukul tujuh lewat lima belas, bis kecil jurusan Surabaya berhenti di ujung jalan. Dira menarik napas dalam-dalam dan berdiri.

Pak Lik mengangkat tas ransel Dira, mengantarkannya sampai ke tepi jalan. Buk Lik menyusul di belakang, membawa bekal dan amplop kecil yang ia selipkan ke dalam saku ransel Dira.

“Jangan dibuka sekarang,” kata Buk Lik sambil mengedip. “Buat semangatmu di hari-hari berat nanti.”

Dira naik ke dalam bis dengan langkah mantap. Dari jendela, ia melambaikan tangan, menahan air mata agar tak jatuh. Kali ini bukan karena hancur—tapi karena merasa dicintai.

Di dalam bis, ia menyenderkan kepala ke kaca. Pikirannya melayang ke mimpinya yang absurd tentang dukun dan jin pasar. Tapi dari semua itu, ada satu pesan yang ia pegang: dendam tak harus dibayar dengan luka. Kadang, cukup dengan jadi versi terbaik dari diri sendiri.

Lima Tahun Kemudian

Ruangan itu dipenuhi suara ketikan keyboard, desis mesin printer, dan bunyi notifikasi Slack yang tak kunjung henti. Di balik layar komputer, Dira duduk mengenakan headphone dan menatap detail desain dengan mata yang setengah lelah. Di meja kerjanya bertumpuk sketch layout, draft revisi, dan satu kotak makan siang yang belum sempat disentuh.

“Dir, ini ada klien baru. Urgent. Cuma desain buat promo pembukaan cabang kuliner, tapi mereka minta kamu yang ngerjain,” ucap temannya sambil nyodorin folder biru.

Dira mengangguk tanpa banyak pikir, membuka folder itu. Tapi begitu matanya membaca nama brand di atas brief desain, napasnya langsung tercekat.

“AYAM PENYET SATRIA.”

Tangannya otomatis mengepal. Di bawah nama brand itu, ada foto ruko yang sangat familiar. Ruko kecil berkanopi merah—yang dulunya milik mereka. Tempat yang dulu mereka cicil berdua, yang ia impikan jadi titik awal usaha bersama. Tempat yang direbut darinya, tanpa penyesalan sedikit pun.

Semua ingatan lima tahun lalu menyerbu lagi seperti tamparan: suara telepon Satria yang dingin, kata-kata penuh penghinaan, dan detik-detik ia sadar bahwa kepercayaannya dimusnahkan demi wanita lain.

Dira mendadak tak bisa bernapas dengan tenang. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang melonjak dari dadanya.

Temannya melirik. “Kenapa? Kliennya aneh, ya?”

Dira membuka matanya dan tersenyum tipis. “Enggak. Cuma… desainnya kayaknya harus aku kerjain sambil nelen sambel satu toples.”

Temannya tertawa, tak sadar bahwa lelucon itu menyimpan luka yang dalam.

Dira menatap layar lagi. Matanya menyusuri logo Ayam Penyet Satria yang tampak norak dan terlalu penuh warna. “Desainnya juga selera rendahan,” gumamnya pelan.

Tapi...lima belas kemudian..

Dira mencoba fokus, tapi tangannya gemetar di atas mouse. Setiap kali ia menyesuaikan warna atau memperbaiki font, wajah Satria muncul di kepalanya—senyum licik yang dulu ia percaya, suara lembut yang dulu meninabobokannya dengan harapan palsu.

Semakin ia mengutak-atik desain, semakin uring-uringan dirinya. Beberapa kali ia menghapus hasil kerjaannya sendiri, mengganti font berkali-kali, lalu mencoret-coret sketsa dengan bolpoin merah. Tangannya bergerak cepat, tapi wajahnya tampak semakin tegang.

“Warna merah cabe atau merah marah, sih?” gumam Dira sambil mendecak.

Salah satu rekan kerjanya lewat dan mengangkat alis melihat kondisi meja Dira yang seperti habis dilanda perang dunia ketiga—kertas berserakan, tutup bolpoin mental entah ke mana, dan Dira sendiri yang duduk dengan posisi nyaris tengkurap di meja sambil menggerutu.

