Beranda / Romansa / Karma Pedas Sang Mantan / Tujuh - Ayam Penyet

Share

Tujuh - Ayam Penyet

Penulis: ohhyundo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 21:13:05

Malam telah larut saat Dira tiba di kos-kosannya. Lampu kamar menyala redup, menyambut keheningan yang terasa asing tapi akrab. Ia meletakkan tas dengan pelan, membuka jendela kecil di sudut kamar, dan duduk di tepi ranjang.

Semua kejadian hari ini menumpuk seperti sampah yang telat dibuang.

Proyek desain mendadak yang menyeret nama usaha masa lalunya. Pertemuan dengan Adrian yang penuh sindiran dan tensi. Dan yang paling menghantam: Satria, berdiri gagah di depan warung mahalnya, bersama istri dan anak yang tampak sempurna—mewakili semua yang dulu Dira impikan… tapi tidak ia miliki.

Dira memeluk lututnya, membiarkan diam melingkupi kamar. Tapi hatinya terlalu gaduh.

Ia meraih ponsel dan men-scroll kontak. Jarinya berhenti di satu nama: Buk Lik Ratna. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol telepon.

Satu dering. Dua dering. Lalu suara renyah yang begitu familiar menjawab, "Halo, le… wis tekan kosan?” suara Buk Lik terdengar cerah dari seberang telepon.

Dira menghela napas, suaranya lelah. “Baru aja, Bu Lik.”

“Lha suaramu kok lesu?"

Dira menghela napas. “Bu Lik… aku capek banget hari ini.”

“Capek kerja, atau capek mikir mantan?” sahut Buk Lik dengan nada jenaka.

Satu kalimat itu cukup bikin Dira akhirnya mengeluarkan suara yang tertahan. Campuran tawa kecil dan isak yang nyaris tak terdengar.

“Bu Lik… aku hari ini ketemu semuanya sekaligus.”

“Kabeh? Maksude?”

“Adrian. Dia yang punya warung tempat aku makan tadi.”

“Lha, itu mantanmu juga?”

“Bukan. Saingan waktu aku masih bareng Satria. Dulu kita buka bareng, bersaing ketat. Tapi… ternyata dia yang nyelametin aku dari harus makan di tempat Satria.”

“Halah. Dunia ki sempit banget yo,” gumam Buk Lik. “Terus, kamu kuat? Ketemu Satria maksude?”

“Nggak. Tapi sebelum pulang… aku lihat dia. Sama istrinya. Sama anak mereka.” Suara Dira mulai goyah. “Mereka keliatan bahagia banget, Bu Lik. Mobil bagus. Tawa anaknya. Lengkap. Dan aku cuma bisa berdiri di seberang jalan… kayak orang yang bahkan gak punya hak buat marah.”

Sejenak, di ujung telepon, hanya terdengar suara napas dari Buk Lik. Lalu, dengan nada lembut, ia berkata, “Le… kamu itu bukan kalah. Kamu cuma belum waktunya menang. Dan kadang, menang itu bukan berarti harus punya semuanya. Tapi bisa liat semua itu, tanpa sakit lagi.”

Dira diam. Menelan nasihat itu pelan-pelan.

“Tapi kenapa sakitnya masih ada?” lirihnya.

“Karena hatimu masih inget rasa. Masih inget janji-janji. Dan kecewa itu rasane lebih perih dari luka jatuh, Le. Tapi percayalah, rasa itu gak akan tinggal selamanya. Ditinggal wong sing mbok tresnani itu pait. Tapi kamu masih punya akal, punya hati, punya masa depan. Satria? Cuma masa lalu.”

Dira mengusap matanya.

“Trus, kalo suatu hari aku harus ketemu dia langsung? Hadap-hadapan? Di tempat kerja, misal?”

“Nafas sing jero, Diraku. Ditegesi. Anggep aja dia klien, bukan mantan. Tapi… kalo dia mulai ngelantur, tandain. Nggak usah diladenin. Wong sing ninggalin kamu di pemakaman ayahmu itu… ora pantes diajak diskusi soal perasaan.”

Dira terdiam. Kata-kata itu menancap dalam. Ayahnya. Hari pemakaman itu. Satria tak datang. Bahkan tak mengirim kabar. Seolah semua kenangan mereka bisa dikubur tanpa doa.

“Le…” suara Buk Lik melunak, “kamu boleh sedih. Tapi ojo lali, kamu masih punya aku. Wong tuamu emang wis ora ono, tapi kamu tak anggep anak kandungku dhewe. Kowe kuat, Dira.”

Tangis Dira akhirnya pecah—senyap, tapi melegakan.

“Terima kasih, Bu Lik…”

“Sama-sama, Le. Wis yo… sikat gigi, cuci muka, trus turu. Besok kudu melek, siapa tahu dapat rejeki ganteng-ganteng lagi.”

Dira tertawa kecil. “Yakin masih laku?”

“Yakin. Sing laku itu sing waras, bukan sing modal mobil doang.”

Telepon ditutup. Dan malam itu, Dira tertidur dengan mata sembab, tapi hati sedikit lebih lapang. Meskipun Dira tahu, hidup kadang tak semudah itu.

