Share

Karma untuk Suami Pelit
Karma untuk Suami Pelit
Author: Tetiimulyati

1. Istri Baru

"Tiap hari, menu di meja makan, ini terus, sangat membosankan! Apa tidak ada lauk yang lain selain tempe dan tahu?!" Mas Riko bangkit sambil menggebrak meja.

"Tapi uang yang Mas beri hanya mampu untuk membeli tahu dan tempe." Aku mencoba untuk membela diri.

"Aku sudah kasih uang seratus ribu untuk satu minggu. Kalau menunya seperti ini terus besok aku turunkan jadi lima puluh ribu!"

"Apalagi uang segitu Mas, satu hari saja mana cukup!"

"Kamu itu jadi istri harus pandai atur keuangan. Pandai bersyukur, jadi benalu saja banyak maunya," ucapnya seraya bangkit dan meninggalkan meja makan dalam keadaan emosi.

Aku tertegun, berusaha menenangkan hati, uang nafkah seratus ribu seminggu saja diungkit, sedangkan kemarin aku menemukan bon di kantong kemejanya, berbelanja jutaan rupiah entah untuk siapa.

Itu adalah salah satu percakapan kami satu bulan yang lalu. Setiap hari memang selalu ada saja yang diributkan oleh Mas Riko. Kurang inilah, kurang itulah, semua harus sesuai dengan keinginannya. Sementara uangnya dia kasih hanya seratus ribu seminggu.

Dan hari ini, aku sudah benar-benar tidak tahan. Hari minggu ini, seharusnya Mas Riko ada di rumah, menghabiskan waktunya bersama keluarga terutama putri semata wayang kami. Tapi pagi-pagi sekali dia sudah rapi dan berpamitan pergi tidak jelas. Maka segera kukemasi barang-barangku, habis sudah kesabaranku.

"Kamu pikirkan lagi, Lis. Memangnya kamu bisa hidup tanpa aku? Orang tua sudah gak ada, pekerjaan pun tidak punya. Lalu kalian mau makan apa? Lebih baik terima nasib saja jadi istri pertama. Kamu tidak perlu memikirkan biaya hidup, hanya tinggal rela berbagi suami saja dengan Alin."

Ucapan Mas Riko sama sekali tidak bisa menghentikan gerakanku memasukkan pakaianku dan Kayla-puteri kami-ke dalam tas besar. Tekadku untuk berpisah dari Mas Riko sudah bulat setelah kemarin dia terang-terangan membawa wanita lain ke rumah ini.

Wanita yang diakui sebagai istri barunya itu memang cantik dan terawat. Pantas saja lantaran Alin adalah salah satu rekan kerja satu kantor dengan Mas Riko yang mungkin tidak pernah terkena asap dapur sepertiku.

Sebenarnya aku sudah tahu sejak beberapa bulan yang lalu perihal hubungan mereka. Secara tidak sadar Mas Riko sering memuji kecantikan wanita itu di depanku. Lalu diam-diam aku berteman dengan Alin di media sosial dengan menggunakan akun palsuku. Wanita itu kerap mengunggah poto bersama Mas Riko. Meski wajahnya disembunyikan, tapi aku tahu postur tubuh dan pakaian suamiku sendiri.

Dan puncaknya adalah tiga hari yang lalu. Mas Riko membawa Alin ke rumah.

"Terima atau tidak, terserah kamu. Aku cuma mau memberitahu kalau aku dan Alin sudah menikah."

"Kamu tega melakukan ini padaku, Mas?" Saat itu langit seperti runtuh menimpaku. Meski aku sudah tahu perihal hubungan mereka, tetap saja hati ini terasa sakit.

"Jangan salahkan aku, Lis. Salah kamu sendiri yang tidak bisa mengurus diri. Lihat dirimu yang tidak terawat itu, sangat membosankan. Padahal setiap bulan aku memberi uang yang cukup untuk pergi ke salon."

Kali ini aku tidak mau menjawab. Padahal uang bulanan yang dia berikan padaku tidak sampai seperempatnya dari gaji Mas Riko. Itu pun kadang aku berikan pada Ibunya Mas Riko, mertuaku. Ibu mertuaku itu seorang janda, hidup mengandalkan uang pensiun Ayah mertuaku yang dulunya hanya pegawai golongan rendah di sebuah instansi pemerintah. Aku sudah mengusulkan pada Mas Riko untuk memberikan uang setiap bulan pada Ibu, tapi apa jawabnya.

"Ibu itu hanya hidup berdua dengan Reka. Uang pensiunan ayah sudah lebih dari cukup. Kamu pikirkan saja kebutuhan rumah kita."

Saat itu aku hanya diam. Meski akhirnya aku tidak sampai hati melihat ibu mertuaku kekurangan. Apalagi Reka, adik bungsu Mas Riko itu masih sekolah.

