"Oh, bagus. Menantu tak berguna sudah pulang rupanya!" ketus Mama sambil mendekat. Garang ia menatapku. Sementara Vania duduk di meja makan, tak peduli.
"Sekarang kamu sudah berani berbuat kasar ya? Berani kamu menampar Vania!" Mama menunjuk-nunjuk mukaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam. Rupanya istriku benar-benar mengadu. Jantungku berdebar kencang, menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Mana suaramu? Jangan cuma berani sama perempuan kamu! Vania itu anak kesayangan Mama. Seumur hidup, tidak pernah seujung jari pun Mama memukulnya!" Wanita paruh baya di depanku berkacak pinggang.
"Ma—maaf, Ma. Semalam Dani benar-benar khilaf ...." Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Tak ada pembelaan lain. Bagaimanapun juga, tindakanku memang salah. Kulirik istriku yang langsung membuang muka.
"Khilaf, khilaf, katamu! Sudah jadi kere, sekarang malah berani main kasar! Nih, rasakan!" Sebuah tamparan keras dari Mama mendarat di pipiku. Terhuyung, aku merasa penglihatan sedikit berkunang. Dalam hati aku terus beristighfar.
Mama berlalu sambil menyeringai puas. Senyum kecil juga terlihat di wajah Vania.
"Bagaimana, enak Dan, rasanya ditampar?" tanya Mama sambil membuka bungkusan di atas meja. Mengeluarkan ayam-ayam goreng yang aromanya menerbitkan air liur.
Kuusap pipi yang terasa panas. Sakit ini, tak seberapa dengan pedihnya di dalam hati. Harga diriku sebagai seorang lelaki dan suami, benar-benar diinjak. Kalau saja Mama adalah lelaki, mungkin sudah mendarat bogem di wajahnya.
Maka mulai detik itu juga, aku berjanji akan mengikuti permainan mereka. Jika mereka bisa berubah jahat, maka aku pun sama.
"Dani memang pantas mendapatkannya, Ma. Tapi Vania pun juga sama. Ia sudah keterlaluan. Mungkin Mama juga harus mendidik putri Mama lagi dengan baik," jawabku dengan tenang.
"Apa maksudmu, Bang?" Vania bangkit dari duduknya dengan mata membulat.
"Tunggu, Dani! Mau ke mana kamu!" teriak Mama lantang.
Tak kupedulikan kedua wanita itu. Dengan langkah tergesa, aku ke kamar mandi untuk membersihkan badan.
*
Saat keluar dari kamar mandi, kutemui mereka sedang menyantap hidangan di atas meja makan. Tak ada sedikit pun mereka menawariku. Aku tersenyum kecut, kembali teringat masa lalu. Setiap minggu, biasanya aku mengajak Vania, Mama dan Papa untuk makan malam di restoran atau kafe. Kini, keadaan sungguh terbalik. Saat aku terpuruk, mereka tak memikirkanku sedikit pun.
"Vania sudah kenyang, Ma," kata istriku, lalu bersendawa.
"Tapi ini ayam gorengnya masih ada. Kamu habiskan saja, tak usah bersisa. Lagi pula kan, belinya pakai uang Mama!" Mertuaku sengaja berkata dengan suara lantang.
"Duh ... udah gak muat Ma, di perut Vania!" rengeknya manja seperti anak kecil.
"Hmm, ya sudah! Mama saja yang habiskan. Nanti kalau tidak habis, malah digondol kucing garong!" Aku tahu itu adalah sindiran untukku. Biarlah. Habiskan saja, Ma. Habiskan! Biar perut bergelambir itu tambah berlemak.
Untung saja sewaktu pulang tadi aku berinisitif membeli beberapa butir telur dan sekilo beras. Dugaanku benar, uang lima puluh ribu yang kutinggalkan sudah lenyap. Namun, tak ada nasi maupun lauk yang disediakan Vania untukku.
Tanpa mengindahkan mereka, dengan cekatan kutanak nasi. Menggoreng telurnya nanti saja, kalau nasi sudah matang.
*
Aku sedang asyik menggoreng telur, saat tiba-tiba Mama sudah berdiri di dapur dengan tangan terlipat di dada.
"Dani, mana uang arisan Mama?" tanyanya tanpa babibu. Aku menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke wajan. Kukira wanita tua itu sudah tak membutuhkanku.
"Maaf, Ma. Belum ada," jawabku singkat. Sebenarnya, setiap hari Sabtu pak Wira memberikan gaji kami. Di dalam tas, aku sudah memegang uang sembilan ratus ribu, upahku bekerja selama enam hari. Uang arisan Mama yang lima ratus ribu, bisa saja kuberikan.
"Ya terus, gimana? Gak mungkin kan, Mama gak bayar? Malu-maluin aja!" katanya sambil mengibas rambut yang mulai memutih.
