Home / Romansa / Karma Sang Penggoda / Bab 4 - Pengorbanan.

Share

Bab 4 - Pengorbanan.

Author: Azzila07
last update Last Updated: 2022-01-14 14:32:07

Mas Daniel masih bersimpuh, di sertai isak tangis. Tangisnya pecah dengan badan yang bergetar hebat.

 

Rusak sudah semua cintaku, Mas.

 

"Tolong jangan siksa perasaanku, ampuni aku. Kumohon ..." ucapnya terbata-bata.

 

Siapa disini yang lebih tersiksa?

 

Bukankah aku? Mengapa dia seperti orang yang paling tersakiti.

 

"Aku akan melakukan apa pun. Kumohon ..." sambungnya lagi.

 

"Sudah kah?" tanyaku dengan suara datar.

 

Mas Daniel mendongkkan kepala, dengan mata penuh penyesalan.

 

"Sekalipun kau menangis darah, itu tidak akan mengubah apapun." ucapku sambil menatap dalam matanya.

 

Mas Daniel terperangah mendengar ucapanku, bibirnya bergetar dengan mata yang kembali berembun.

 

Lihatlah Mas, kau bahkan sangat menyedihkan. Tapi ini belum seberapa dengan sakit hati yang kau toreh.

 

"Kalau merasa tak nyaman dengan sikapku. Kamu bisa pergi dari rumah ini," aku tersenyum sinis, sambil melangkah menaiki tangga. Meninggalkan, Mas Daniel dalam kehampaan.

 

Inginku akhiri semua ini, namun hatiku menahannya. Aku ... tak ingin menyesal seperti Ayah. Biarlah, semua mengalir seiring berjalannya waktu. Walau aku sendiri tak tahu, mau dibawa kemana hubungan ini.

 

Sebulan ini Mas Daniel menunjukan perhatian secara berlebihan, dia akan mengantarku berangkat ke kantor dan menjemputku pulang. Walau kami dalam mobil yang berbeda.

 

Segala cara dia lakukan untuk merebut hatiku kembali. Namun hatiku seolah membeku walau sekedar bicara dengannya.

 

Drett ... drett!

 

Gawaiku berbunyi saat aku hendak menyantap sarapan. Kuambil benda pipih di dalam tas, lalu menjawab panggilan masuk.

 

"Ya, Mam?" ucapku sambil menempelkan benda pipih di telinga.

 

"Fi ... kerumah, Mamih sekarang." ucap tegas suara perempuan diujung telpon.

 

"Ada perlu apa?" tanyaku sambil meneguk susu putih yang ada di depanku.

 

"Sudah datang saja, ajak Daniel juga. Mamih tunggu," panggilan langsung terputus, tanpa menunggu jawabanku.

 

Cih ... Mamih dan anak sama saja, selalu sesuka hati dan tak punya etika.

 

"Siapa?" tanya Mas Daniel yang baru keluar dari kamarnya, tangannya sibuk memakai jam tangan.

 

"Mamih," jawabku singkat.

 

Mas Daniel bergeming dengan raut wajah pias, namun dia cepat menguasai diri. Sedikit mengulas senyum lalu menarik kursi dan duduk didepanku.

 

"Ada apa?" tanyanya ragu-ragu.

 

"Kita disuruh kerumah sekarang," balasku sambil menaruh pisau dan garpu di atas piring.

 

"Oh yah, kalau kamu sibuk tidak usah datang." ucapnya dengan suara tenang.

 

Tingkahnya membuatku curiga, aku tau sesuatu yang tidak benar jelas terjadi. Melihat tangannya terus mengepal, seperti itulah saat dia sedang menahan ketegangan.

 

"Aku akan datang. Habiskan sarapanmu," titahku membuatnya terkejut.

 

"Oh ... baiklah," balasnya dengan senyum kaku.

 

Mas Daniel memulai sarapan dengan sangat lambat, seolah ingin mengulur waktu.

 

"Pakai mobilku saja," ucapnya sambil membuka pintu mobil, berharap aku masuk ke dalamnya.

 

"Tidak perlu. Aku masih banyak kerjaan, tempat kerja kita berbeda." ucapku tegas dan melewatinya menuju mobilku.

 

Mas Daniel tersenyum getir kearahku, dengan gerakan pelan dia kembali menutup pintu.