**

Dira datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Rambutnya dikuncir asal, wajah tanpa riasan, tapi hatinya… setidaknya lebih tenang dibanding semalam.

Ia membuat kopi sachet dari pantry, lalu duduk di meja kerjanya. Belum lima menit membuka layar, Lala datang dengan langkah tergesa.

“Dir! Kamu dipanggil Pak Bos ke ruang meeting sekarang.”

Dira menoleh. “Meeting soal apa?”

“Klien. Proyek Ayam Penyet itu. Kayaknya urgent.”

Dira mengangguk dan berdiri. Pikirannya masih tenang. Mungkin bosnya mau revisi konsep atau finalisasi layout. Ia masuk ke ruang meeting bersama Lala, lalu duduk di kursi sisi kanan meja.

Tak lama kemudian, Pak Bos masuk sambil membuka laptopnya.

“Sebentar ya, kliennya juga mau join langsung hari ini.”

Dan saat pintu terbuka lagi, Dira menoleh refleks.

Waktu berhenti.

Satria masuk dengan langkah ringan, senyum tipis di wajahnya. Mengenakan kemeja biru muda yang disetrika rapi, rambut tersisir licin. Tidak berubah. Bahkan senyum itu pun… masih sama seperti dulu.

“Pagi,” ucapnya santai. “Maaf telat dikit.”

Dira menegang.

Lala menoleh ke arah Dira yang mendadak kaku, lalu ke Satria. Tampak bingung, tapi belum curiga.

“Senang akhirnya bisa ketemu tim desainnya langsung,” lanjut Satria sembari menarik kursi.

Dan kemudian… matanya bertemu dengan mata Dira.

“Dira?” tanyanya pelan. “Kamu kerja di sini?”

Dira menegang di tempat duduknya, tapi tetap diam.

Lala yang duduk di samping ikut menoleh ke Satria, lalu ke Dira. “Wah, beneran ya… dari kemarin Dira terus ketemu orang-orang lama.”

Satria tersenyum kecil, seolah menanggapi lelucon itu, lalu menatap Dira lagi. Kali ini suaranya lebih tenang.

“Lama nggak ketemu.”

Kalimat itu seperti pisau kecil. Dingin. Terlalu ringan untuk seseorang yang pernah meninggalkan luka begitu dalam. Terlalu wajar, seolah mereka tak pernah punya masa lalu.

Seolah Dira hanyalah siapa saja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Karma Pedas Sang Mantan   Delapan Belas - Ayam Penyet

    Aroma wangi dari dapur masih menggantung di udara saat Adrian duduk berhadapan dengan tiga piring ayam penyet yang tersaji dengan tampilan menggiurkan. Satu per satu sambel tersusun rapi di atas piring ayam goreng berwarna keemasan, lengkap dengan lalapan segar dan nasi hangat yang mengepul di mangkuk kecil.Ia mulai dengan potongan ayam pertama.Kulit ayamnya renyah keemasan, tapi ketika dipotong, dagingnya masih lembut dan juicy. Bumbunya meresap sempurna hingga ke tulang. Ungkepannya tidak sekadar asin atau pedas, tapi kompleks—aroma ketumbar, lengkuas, daun salam, dan serai saling berpadu dengan harmonis. Tekstur dagingnya empuk, tapi tetap punya gigitan yang menyenangkan.“Ini ayamnya…,” gumam Adrian, setengah tak percaya, “diungkepnya pas banget. Nggak kelembekan, nggak kering.”Dira mengangkat alis, menyembunyikan senyum puas. “Itu resep lama. Tapi aku tweak sedikit. Aku tambah takaran air kelapanya. Bikin dagingnya lebih juicy.”Adrian mengangguk pelan, kagum. Ia lalu mencelup

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tujuh Belas - Ayam Penyet

    Sebelum berangkat ke ruko, Dira dengan mata berbinar mengajak Adrian singgah dulu ke pasar tradisional.“Aku butuh bahan-bahan segar buat eksperimen sambelku. Yuk ke pasar dulu!” ajaknya penuh semangat.Adrian hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Ia mengikuti Dira keluar kantor, seolah itu hal yang wajar saja—seperti suami yang setia menemani istrinya belanja kebutuhan dapur.Pasar tradisional sore itu masih ramai, meski matahari mulai turun perlahan. Bau tanah basah bercampur aroma rempah, ayam potong, dan gorengan hangat memenuhi udara. Dira melangkah cepat di antara kios-kios, membawa daftar belanja di ponselnya. Di belakangnya, Adrian berjalan tenang sambil menggendong dua kantong belanja yang sudah berat, tanpa satu pun keluhan.“Aku butuh cabai rawit, bawang putih, keju, sama daun jeruk. Oh, sama tomat juga!” ujar Dira sambil terus melangkah, tidak menyadari bahwa jalur di depannya agak becek.Adrian baru mau membuka mulut untuk memperingatkan ketika—“Dir, hati-ha—”Belum sele

