Share

2. Pulang

Setelah berada di dalam taksi, air mata yang sedari tadi aku tahan akhirnya keluar juga. Kali ini aku membiarkannya membasahi pipiku. Toh tidak ada yang melihatnya, Kayla sedang anteng dengan mainan yang sengaja aku berikan padanya sementara Pak sopir juga fokus ke jalan.

Selama lima tahun aku mencoba bertahan. Awal menikah sikap Mas Riko memang sangat manis padaku, meskipun saat itu dia sudah perhitungan dengan uang. Aku tidak pernah meminta lebih sebab aku tahu Mas Riko harus menyicil rumah ini. Saat jabatannya naik dan otomatis gajinya pun naik Mas Riko menambah cicilan mobil. Aku juga masih tidak banyak menuntut. Rumah dan mobil juga aku ikut menikmatinya.

Namun ketika suatu hari aku mengetahui jumlah gaji yang diterima setiap bulannya tidak sama dengan yang dia katakan padaku. Aku mulai bertanya-tanya digunakan untuk apa uang itu sebenarnya. Apalagi saat itu kebutuhan rumah tangga juga meningkat dengan lahirnya Kayla. Aku pernah meminta tambahan uang untuk membeli susu anak semata wayang kami.

"ASI Kamu memangnya kenapa, sampai harus membeli susu formula?" Kalimat itu yang pertama dia ucapkan sebagai reaksinya.

"ASI-ku hanya sedikit keluarnya, Mas. Jadi Kayla sering kekurangan apalagi kalau malam-malam."

Beberapa malam belakangan ini memang Kayla sering rewel, itu karena ASI hanya keluar sedikit.

"Halah! Itu 'kan juga masih keluar. Kamu makan dan minum yang banyak, nanti juga jadi ASI, kok."

Bagaimana aku makan yang banyak jika lauknya tidak ada. Uang yang dia berikan tidak pernah cukup untuk memberi lauk yang banyak apalagi sekarang harus memberi diaper untuk Kayla.

"Tapi tetap saja kurang, Mas."

"Kalau begitu, beri Kayla makan yang banyak, pasti dia kenyang dan lelap tidurnya."

Setelah itu aku tidak mau lagi berdebat. Sebab sehebat apapun aku berusaha memberi pengertian, tetap saja ujung-ujungnya aku pasti kalah. Mas Riko sangat pandai memberikan alasan.

Sebenarnya aku ingin menanyakan perihal gajinya yang mencapai balasan juta. Tapi lagi-lagi aku malas berdebat yang ujung-ujungnya dia akan menghinaku habis-habisan. Aku memang benalu seperti yang dia katakan, sebab selama ini di mata Mas Riko aku tidak pernah menghasilkan uang. Tapi bukankah menafkahi istri itu kewajiban, kenapa malah menjadi beban bagi dia.

Akhirnya, saat itu aku langsung menghubungi Mbak Tika. Selama pernikahanku dengan Mas Riko, butik yang menjadi hak-ku, warisan dari orang tuaku memang dikelola oleh Mbak Tika. Mas Riko memang tidak tahu perihal butik itu. Rencananya aku mau memberitahu dia setelah kami menikah, maksudnya supaya menjadi kejutan kalau istrinya ini memiliki usaha sendiri.

Namun kalimat yang diucapkan di malam pertama setelah kami sah menjadi suami istri, membuatku mengurungkan niat untuk memberitahu dia perihal butik itu.

"Mulai saat ini kamu tidak boleh kemana-mana. Seorang istri harus betah di rumah tidak boleh keluyuran tanpa seizin dan sepengetahuan suami. Apalagi mencari nafkah sendiri. Kamu tahu nggak, bagiku istri yang mencari nafkah itu sama dengan istri yang melecehkan suaminya. Jadi berapapun yang aku berikan nanti, kamu harus bersyukur."

Saat itu aku hanya mengiyakan saja, mengangguk tanda mengerti dan setuju pada yang dia katakan. Tahun pertama kami menikah semua kebutuhan tercukupi, Mas Riko sendiri yang berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku tidak pernah kekurangan makanan, kebutuhan dapur dan alat-alat kosmetikku juga semua terpenuhi. Baru setelah menginjak tahun kedua dan aku mengandung Kayla, Mas Riko meminta aku sendiri yang berbelanja. Namun, yang membuatku tercengang adalah uang bulanan yang dia berikan padaku jauh dari kata cukup. Ketika aku meminta lebih, dia bilang aku harus pandai berhemat.