 

Mobil berhenti di rumah dua lantai bercat putih gading. Bunga warna-warni bermekaran di taman, rumput hijau tertata rapih dengan air mancur menari-nari di kolam ikan. Membuat sejuk siapapun yang memandang.

 

Aku melangkah memasuki rumah yang pintunya terbuka lebar. Mataku terpaku, melihat gundik suamiku bercucuran air mata sambil memeluk kaki, Mamih mertuaku.

 

Dasar gundik, tak punya malu. 

 

"Ayo masuk sayang," ucap Mas Daniel sambil menarik lembut tanganku.

 

Aku masih bergeming melihat, Anitta yang menoleh ke arahku dengan senyum kemenangan.

 

Mata Mas Daniel mengikuti pandanganku. Jelas sekali dia sangat terkejut dengan apa yang dia lihat.

 

"Daniel, Fiona. Masuklah," suara Mamih memecahkan lamunanku.

 

Memasuki rumah dengan hati yang berdebar. Entah apa yang direncanakan, Anitta. Pandanganku beralih pada sosok perempuan setengah baya yang duduk di sofa samping Mamih, tangannya sibuk mengusap air mata dengan tatapan menyedihkan ke arah, Mas Daniel.

 

Waw ... sepertinya akan terjadi drama yang sangat dramatis. Dengan aktris berpengalaman, aku sangat mengenal sosok perempuan setengah baya itu. Mata duitan dan selalu mengagungkan uang.

 

Di sudut ruangan terlihat, Papih mertua sedang mengepulkan asap dari mulutnya. Dan Arina, Kakak iparku duduk agak jauh dengan Mamih.

 

Kuhempasakan bobot di sofa panjang, mencoba bersikap biasa saja dan setenang mungkin.

 

"Daniel duduk!" titah Mamih dengan suara tinggi.

 

Mas Daniel melihat Anitta dengan tatapan tak suka, lalu menghempaskan bobot di sampingku.

 

"Anitta tengah mengandung anak, Daniel. Mereka harus segera di nikahkan. Sebelum aib ini menyebar kemana-mana," ucap Mamih tanpa basa-basi, matanya tajam mengarahku.

 

"Mamih dengar kamu sudah tau. Bagaimana menurutmu, Fiona?" sambungnya lagi tanpa berkedip ke arahku.

 

"Kalau memang begitu, menikahlah. Aku tidak akan menghalangi," balasku dengan tatapan dingin.

 

"Namun sebelumnya, Daniel harus menceraikan aku." pandanganku beralih pada Mas Daniel.

 

Mas Daniel menggeleng mantap, tangannya langsung menggenggam kedua tanganku.

 

"Kemarin aku sudah memberi uang dua puluh juta padamu, dan kau setuju untuk mengguguran kandungan itu." mata Mas Daniel menatap murka pada, Anitta.

 

Anitta menggeleng kuat sambil memegangi kaki Mamih. Tangisnya mengeras dengan isakan menyayat hati. Ck, bikin muak!

 

"Gila kamu Daniel, ingin membunuh anakmu sendiri!" teriak Mamih dengan wajah garang.

 

"Mamih tidak akan mengizinkan, Anitta menggugurkan kandungannya. Mamih sudah lama ingin menimang cucu darimu," sambung Mamih dengan dada naik turun. Wajahnya merah padam menahan amarah.

 

"Maaf Mas, aku tidak bisa. Aku lebih memilih mempertahankan dia," Anitta mengelus perut yang mulai sedikit buncit.

 

"Akanku kembalikan uangmu, aku tak butuh itu semua." ucapnya sambil terisak.

 

"Memiliki dua istri tidak berdosa, Agama menghallal-kan. Mamih yakin kamu bisa berbuat adil," suara Mamih melemah, dia memandangiku dengan sorot meremehkan.

 

"Sudah lima tahun menikah, Fiona tak pernah menunjukan tanda-tanda kehamilan. Mamih harap Fiona bisa mengerti," ucapnya tanpa meraba perasaanku, membuat gemuruh di dalam dada meruak. Aku hanya tersenyum getir menanggapi ucapan, Mamih.

 

"Aku dan Mas Daniel saling mencintai, kamu tidak berhak menghalangi hubungan kami. Terlebih aku sedang mengandung buah hatinya," sahut Anitta dengan senyum mengejek.