Kupandangi ia sejenak. Seingatku, dulu Mama tidak semenyebalkan ini. Entah kenapa, kini aku baru menyadarinya. Mungkin dulu uang betul-betul membungkam sikap buruknya itu terhadapku.
"Mama jual saja itu, gelang yang berderet di lengan Mama." Aku menyendokkan nasi ke piring yang sudah berisi telur goreng.
"Apa? Mama tidak salah dengar? Sudah gila kamu ya, Dani!" Teriakannya menggema. Aku yakin tetangga kami mendengar. Kutinggalkan ia sendiri di dapur, menuju ke meja makan. Remah-remah sisa ayam goreng masih berserakan di sana. Sejak kapan Vania jadi sejorok ini? Dulu dia senang berberes dan bersih-bersih. Apakah itu hanya pura-pura juga? Ah, entahlah.
Kunikmati makan malam dengan nikmat. Rasa lapar menjadi lauk terenak. Tak kutawari Mama ataupun istriku. Toh, mereka sudah makan tanpa menawariku juga. Vania duduk di depan TV. Sesekali melirik ke arahku dan Mama.
"Pokoknya Mama gak mau tau, sebelum hari Senin uangnya sudah harus ada!"
Kuselesaikan makan dengan cepat. Malas kalau harus berlama-lama meladeni wanita yang kupanggil Mama itu.
"Ma, gelang itu dulu juga Dani yang beli, kan? Mama jual saja dulu, untuk bayar arisan. Masalah selesai. Kalau Mama mau uang dari Dani, entah kapan adanya."
Wajah Mama merah padam. Mungkin tak menyangka aku bisa menjawab seperti itu. Sementara Vania menatapku tajam.
"Kamu sekarang benar-benar gak berguna, Bang! Bisa-bisanya menyuruh Mama menjual perhiasan. Di mana rasa tanggung jawabmu?" desis Vania.
"Ya terserah! Kalau kamu dan Mama saja tidak memikirkan Abang, kenapa Abang harus susah payah memikirkan kalian?" Aku menggendikkan bahu.
Vania dan Mama saling pandang dengan mulut menganga.
"Se—sejak kapan Abang berubah begini?" Rasa terkejut sepertinya tak bisa disembunyikan istriku. Oh, dia benar-benar ingin tahu?
"Sejak kamu juga berubah! Coba lihat dirimu yang sekarang, Vania. Rasa hormat kepadaku sudah hilang tak bersisa. Tengok juga sekelilingmu. Rumah tidak terurus. Entah apa yang kau kerjakan seharian! Pakaian kotor menumpuk. Cucian piring seperti gunung. Lantai berdebu! Ingat-ingatlah lagi seperti apa dirimu yang dulu!" Aku berhenti untuk mengambil napas yang sedikit ngos-ngosan.
"Belum lagi Mama yang hanya minta uang, uang, dan uang! Tanpa mengurangi rasa hormat, aku katakan Mama memang mata duitan! Sama saja dengan anaknya! Sebelas dua belas. Kalian pikir, aku ini mesin ATM?"
Kuluapkan semua, apa yang terasa mengganjal di dada. Biarlah, jika mereka akan semakin membenciku.
"Kurang ajar kamu, Dani!" jerit Mama. Dilemparnya sebuah gelas ke arahku. Dengan cepat aku mengelak, hingga gelas menghantam dinding lalu jatuh berderai. Vania terlihat syok, tak bisa berkata-kata.
"Kurang ajar, kamu! Kurang ajar!" Mama terus meracau sambil melempariku dengan barang apa pun yang ada di dekatnya.
"Cukup, Ma! Kalau Mama tidak berhenti, Dani terpaksa menyeret Mama keluar!" Aku tersulut emosi. Gerakan Mama terhenti. Dadanya naik turun dengan napas tidak teratur.
Vania langsung berlari memeluk wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Sudah, Ma. Sudah! Nanti darah tinggi Mama kumat. Vania akan buat perhitungan dengan Bang Dani nanti!" katanya sambil mengelus pundak Mama.
Mama masih menatapku tajam. Badannya terlihat gemetar karena menahan amarah. Salahnya sendiri, tak bisa menjaga sikap.
"Kalau kamu masih kurang ajar lagi, akan kusuruh Vania bercerai darimu!" Ancaman itu keluar begitu saja dari mulutnya. Aku tak membalas, takut salah berucap. Istriku pun tampak tak kalah terkejutnya.
Semarah apa pun aku sekarang, tak pernah terlintas untuk menceraikan Vania. Rasa cintaku masih sangatlah besar. Masih berharap bahwa ia akan berubah lagi menjadi istri yang baik.
"Mama pulang, Van! Cerai saja dari suamimu yang sudah kere itu, jika ia masih kurang ajar!"
***
Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb
“Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma
“Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki
Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia
“Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m
“Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”