Hari sial tidak ada di kalender dunia, begitupun hari keberuntungan. Entah mengapa di hari pertama Artha bekerja dia merasa sial, namun juga merasa beruntung. Seorang Dara Viora memilih lelaki biasa seperti Artha untuk menjadi calon pendampingnya. Sungguh itu pernyataan yang terdengar mustahil, tapi sangat nyata Artha rasakan.
"Staf marketing itu adalah calon suami Dara." Perkataan itu masih berputar dikepala Artha, bahkan dirinya sedaritadi tidak fokus bekerja. Artha mengacak rambutnya begitu frustasi. "Kenapa lo? Berat ya kerja di hari pertama?" Tegur Karla seraya merapihkan mejanya. "Berat banget, mau cepet-cepet resign," jawab Artha seenaknya padahal jika boleh jujur dia sangat senang karena bekerja di perusahaan besar. Namun, perkataan Dara membuat semangatnya terputus begitu saja. "Pasti habis dimarahin Dara ya? Kan, gue bilang kasih dokumennya, habis itu lo pergi. Pasti lo godain dia kan? Jangan sangka, walaupun Dara cantik, dia itu galak." Artha menghela nafasnya panjang, Karla sama sekali tidak tahu apa yang Artha rasakan saat ini. Jikapun Artha harus bercerita pasti Karla tidak akan percaya, apalagi Artha karyawan baru disana. "Dah lah, gak usah dipikirin. Dara emang begitu orangnya, dia suka marah-marah gak jelas. Lebih baik lo pulang, terus istirahat, besok masuk kerja lagi," tutur Karla mencoba membuat Artha betah bekerja disana. Artha hanya menggerang pelan lalu beranjak bangkit untuk merapihkan mejanya karena jam kantor sudah selesai, mereka harus pulang kerumahnya masing-masing. "Gue balik duluan ya," izin Karla langsung bergegas pergi. "Hati-hati." Saat baru beberapa langkah Karla berjalan untuk keluar ruangan, tiba-tiba dia melihat Dara berjalan tergesa-gesa masuk kedalam ruangan Marketing. Bukan hanya Karla yang melihatnya bingung tapi banyak karyawan lain yang merasa bingung dengan kehadiran Dara. "Mau ngapain lo kesini ra?" Tanya Karla saat Dara melewati dirinya. Dara tidak menjawab pertanyaan Karla. Perempuan itu menyelonong untuk menghampiri Artha yang sedang merapihkan mejanya. Tiba-tiba Dara menarik tangan Artha begitu saja membuat laki-laki itu terkejut seketika. "Ikut saya," ajak Dara kepada Artha. Karla mendesis kesal. "Gara-gara gue, tuh, cowo kena masalah." Karla akhirnya tersadar akan kesalahannya menyuruh Artha keruangan Dara tadi. Artha menarik tasnya dengan buru-buru lalu ikut Dara pergi karena tangannya ditarik begitu saja. Karla yang berprasangka jika semua salahnya akhirnya mencegah kepergian mereka. "Ra, ra, jangan bawa Artha pergi. Ini bukan salah dia, kok. Tadi gue yang nyuruh dia nganter dokumen ke ruangan lo." Dara menatap Karla diam hingga beberapa menit kemudian Dara akhirnya kembali menarik tangan Artha untuk ikut bersamanya tanpa menjawab perkataan Karla terlebih dahulu. "Dara!" Teriak Karla. "Kasihan juga anak baru itu." **** Didalam mobil brio itu Artha berada. Duduk disamping seorang perempuan cantik yang sedang fokus mengemudi. Tidak ada perbincangan apapun diantara mereka membuat suasana terasa sangat amat canggung. "Bu Dara," dengan ragu Artha mengeluarkan suaranya tapi tak ada sahutan dari Dara. "Soal tadi pagi yang saya tidak sengaja menumpahkan kopi di baju ibu, saya minta