"Makanya punya wajah dan tubuh itu dirawat. Jadi suamimu tidak melirik wanita lain yang lebih enak dipandang." Masih kuingat nyinyiran Alin kemarin ketika dengan mesranya tangan suamiku menggandeng pinggang rampingnya.

"Enak dipandang saja percuma, rumah tangga itu bukan hanya untuk dipandang tapi juga dirasakan." Aku memberanikan diri menatap mata wanita itu. Seketika mata yang dipenuhi bulu mata palsu itu membola.

"Buktinya Mas Riko lebih menyayangi aku ketimbang wanita lusuh sepertimu," cibirnya lagi.

"Sudahlah, Sayang, tidak usah berdebat. Toh keputusanku sudah jelas." Mas Riko mencoba menengahi, lebih tepatnya mungkin membela wanita itu. Dia sama sekali tidak memikirkan perasaanku.

Aku membuang nafas berat ketika teringat sikap keduanya tiga hari yang lalu dan pria itu sekarang masih berdiri di hadapanku, melihatku merapikan baju-baju dan barang-barang kami.

"Keputusanku sudah bisa tidak bisa diubah lagi, Mas. Seperti keputusan Mas Riko untuk menikahi wanita itu. Aku hanya minta Mas Riko mengantarku secara baik-baik pada Mbak Tika. Seperti dulu Mas memintaku padanya."

"Aku tidak berniat menceraikanmu. Jadi kalau kamu bersikeras untuk pisah dariku, aku tidak mau tahu. Dan aku tidak mau mengantarmu, karena ini bukan keinginanku." Sambil bersilang tangan di dada, pria tampan yang dulu sangat memujaku itu berkata sinis.

"Baiklah, Mas, kalau itu maumu," ucapku sambil menggendong Kayla kemudian meraih tas yang sudah kupersiapkan lantaran terdengar klakson dari luar rumah. Itu pasti mobil taksi yang ku pesan secara online tadi.

Rasanya berat meningkatkan rumah yang penuh kenangan ini. Rumah yang terbilang cukup mewah ini memang sudah ada ketika Mas Riko menikahiku dan cicilannya baru selesai satu tahun yang lalu. Dua tahun pertama aku menikah dan tinggal di rumah ini memang penuh dengan kebahagiaan. Mas Riko begitu mencintai dan menyayangiku hingga saat aku hamil pun dia begitu perhatian. Sikapnya berubah ketika Kayla sudah memasuki tahun kedua, anak itu sudah belajar berjalan dan aku semakin kerepotan mengurusnya. Sehingga kuakui memang aku tidak sempat memperhatikan diri sendiri. Pantaslah kalau Mas Riko mengatakan aku tidak bisa mengurus diri karena waktuku habis untuk mengurus rumah dan memperhatikan Kayla.

Aku menolak menggunakan jasa pembantu ataupun babysitter lantaran Mas Riko tidak mau mengeluarkan uang lebih.

"Kalau kamu mau memakai jasa pembantu, pakai uang yang sudah kuberikan. Sisanya atur untuk keperluan rumah."

Jelas saja aku tidak mau, jatah bulanan yang sangat minim lalu dipotong untuk membayar pembantu, sudah terbayang pusingnya aku mengatur uang itu.

"Anak kita 'kan baru satu, rumah ini pun tidak terlalu besar. Aku pikir kamu bisa mengurusnya sendiri." Itu yang dikatakan Mas Riko ketika aku mencoba memintanya untuk mengeluarkan uang lebih.

Daripada berdebat akhirnya aku menerima dan rela menghabiskan waktuku untuk mengurus rumah dan anak semata wayang-ku. Tapi pada akhirnya Mas Riko malah menyalahkan aku. Lantaran aku dinilainya tidak bisa mengurus diri.

Satu-satunya orang yang aku harapkan bisa menampungku adalah Mbak Tika, dia adalah sepupuku, anak kakaknya Ibu. Aku anak tunggal dan Ayah meninggal ketika aku masih kecil, sementara Ibu juga berpulang beberapa tahun sebelum aku menikah dengan mas Riko. Rumah yang Mbak Tika tempati adalah warisan dari Kakek kami, itu artinya aku punya hak juga dengan rumah itu. Serta beberapa usaha dan aset lainnya yang semuanya sekarang dikelola oleh Mbak Tika. Setiap bulannya memang diam-diam aku menerima transferan dari Mbak Tika untuk nambah-nambah biaya rumah tangga kami. Kalau tidak seperti itu, mana bisa aku membalikan susu untuk Kayla.

Aku akan membuktikan pada Mas Riko, jika aku bisa hidup tanpanya dan dia akan menyesal telah menyia-nyiakan aku.

Bersambung

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Riris Poppy
Kan sudah dijelaskan uang bulanan dikasih ke mertua
goodnovel comment avatar
Isabella
betul tinggalin aja suami omdo
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
anak cuman 1 tapi kamu kerepotan banget sampai g bisa merawat diri. kamu yg dungu dan tolol. udah tau suami selingkuh tapi kamu g mengambil tindakan apa2
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status