 

"Sudah kubilang. Aku tidak pernah menghalangi, menikahlah ..." balasku dengan senyum manis yang kupunya. Aku malah bersyukur jika terlepas dari, Mas Daniel.

 

"Tidak ... lebih baik aku kehilangan anak itu, dari pada harus berpisah denganmu." ucap Mas Daniel tegas.

 

Mata Anitta memerah, jelas sekali dia merasa terhina oleh ucapan Mas Daniel.

 

Janin yang dia banggakan, kini tidak berarti apa-apa di mata suamiku.

 

"Daniel. Jaga ucapanmu!" teriak Mamih dengan wajah garang.

 

Tiba-tiba wanita paruh baya yang sejak tadi terisak berlutut di hadapanku, air matanya bercucuran membasahi pipi.

 

"Ibu mohon, Nak. Izinkan Anitta menikah dengan, Daniel. Kasihanilah kami ..." ucapnya sambil mengiba kepadaku.

 

"Ibu ... jangan merendah di hadapannya!" sembur Anitta sambil menarik tangan, Ibunya.

 

Namun si Ibu menepis tangan anaknya. Dia kembali meratap ke arahku.

 

"Seorang Ibu akan melakukan apa pun demi anaknya. Kamu akan mengerti nanti!" sergahnya.

 

"Apa aku harus mencium kakimu, agar kamu bisa menerima Anitta?" ucapnya sambil memohon dengan tatapan nanar.

 

"Ibu!!" sentak Anitta.

 

"Semua akan aku korbankan, demi kebahagiaan anakku. Tidak peduli jika harus merendahkan diri." sambungnya dengan isak tangis sambil menundukkan kepala. Terlihat sangat menyedihkan.

 

"Baiklah ..." ucapku sambil tersenyum, mataku menatap satu demi satu orang yang ada di ruangan ini.

 

"Ciumlah, kakiku ..." aku menyilangkan kaki di depan Ibu Anitta, sontak membuatnya mengangkat kepala. Dia menatapaku nanar seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar.

 

Semua mata tertuju padaku, mata Mamih dan Anitta terbelalak kaget melihatku. Mereka tau aku tidak pernah main-main dengan apa yang aku ucapkan.

 

"Ciumlah ... tunjukan pengorbananmu," ucapku dengan suara lembut.

 

Aku menggerak-gerakan kaki, sambil mengangguk pasti. Agar Ibu Anitta segara menciumnya.

 

***Ofd.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Muhamad Seno Untoro
seru juga ka ceritanya
goodnovel comment avatar
Nur Fatimah
dasarr.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Karma Sang Penggoda   Bab 64 - TAMAT.

    "Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."

  • Karma Sang Penggoda   Bab 63 - Bertemu Fiona.

    "Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran

  • Karma Sang Penggoda   Bab 62 - Bagian special.

    Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam

  • Karma Sang Penggoda   Bab 61 - Berakhir.

    Pov Anitta."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahk

  • Karma Sang Penggoda   Bab 60 - Sudah lelah.

    "Aaaaa!" aku menjerit ketakutan. Pegangan itu tersenyum menyerigai, lalu membuka mulut dan mengeluarkan semua binatang menjijikan."Hah ... hah!" Aku langsung terlonjak dengan nafas memburu. Keringat sebiji jagung bercucuran dari kening hingga kewajahku. Aku mengedarkan pandangan, ruangan sempit masih mengelilingiku."Hiiiyyy." aku bergidik ngeri, mimpi tadi seolah nyata dan aku merasa benar-benar tenggelam dalam lautan darah."Uhuk ... uhuk!" nafasku tersendat. Aku kesulitan bernafas.Hah hah!Benar-benar kurang ajar. Untuk apa perempuan pengeretan itu hadir didalam mimpiku. Aku jadi takut sendiri berada diruangan sempit ini."Pak ... Pak!!" aku berteriak sambil memukul gembok pada pintu besi. Tenggorokanku kering, dan tidak ada satu pun setetes air minum disini."Ada apa! Jangan berisik. Ganggu saja!" maki petugas gendut."Air, saya butuh air." jawabku dengan tatapan memohon."Minum ... haus," pintaku."Ck! Menyusahkan saja sih." maki Polisi itu. Dengan sangat terpaksa dia membalik

  • Karma Sang Penggoda   Bab 59 - Bertemu Ibu.

    Pov Anitta."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck," laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas h

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status