maaf." Dengan kasar Dara menginjak rem mobilnya secara mendadak sehingga membuat mereka berdua dengan sontak terhuyung kedepan dan hampir terbentur dasboard. Mata Artha melotot sangat terkejut. "Kenapa kamu membahas masalah kopi?" Artha tercengang bingung. "Hah?" "Kenapa kamu gak bertanya kepada saya mengenai masalah tadi dengan ayah saya?" Tanya Dara lagi membuat Artha seketika terdiam. Dara mendesis kesal, dia memandang Artha dengan raut wajah datar. "Siapa nama kamu?" "Arthala Narendra." "Ingat ya, Arthala. Perkataan saya dihadapan ayah saya tidak main-main. Kamu harus menikahi saya minggu ini." Artha masih terdiam bungkam. Hingga beberapa menit kemudian dia tertawa begitu saja membuat Dara mengernyit bingung. "Kenapa kamu ketawa?" Ketus Dara. "Kata semua orang Bu Dara galak, padahal aslinya humoris kan? Buktinya tiba-tiba ajak saya menikah, padahal saya karyawan baru. Mustahil itu...hahaha..." ujar Arta seraya tertawa tidak percaya. Dara mendesis pelan. "Saya serius. Kita akan menikah." Artha seketika terdiam kembali dengan menatap wajah Dara yang menampilkan wajah datar dan seriusnya. Dara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas lalu dia menunjukkan suatu gambar kepada Artha. "Lihat. Undangan sudah dibuat satu jam setelah saya memutuskan kamu untuk menjadi suami saya." Mata Artha mendelik sangat tidak percaya. Namanya sangat jelas tercatat di konsep buku undangan yang cukup mahal. Dara benar-benar ingin menikah dengannya. "Ayah saya sudah menyewa dekorasi, MUA, bahkan perlengkapan pernikahan yang lain. Semua itu dilaksanakan minggu ini." Artha menggelengkan kepalanya. "Gak Bu. Ini pasti bohong kan? Saya baru kenal atasan saya, saya baru bekerja diperusahaan ibu." "Apa kamu tidak percaya dengan semua ini?" Tanya Dara dianggukan oleh Artha dengan antusias. "Tentu saja saya tidak percaya." Dara tertawa kecil. "Saya tidak memaksa kamu untuk mempercayai semua ini, Artha. Tapi, saya menyuruh kamu menyetujui permintaan saya tentang pernikahan ini." Artha mengernyit. "Maksud ibu?" Dara menghela nafasnya sedikit kasar lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kertas kecil yang dia simpan didalam kertas dokumen berwarna biru, lalu dia memberikan kertas itu kepada Artha beserta satu buah bolpoin. "Tolong dibaca sampai selesai baru bisa protes." Artha dengan fokus membaca setiap kata yang tertulis didalam kertas itu. Surat perjanjian Menikah 1. Sang pengantin Lelaki harus perjaka 2. Pernikahan ini cuma mainan 3. Sang lelaki harus mau menjadi suami palsu untuk Dara Viora 4. Sang lelaki harus memberikan anak untuk Dara Viora. 5. Setelah anak lahir, sang lelaki tidak boleh ikut campur dalam mengurusnya 6. Perceraian akan dilakukan setelah semua keputusan sudah disepakati oleh Dara Viora 7. Dara Viora akan membayar sejumlah uang yang sang lelaki inginkan. 8. Tidak ada harta gono-gini dari sang anak karena anak itu akan menjadi anak kandung Dara Viora seutuhnya. 