(disarankan membaca part ini sambil mendengarka lagunya tata Janeta "sang penggoda)"Dek!""Iya mas?" Tukiman menghampiri Menik yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk dihalaman belakang, didepan sebuah kolam ikan yang beberapa hari yang lalu dibuat sesuai permintaan Menik.Istrinya itu sudah banyak berubah kini, terlihat begitu cantik dan matang. Lelaki mana yang tak tergoda melihat istrinya kini yang nyaris sempurna sebagai wanita dewasa."Maafkan aku ya dek""Untuk apa mas?" Menik menghentikan kegiatannya dan memperhatikan Tukiman. Ada apa dengan suaminya itu? Beberapa hari setelah kepulangan ya, dia selalu Jo sinis. Kenapa tiba-tiba dia berubah jadi sok manis?"Maaf jika sikapku kurang baik belakangan ini, sungguh semua itu karena besarnya rasa takut akan kembali kehilanganmu. Terus terang aku cemburu dengan Rudi. Aku takut dia akan merebut mu dariku, aku sadar diri jika dia jauh lebih baik dariku dari segi apapun.""Jika aku mau mas, mungkin sudah dari dulu aku menghianati
Tukiman terdiam merenungi ucapan Menik barusan, kenapa Menik begitu marah? Salahkah jika dia bersikap baik terhadap Sumini? Lalu apa bedanya dengan yang dia lakukan dengan Rudi?Bukankah itu justru lebih hina? Dia terlalu dekat dengan seorang pria yang statusnya buka siapa-siapa, sedangkan Sumini adalah sah istrinya. Lagi pula sudah sepuluh tahun ini Sumini setia melayaninya dengan baik.Lalu kenapa Menik meributkan tentang Sumini yang mengajari Astutik melakukan pekerjaan rumah? Bukankah sudah kodratnya seorang wanita bisa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah? Toh slama ini hidupnya baik-baik saja meski jauh dari ibunya. Lalu apa yang salah?Bahkan kini Menik seolah melempar kesalahannya kepada dirinya. Menik menuduh dirinya berubah, padahal Menik lah yang sebenarnya berubah. Menik yang dia kenal adalah seorang perempuan yang baik, lembut juga sabar. Itu yang dulu membuat dia begitu mencintainya, namun kini? Ucapan dan perilakunya sangat kasar. Bahkan barusan dia juga berani membenta
"Buuuu.... Ibuuuu....""Astutik! Kenapa pulang-pulang teriak-teriak? Kayak nggak punya aturan saja! Ini rumah, bukan hutan!""Iya Bu maaf, lihat ini buuu, Tutik lulus bu!" "Alhamdulilah, anak ibu. Selamat ya nakk" ujar Menik yang terharu melihat nilai Astutik yang hampir mencapai nilai sempurna. Dipeluknya anak gadis tersebut. "Setelah ini apa rencanamu sayank?"Tanya Menik dengan penuh kasih sayang sambil membelai rambut anaknya."Aku ingin menjadi seorang dokter yang hebat Bu""Mulia sekali nak cita-cita mu, ibu akan dukung apapun itu selagi positif.""Tapi Buu, bagaimana dengan bapak?" Mengingat bapaknya, Astutik menjadi murung seketika, bagaimana pun bapaknya selama ini sangat menentang keinginan ibunya untuk membawa Astutik kekota untuk melanjutkan pendidikannya."Tenang saja nduk, itu urusan ibu. Yang terpenting sekarang, siapkan dirimu baik-baik. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, karena masuk sekolah dokter itu tidak mudah!""Apakah bapak mengijinkan Bu?""Harus! Anak ibu h
Astutik begitu terkagum melihat keramaian kota yang tak pernah dia temui didesanya. Selama ini Astutik tidak pernah keluar jauh dari desanya.Sama seperti ibunya, Astutik adalah seorang gadis yang pendiam dan pemalu.Astutik begitu menikmati perjalanan ini, seakan dia lupa dengan beban yang dia tinggalkan dirumah karena ketidak setujuan bapaknya."Bu, apakah ini masih jauh?""Apakah kamu sudah lelah sayang?"Dielusnya rambut anaknya dengan lembut, rambut yang hitam legam itu terurai, menambah pesona anaknya yang kini telah beranjak remaja."Tidak bu, justru Tutik sangat menikmati perjalanan ini, ternyata kota seperti ini ya Bu. Banyak kendaraan, banyak orang berjualan, banyak rumah-rumah yang menjulang tinggi. Pantas saja dulu ibu kerasan disini"Astutik berucap dengan sangat ringan, sehingga tanpa dia sadari menggores hati sang ibu."Ibu tidak pernah menikmati keberadaan ibu disini nduk, disini adalah tempat ibu berjuang dengan keras, bermandikan peluh dan air mata. Disini tempat
Tukiman menatap kamar yang biasa digunakan istri dan anak perempuannya dengan nanar. Serasa ada yang tercabut dari dadanya, rasanya begitu sakit.Tukiman menyadari kesalahannya, dia terlalu egois. Sungguh dia tak bermaksud menyakiti hati dua orang yang paling berharga dalam hidupnya tersebut. Tukiman hanya tak ingin berpisah dari mereka, terlebih dikota dimana saat ini mereka berada, ada seseorang yang sangat dia cemburui.Sungguh semua ini dia lakukan karena besarnya rasa cinta kepada keduanya.Dia menyesal telah bersikap kasar kepada Menik, sehingga melukai hatinya.Sungguh melihat Menik terluka karena sikap dan ucapnya, Tukiman pun juga merasakan sakit yang sama. Itu semua dia lakukan untuk menutupi ketidak percayaan dirinya menghadapi Menik yang kini semakin bersinar terang dan bisa berdiri tegap, seakan tak lagi membutuhkannya. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki terasa tercabik habis.Kini setelah keduanya pergi, rasa takut akan kehilangan itu semakin menjelma menjadi nyata.