Tak lama kemudian, muncul sosok yang selama ini lebih dikenal sebagai ‘bos misterius’ karena jarang bicara—namun kali ini justru berdiri di belakang Dira, memperhatikan layar monitornya.

“Dir?” suara itu pelan, tapi cukup mengejutkan.

Dira hampir menjatuhkan mouse. Ia menoleh cepat, lalu buru-buru duduk tegak seperti murid yang ketahuan nyontek.

“Eh… Pak… iya?”

Bosnya menyipitkan mata ke layar, lalu ke wajah Dira. “Kamu kelihatan… beda. Biasanya kamu kalau ngerjain desain santai tapi rapi. Ini… kok ada aura pengusiran jin?”

Dira hanya bisa cengar-cengir, separuh ingin tertawa, separuh ingin melempar monitor keluar jendela.

“Saya cuma… lagi dapet banyak inspirasi, Pak. Hehe.”

Bosnya tak langsung menanggapi, malah balik melihat folder brief di tangannya.

“Ini klien baru ya, Ayam Penyet Satria.”

Dira meneguk ludah pelan dan menjawab, “Iya, Pak. Baru masuk brief-nya tadi pagi.”

Bos mengangguk-angguk ringan. “Kamu udah survei ke tempatnya langsung? Kadang lebih enak kalau bisa ngerasain suasananya biar desainnya lebih ngena.”

Dira langsung gelagapan kecil, mencoba tetap tenang. “Eh… saya rasa enggak perlu, Pak. Soalnya, brand mereka udah lumayan terkenal. Banyak review online, foto-fotonya juga ada di G****e sama I*******m. Jadi saya pikir cukup dari situ aja udah bisa dapet gambaran besar.”

“Oh, gitu…” Bosnya masih mengangguk, tapi raut wajahnya belum menunjukkan bahwa ia sepenuhnya sepakat.

Belum sempat Dira menambahkan alasan lainnya, temannya yang duduk di seberang nyeletuk, “Eh iya, ide bagus tuh, Pak. Survei langsung aja! Kita juga belum pernah makan di sana, kan? Sekalian makan malam rame-rame!”

Dira langsung menoleh, kaget sekaligus panik. “Hah? Enggak usah, lah. Ngapain repot-repot…”

“Tapi kan enak, Dir,” sahut temannya polos, sambil merapikan kertas di mejanya. “Sekalian cari feel tempatnya buat kamu, biar desainnya bisa sesuai sama ambience restorannya. Lagian gratis, Pak Bos yang traktir, ya?”

Bosnya tertawa kecil. “Kalau demi profesionalitas dan hasil maksimal, boleh lah.”

Dira makin merasa terpojok. “Tapi… tapi saya udah ada bayangan konsep desainnya. Nanti tinggal saya finalize aja. Gak usah sampe ke lokasi juga gak apa-apa, Pak…”

“Justru karena kamu udah punya konsep, kita cocokkan langsung. Kan lebih mantap kalau validasi ke lapangan,” kata bosnya kalem, seperti guru sabar yang gak bisa dibantah.

Dira membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya nyari alasan yang lebih kuat, tapi semuanya terasa konyol. Masa dia bilang, “Soalnya itu tempat mantan saya yang dulu hancurin hidup saya dan bikin saya trauma ayam goreng sambel cobek”? Gak mungkin. Gak bisa. Gak profesional banget.

Akhirnya, ia hanya mengangguk dengan senyum maksa. “Hehe… iya deh, Pak.”

“Yeay!” Temannya langsung berdiri. “Gas ntar sore makan di Ayam Penyet Satria! Katanya sambelnya bisa bikin nangis!”

Dira tersenyum pahit. Iya, bukan karena pedes. Tapi karena sambelnya pernah dimasakin bareng.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan Belas - Ayam Penyet