9. Sang lelaki bebas pergi tanpa meninggalkan jejak apapun untuk Dara Viora. Setelah membaca kertas itu, Artha mengalihkan pandangannya kearah Dara dengan diam. Dara sedikit mendesis, tak suka dengan respon Artha yang selalu diam. "Silahkan tanda tangan dan setujui semua itu," suruh Dara dengan seenaknya. "Saya menolak ini semua," jawab Artha dengan datar. "Kenapa? Bukankah dengan menerima itu semua kamu bisa mendapatkan apapun dari saya? Lagian pernikahan itu tidak lama, kita akan bercerai setelah saya memiliki anak." Artha meletakkan kertas itu diatas dasboard. "Saya tidak gila harta. Saya akan menikah dengan perempuan yang saya cintai dan itu akan saya lakukan satu kali seumur hidup tanpa perceraian." "Artha, ayah saya sudah tau kamu. Bahkan undangan sudah dibuat dan sebentar lagi akan di sebarkan. Kamu tinggal setujui perjanjian itu lalu saya akan membayar kamu semahal apapun yang kamu minta." Artha menggelengkan kepalanya tetap kekeuh menolak itu semua. "Saya tidak mau Bu Dara. Sekali lagi saya minta maaf." Saat Artha hendak keluar dari dalam mobil Dara, ia langsung segera menahan tangan Artha dengan raut wajah memohon. "Artha, tolong bantu saya. Saya tidak tahu harus menikah dengan laki-laki seperti apalagi. Saya cuma berharap sama kamu." Artha melihat tangan Dara yang menahan tangannya itu. Raut wajah Dara tidak bisa bohong, dia terlihat sedih karena matanya sedikit berkaca-kaca. "Sebenarnya saya juga tidak ingin menikah secepat ini. Saya masih ingin bersenang-senang dengan dunia saya. Tapi ayah memaksa saya untuk menikah karena dia sebentar lagi akan pensiun, dia ingin saya memberikan cucu untuknya. Bahkan dia akan mengangkat saya sebagai Direktur utama perusahaan asalkan saya mau menikah." Artha hanya diam mendengar penjelasan Dara kepadanya. "Awalnya saya dijodohkan dengan Yugo. Dia anak dari CEO batu bara. Tapi saya menolak itu semua karena saya tau jika perilaku Yugo begitu buruk kepada perempuan lain. Yugo beberapa kali sudah memperkosa wanita dan tidak bertanggung jawab sedikitpun. Saya tidak mungkin menikah dengan dia, Artha. Saya menolak itu semua sehingga ayah memberikan keringan kepada saya jika saya harus menikah meskipun dengan laki-laki lain dengan waktu satu minggu. Jika saya tidak menemukan laki-laki yang akan menikahi saya, Yugo akan segera bertindak, dan saya tidak mau, Artha." Artha melepaskan tangan Dara begitu saja. "Tapi saya tidak bisa, Bu. Saya cuma orang kecil bahkan saya karyawan baru di perusahaan. Bagaimana dengan pandangan semua orang kepada saya?" "Kamu gak usah khawatir. Saya akan menyembunyikan pernikahan ini sebaik mungkin. Tidak ada orang kantor yang tahu kecuali rekan terpercaya ayah. Saya bisa memalsukan pernikahan saya, Artha...sehingga orang kantor akan berfikir jika saya menikah dengan orang luar negeri." Artha hanya terdiam tak berani mengambil keputusan apapun. "Ayah saya hanya gila keturunan. Dia ingin mempertahankan perusahaannya sampai anak cucunya merasakan semua hasilnya. Jadi untuk status pernikahan kita kelak, mungkin ayah tidak akan perduli. Tolong bantu saya, Artha. Saya mohon." Dara terlihat begitu kebingungan dengan semua itu tapi Artha juga tidak bisa menerima keputusan berat itu. Mungkin semua rencana yang sudah Dara susun akan berdampak baik untuk Dara, tapi tidak berdampak baik untuk Artha. Pasalnya jika semua itu tercapai Artha harus meninggalkan statusnya sebagai suami Dara bahkan Artha juga harus meninggalkan perannya sebagai