Hari masih begitu pagi ketika Tukiman membangunkan Wijaya. Hatinya semakin gusar memikirkan penyesalannya. Dia tidak ingin terlambat, masih ada waktu untuk memperbaiki semua ini."Wijaya, bangun Nak!""Bapak, ada apa sih pak? Masih pagi ini!"Wijaya kembali menarik selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Udara didesa memang masih dingin dan segar, apalagi dipai hari seperti ini."Bangun, ayo segera siap-siap!"Wijaya melirik bapaknya, bingung dengan apa yang dimaksud bersiap."Bersiap untuk apa pak? Memangnya kita mau kemana?""Kita susul ibu dan adikmu! Makanya kamu segera bangun, bawa keperluanku seperlunya saja!"Wijaya langsung bangun seketika mendengar bapaknya yang ingin menyusul ibu dan adiknya kekota."Sudahlah pak, Jaya mohon, jangan halangi Astutik untuk meraih cita-cita nya, jangan halangi juga kebahagiaan ibu. Kasian pak ibu, bahkan jaya sering elihat ibu yang diam-diam menangis."Bukan nak, bapak justru mau minta maaf kepada mereka, bapak akan merestui adikmu. Bapak akan
BRAAAKKKKKKMenik kaget melihat kejadian dibelakangnya, Tukiman yang tengah mengaduh memegang kakinya, akibat terserempet sebuah motor ketika akan menyebrang untuk menyebrangnya. Untung saja luka yang diderita Tukiman tidak separah yang dia takutkan, namun mengendara motor tersebut harus jatuh, dan menyebabkan motornya rusak dibeberapa bagian."Kalau mau nyebrang dipakek dong matanya, mau cari mati Lo?"Tukiman kaget, kenapa dia yang diserempet justru dia yang dimarah-marahi?Kenapa orang kota tidak punya sopan santun seperti ini?"Iya mas sabar, rumah saya disebrang sana, kita minum dulu mas, nanti saya akan ganti semua kerusakan motor masnya!" Ujar Menik yang berusaha Menengahi mereka.Melihat Tukiman yang berjalan terpincang, tumbuh rasa iba dihati Menik, bagaimana pun dia masih menyandang sebagai seorang istri dari Tukiman.Astutik begitu kawatir ketika bapaknya jalan dengan terpincang, dan lutut yang berdarah. Sedangkan Wijaya segera menolong Tukiman, tanpa banyak bertanya sete
Dirabanya kening Sumini yang terasa begitu panas ditangan Tukiman. Diperhatikannya wajah wanita yang kini telah beranjak tua tersebut. Memang dia tak secantik Menik istrinya, namun entah kenapa ada perasaan tak tega membayangkanya hidup sendiri. Ada perasaan iba membayangkan buruknya nasib yang selama ini dia jalani. Bukan dia tak ingat tentang apa yang wanita didepannya itu lakukan pada kehidupannya dan Menik di masa lalu. Kejahatan itu memang tak bisa dimaafkan. Namun semua itu dia anggap sebagai takdir yang telah digariskan oleh tuhan. Teringat pula olehnya pesan sang paman agar memulangkan Sumini begitu Menik kembali. Perasaan bersalah itu semakin besar membayangi. Dia semakin bingung harus apa yang dia lakukan.Kembali dipegang tangan lemah itu."Dek, kamu kenapa? Badanmu mu panas sekali? Apa perlu kita ke dokter?""Kang? Kamu sudah datang"Sumini berucap dengan lemah dengan membuka sedikit matanya."Tidak perlu, aku baik-baik saja."Lalu seakan melupakan rasa lelah yang dia rasa