"Kamu tahu 'kan, kita masih menyicil rumah ini. Jadi kamu meski bisa berhemat untuk menekan pengeluaran bulanan kita." Alasan yang masuk di akal dan aku tidak banyak protes.

"Ma, kita, kok, pergi ke rumah Bunda Tika nggak bareng Papa?" Lamunanku terhenti ketika Kayla mengajukan pertanyaan.

"Papa 'kan lagi banyak kerjaan di kantornya, jadi kita pergi berdua saja, ya."

"Nanti Papa menyusul?" Gadis berusia tiga tahun itu mengajukan pertanyaan lagi yang membuatku tidak bisa menjawab.

"Iya, kalau nggak sibuk, Papa pasti menjemput."

Entah pertanyaan apa lagi yang akan Kayla ajukan ketika nanti sudah lama tinggal di rumah Mbak Tika, yang jelas aku harus siap-siap untuk memberikan jawaban.

Untuk menghindari pertanyaan berikutnya akhirnya aku dengan lembut meminta Kayla untuk tidur. Karena perjalanan masih lumayan jauh. Dan anak itu pun akhirnya terlelap di pangkuanku. Sebenarnya Mas Riko tidak terlalu dekat dengan Kayla lantaran dia jarang sekali tinggal di rumah. Hanya sesekali ketika aku minta, itu pun tidak selalu dia penuhi.

Mas Riko selalu punya alasan untuk menolak ketika aku memintanya untuk mengajak Kayla sekedar jalan-jalan. Hal itu nyaris tidak pernah dia lakukan. Aku pun menyiasatinya dengan mengajak Kayla pergi ke mall atau ke area permainan di siang hari ketika Mas Riko tidak ada di rumah. Aku tahu ini salah, pergi tanpa izin dan memberitahu suami. Tapi demi untuk menjaga kewarasanku juga untuk menyenangkan hati Kayla, terpaksa Aku lakukan secara diam-diam.

Hingga beberapa waktu yang lalu aku mendapati dia tengah berjalan di sebuah mall bersama Alin. Dan saat ini aku yakin dia tidak tahu kalau aku melihatnya. Aku memilih pergi saat itu juga, khawatir kalau mereka melihat kami. Aku juga tidak membahasnya, percuma saja sebab kami akan berdebat tanpa mendapatkan solusi.

"Sudah sampai, Bu." Suara Pak sopir mengagetkanku dan ternyata kami sudah berada di depan rumah yang ditempati oleh Mbak Tika. Aku pun segera keluar dengan menggendong Kayla yang masih tertidur, sementara beberapa tas dan barang-barang lainnya diturunkan oleh Pak sopir.

Setelah meminta pegawai Mbak Tika untuk membawa barang-barangku ke dalam aku pun bergegas masuk dan kulihat Mbak Tika tengah bersiap-siap untuk pergi ke tempat kerjanya.

"Lisa? Kok, ke sini tidak mengabari Mbak dulu?" sapanya sambil mendekat lalu seperti biasa, kami pun berpelukan.

"Ya, Mbak. Maaf aku tidak sempat memberitahu Mbak."

"Loh, ada apa ini?" Mbak Tika bertambah heran ketika melihat pegawainya membawa masuk barang-barangku.

"Kamu .... " ucapnya kemudian yang sontak aku iya-kan.

"Aku sudah tidak tahan lagi, Mbak. Jadi aku memutuskan untuk pisah saja."

Lalu sekilas aku jelaskan tentang pernikahan Mas Riko dengan Alin, selingkuhannya.

Mendengar itu Mbak Tika menjatuhkan bahunya. Sebenarnya wanita itu tidak harus kaget mendengar berita ini, lantaran aku sudah menceritakan padanya jika suatu saat kemungkinan ini akan terjadi. Dia juga sudah tahu apa yang terjadi dengan rumah tanggaku dan Mas Riko.

Akan tetapi, kenapa Mbak Tika terlihat seperti tidak senang mendengar aku berencana untuk berpisah dengan mas Riko. Atau jangan-jangan dia akan merasa terbebani dengan kedatanganku?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status