  • Karma Pedas Sang Mantan   Enam Belas - Ayam Penyet

    Setelah kondisinya membaik, Dira kembali melangkah masuk ke kantor. Napasnya sudah mulai stabil, meski sisa-sisa ketegangan masih tertinggal di dalam dadanya. Lala berjalan di sebelahnya, masih menatap Dira dengan tatapan khawatir tapi tidak berkata apa-apa. Begitu mereka melewati area kerja, semua mata langsung menoleh.Beberapa pura-pura kembali mengetik, yang lain hanya menunduk sambil mencuri pandang. Tapi Dira tidak lagi peduli. Ia menegakkan kepala dan berjalan lurus ke mejanya.Satria terlihat keluar dari ruangan Pak Lee dengan ekspresi seperti biasa—dingin, tenang, dan menyebalkan. Seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Seolah bukan dia yang baru saja dihujani amarah Dira di depan semua orang.Dira menahan napas, memalingkan wajah saat pria itu sempat melirik ke arahnya. Tapi Satria hanya tersenyum tipis dan berjalan pergi begitu saja. Ia bahkan sempat menyapa salah satu staf di dekat pintu, membuat suasana jadi lebih aneh.Tak lama setelah Satria menghilang dari pandangan, telepo

  • Karma Pedas Sang Mantan   Lima Belas - Ayam Penyet

    Suasana kantor yang semula sudah tegang kini seperti retak di ujung jurang. Tidak ada satu pun yang berani bersuara saat Satria melempar sindiran itu, seolah semua napas menahan diri, takut menyulut percikan lebih besar.Dira mendekap tangannya di dada, berusaha keras menahan emosi. Tapi itu sia-sia. Ketika Satria melangkah lebih dekat, dengan senyum setengah mencemooh, Dira merasa dadanya seperti akan meledak.“Dulu, siapa yang tiap hari ngintilin aku? Ke mana aku pergi, kamu pasti ada di belakangku. Sekarang malah…,” Satria mengangkat bahu, suaranya dibuat seolah santai. “Mungut orang lain buat bantu kamu jalanin hidup?”Dira mengepalkan tangannya kuat-kuat. Semua bisik-bisik rekan kerja di sekitarnya makin menekan pikirannya. Rasa malu, marah, kecewa—semuanya bercampur jadi satu.Adrian masih berdiri di tempatnya, tetap tenang, seakan tidak terusik sama sekali oleh hinaan itu. Tapi Dira tidak bisa. Tidak kali ini.Dengan langkah lebar, Dira mendekat. Suara sepatunya berderap lantan

  • Karma Pedas Sang Mantan   Empat Belas - Ayam Penyet

    Sadar situasi mulai terlalu aneh, Dira cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Adrian. Wajahnya memanas, bukan hanya karena sabun yang masih menetes dari jemarinya, melainkan juga karena kedekatan tadi yang sukses membuat hatinya berdebar tak karuan.“Eh… Ini, desainnya,” Dira mengalihkan perhatian, membuka topik sambil pura-pura sibuk membilas piring. “Kamu mau bahas sekarang?”Adrian menggeleng cepat. “Udah malem, Dir. Besok aja. Sekarang kamu udah capek, aku juga.”Dira mengangguk lega. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan dirinya dari kecanggungan yang lebih parah.Setelah tumpukan piring bersih mengering di rak, Adrian buru-buru membereskan meja dan menutup seluruh bagian ruko. Dira mengambil tasnya, bersiap pamit.“Aku pulang, ya. Makasih udah dibolehin bantu,” ucap Dira ringan.Namun Adrian langsung menghalangi langkahnya. “Aku anter.”“Nggak usah, Adrian. Aku bisa sendiri.”“Tetep harus dianter.” Tanpa banyak kata, Adrian mengambil helm cadangan yang tergantung di belakang p

  • Karma Pedas Sang Mantan   Tiga Belas - Ayam Penyet

    Sore itu, Dira berlari tergesa-gesa ke arah sebuah ruko sederhana bertuliskan “Ayam Penyet Berkah” di depannya. Nafasnya tersengal, keringat kecil membasahi pelipisnya. Ruko itu, yang biasanya sepi, hari ini justru ramai dipenuhi pelanggan.Begitu sampai di depan meja gorengan, Dira berdiri sebentar, membenahi napasnya. Dengan deham pelan, ia menarik perhatian Adrian yang masih sibuk membolak-balik ayam di wajan besar.Adrian melirik sekilas. Tanpa berkata apa-apa.Dira menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri bicara, “Maaf… aku telat. Tadi ada kerjaan mendadak.”Tak ada balasan. Adrian hanya menunduk, kembali fokus mengangkat ayam-ayam goreng ke atas tampah. Tapi Dira bisa melihat jelas dari raut wajahnya—kesal, capek, dan sedikit… bingung.Melihat itu, Dira spontan menawarkan diri, “Aku bantu, ya?”Adrian menoleh, menahan ucapan, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah. Ini urusan—”Belum selesai Adrian menolak, suara pelanggan memanggil dari meja, “Mbak, pesanannya, ya!”Dira tanpa pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status