ayah dari anaknya. Itu begitu sulit. "Anggap saja saya membeli sperma kamu untuk menghasilkan keturunan. Tolong bantu saya, Arthala... saya tidak mau menikahi seorang laki-laki pelacur." Artha dengan cekatan mengambil kertas yang berada di dasboard itu lalu menandatanginya dengan pasrah. Tanpa mengucapkan apapun lagi dia bergegas turun dari mobil Dara meninggalkan perempuan itu yang menitikkan air matanya.Dara berjalan tertatih menuju ruang ICU, ia berharap Artha berada disana. Saat dirinya hendak masuk kedalam, tiba-tiba seorang dokter keluar bersama beberapa perawat mendorong brankar sorong yang terdapat seseorang tertutupi kain putih."Stop!" Teriak Dara memberhentikan perawat itu yang membawa seorang tertutup kain putih tersebut.Dara melangkah mendekat meskipun rasanya terasa berat. Nafasnya memburu cepat, air matanya sudah berdesakan keluar, serta perasaan berkecamuk terus ia rasakan.Saat Dara berdiri tepat disamping pasien yang tertutup kain putih itu, ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya perlahan membuka kain tersebut. Tak ada larangan dari dokter, mungkin Dara juga ingin melihatnya."Artha–" Mata Dara melotot saat orang yang ia lihat ternyata bukan Artha melainkan pasien lain dengan wajah penuh luka."Maaf Bu, apakah pasien ini keluarga ibu? Dia mengalami kecelakaan tunggal dan tidak ada pihak keluarga yang bisa kami hubungi," Tanya Dokter tersebut kepada Dara.Dara kembal
Dara saat ini mencoba bersabar dan memperluas dirinya untuk berdoa kepada sang kuasa. Cuma itu yang bisa Dara lakukan untuk menolong Artha karena dia sudah tidak tahu harus berbuat apalagi.Setiap kali Dara bersujud pasti wajah Artha yang selalu terbayang dipikirkannya, ia cuma ingin laki-laki itu sembuh dan menjadi imam yang sesungguhnya untuk Dara.Setelah melakukan kegiatan rutinnya sholat lima waktu dan berdoa untuk kesembuhan Artha. Sore ini Dara turun dari kamarnya dengan hati-hati karena ia merasa lapar. Lagi pula tak mungkin Dara merepotkan ibunya terus menerus untuk mengantarkan makanan ke kamar Dara."Bunda?" Panggil Dara."Ayah?" Panggilnya gantian karena Dara merasa rumahnya sangat sepi padahal mereka berjanji untuk menemani Dara dirumah sampai Dara melahirkan.Drrtt...drttt...Suara ponsel rumah Dara berdering, Dara yang ingin melangkahkan kakinya ke dapur menjadi mengurungkan niatnya dan memilih mengangkat telfon tersebut."Halo?""Dara ini ibu."Tubuh Dara seketika mene
"Seafood pedas manis favorit Dara sudah siap."Dara melihat makanan itu terjejer rapih diatas meja makan. Sungguh, saat ia tau makanan itu menyakiti Artha, Dara menjadi sangat membencinya. Buktinya, saat ini Dara lebih memilih mengambil tempe goreng dan sayur soup saja.Pak Jaksara dan Bu Jessy saling lirik merasa heran dengan anaknya itu."Dara gak suka masakan Bunda ya?" Tegur Bu Jessy.Dara menoleh kearah Bu Jessy. "Mulai sekarang bunda gak usah mengingat makanan favorit Dara ya. Seafood bukan makanan favorit Dara lagi. Dara membencinya karena makanan itu sudah menyakiti Artha."Bu Jessy mengangguk pasrah, sepertinya ia sangat mengerti dengan perasaan Dara sekarang. "Yaudah, makanan ini bunda berikan ke bibi aja ya.""Bibi?" Panggil Bu Jessy dan seorang Art datang menghampirinya."Ada seafood untuk bibi, nanti dibawa pulang aja ya Bi," ujar Bu Jessy dianggukan oleh Art itu dengan senang."Terimakasih ya Bu, pak, non," ucap Art itu kepada mereka.Setelah itu, Bu Jessy duduk disana i