    Aroma wangi dari dapur masih menggantung di udara saat Adrian duduk berhadapan dengan tiga piring ayam penyet yang tersaji dengan tampilan menggiurkan. Satu per satu sambel tersusun rapi di atas piring ayam goreng berwarna keemasan, lengkap dengan lalapan segar dan nasi hangat yang mengepul di mangkuk kecil.Ia mulai dengan potongan ayam pertama.Kulit ayamnya renyah keemasan, tapi ketika dipotong, dagingnya masih lembut dan juicy. Bumbunya meresap sempurna hingga ke tulang. Ungkepannya tidak sekadar asin atau pedas, tapi kompleks—aroma ketumbar, lengkuas, daun salam, dan serai saling berpadu dengan harmonis. Tekstur dagingnya empuk, tapi tetap punya gigitan yang menyenangkan.“Ini ayamnya…,” gumam Adrian, setengah tak percaya, “diungkepnya pas banget. Nggak kelembekan, nggak kering.”Dira mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas. “Itu resep lama. Tapi aku tweak sedikit. Aku tambah takaran air kelapanya. Bikin dagingnya lebih juicy.”Adrian mengangguk pelan, kagum. Ia lalu mencelup

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh Belas - Ayam Penyet

    Sebelum berangkat ke ruko, Dira dengan mata berbinar mengajak Adrian singgah dulu ke pasar tradisional.“Aku butuh bahan-bahan segar buat eksperimen sambelku. Yuk ke pasar dulu!” ajaknya penuh semangat.Adrian hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Ia mengikuti Dira keluar kantor, seolah itu hal yang wajar saja—seperti suami yang setia menemani istrinya belanja kebutuhan dapur.Pasar tradisional sore itu masih ramai, meski matahari mulai turun perlahan. Bau tanah basah bercampur aroma rempah, ayam potong, dan gorengan hangat memenuhi udara. Dira melangkah cepat di antara kios-kios, membawa daftar belanja di ponselnya. Di belakangnya, Adrian berjalan tenang sambil menggendong dua kantong belanja yang sudah berat, tanpa satu pun keluhan.“Aku butuh cabai rawit, bawang putih, keju, sama daun jeruk. Oh, sama tomat juga!” ujar Dira sambil terus melangkah, tidak menyadari bahwa jalur di depannya agak becek.Adrian baru mau membuka mulut untuk memperingatkan ketika—“Dir, hati-ha—”Belum sele

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam Belas - Ayam Penyet

    Setelah kondisinya membaik, Dira kembali melangkah masuk ke kantor. Napasnya sudah mulai stabil, meski sisa-sisa ketegangan masih tertinggal di dalam dadanya. Lala berjalan di sebelahnya, masih menatap Dira dengan tatapan khawatir tapi tidak berkata apa-apa. Begitu mereka melewati area kerja, semua mata langsung menoleh.Beberapa pura-pura kembali mengetik, yang lain hanya menunduk sambil mencuri pandang. Tapi Dira tidak lagi peduli. Ia menegakkan kepala dan berjalan lurus ke mejanya.Satria terlihat keluar dari ruangan Pak Lee dengan ekspresi seperti biasa—dingin, tenang, dan menyebalkan. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Seolah bukan dia yang baru saja dihujani amarah Dira di depan semua orang.Dira menahan napas, memalingkan wajah saat pria itu sempat melirik ke arahnya. Tapi Satria hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi begitu saja. Ia bahkan sempat menyapa salah satu staf di dekat pintu, membuat suasana jadi lebih aneh.Tak lama setelah Satria menghilang dari pandangan, telepo

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima Belas - Ayam Penyet

    Suasana kantor yang semula sudah tegang kini seperti retak di ujung jurang. Tidak ada satu pun yang berani bersuara saat Satria melempar sindiran itu, seolah semua napas menahan diri, takut menyulut percikan lebih besar.Dira mendekap tangannya di dada, berusaha keras menahan emosi. Tapi itu sia-sia. Ketika Satria melangkah lebih dekat, dengan senyum setengah mencemooh, Dira merasa dadanya seperti akan meledak.“Dulu, siapa yang tiap hari ngintilin aku? Ke mana aku pergi, kamu pasti ada di belakangku. Sekarang malah…,” Satria mengangkat bahu, suaranya dibuat seolah santai. “Mungut orang lain buat bantu kamu jalanin hidup?”Dira mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua bisik-bisik rekan kerja di sekitarnya makin menekan pikirannya. Rasa malu, marah, kecewa—semuanya bercampur jadi satu.Adrian masih berdiri di tempatnya, tetap tenang, seakan tidak terusik sama sekali oleh hinaan itu. Tapi Dira tidak bisa. Tidak kali ini.Dengan langkah lebar, Dira mendekat. Suara sepatunya berderap lantan

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status