Tiga bulan kemudian...Kini kandungan Dara sudah memasuki bulan kelahiran. Tapi dia sama sekali tidak ada semangat sedikitpun untuk menyambut kehadiran sang bayi.Hari-hari Dara rasanya telah berubah setelah Artha dinyatakan kritis pada tiga bulan lalu. Laki-laki itu meskipun masih bisa tertolong, tapi tidak kunjung sadar dari komanya. Dan Dokter malah menambah pengawasan di ruang ICU karena Artha bisa sewaktu-waktu kritis kembali, bahkan dokter berkata jika tidak ada penanganan lagi yang bisa dilakukan jika Artha tidak kunjung sadar.Dara tidak bisa menjaga Artha seperti biasanya pasalnya dokter hanya mengizinkan untuk menjenguknya untuk beberapa menit saja dan itu hanya dilakukan satu orang bergantian.Seperti saat ini, Dara hanya terduduk didepan ruang ICU menunggu gilirannya dengan Bu Hanna seraya memegangi sebuah sarung tangan bayi yang dibelikan Bu Hanna untuk cucunya itu. Dara hanya terdiam, bahkan untuk bersedih saja dia sudah merasa begitu lelah.Tak lama pintu ruangan itu te
Hari berganti hari, Dara masih setia menjaga suaminya yang sudah dua minggu ini tidak sadar dari koma. Meskipun sedang hamil, Dara ingin dirinya selalu ada didekat Artha. Hidupnya terasa sepi saat wajah Artha tidak lagi ia lihat dirumahnya.Soal pekerjaan? Dara menghandle semua pekerjaan Artha. Meskipun pak Jaksara telah melarangnya dan dia sendiri yang akan mengerjakannya. Tapi bukan Dara namanya jika tidak keras kepala. Dara juga tidak ingin menyusahkan Pak Jaksara yang sedang sakit. Alhasil dia yang bekerja dalam kondisi hamil.Pagi sampai sore dia berada di kantor. Dan malamnya, Dara pasti akan menghampiri Artha dirumah sakit dan terkadang ia menginap disana."Permisi, mau minta tanda tangan."Dara yang tidak sengaja tertidur dengan tangan sebagai bantalan diatas mejanya seketika terbangun saat mendengar seseorang memasuki ruangannya."Kalo kecapekan lebih baik istirahat dirumah, Dara," ucap Karla karena seseorang itu adalah dirinya.Dara menandatangani dokumen milik Karla seraya
Dara membuka matanya perlahan-lahan, ia sudah tersadar di ruang rawat dengan selang infus yang menancap di tangannya. Erick duduk setia menunggu Dara."Dara?" Erick sedikit panik lalu berlari memanggil seorang perawat.Seorang perawat datang untuk segera memeriksa kondisi Dara. Erick sedikit panik karena Dara hendak bergegas bangkit tapi untung saja ia langsung melarangnya."Ra, kamu mau kemana?" Tegur Erick."Aku harus menemani Artha. Dia kasihan sendirian," ucap Dara dengan tubuh yang masih terlihat lemas dan wajah yang pucat."Artha baik-baik aja, dia sudah dipindah keruang perawatan vvip oleh ayah kamu. Gak usah khawatir ya," tutur Erick.Dara menghela nafas lega memandang Erick dengan mata berkaca-kaca masih merasakan sedih. "Aku gak tau kalo dia sakit. Selama ini dia menyembunyikan itu semuanya dari aku."Erick mengangguk pelan merasa kasihan dengan Dara yang sangat mengkhawatirkan Artha. Mungkin perempuan itu sudah nyaman kepada Artha atau bahkan sudah memiliki perasaan kepadan