Pagi ini seperti biasa Dara melakukan aktifitasnya. Ia berangkat ke kantor bersama ayahnya meskipun dengan mobil berbeda. Saat sampai di perusahaan besar itu, mereka berdua disambut baik oleh para karyawan yang sedang berlalu lalang–sekedar menghormat kepada seorang Direktur.
Dara berjalan cukup santai di belakang ayahnya. Wajahnya terlihat cantik, rambutnya tergerai dengan rapih, bahkan ia berjalan melenggang bak seorang model. Tak heran mengapa semua orang kantor memandang Dara kagum karena memang Dara begitu menawan. Saat ayah dan anak itu memasuki lift, tak ada perbincangan sedikitpun, Dara hanya berdiri diam di belakang sang ayah. Hingga dimana sang ayah terlebih dahulu mengeluarkan suaranya. "Ayah akan menyiapkan pernikahan kamu minggu depan. Kamu harus siap-siap dari sekarang." Dara mengepalkan kedua tangannya mencoba menahan kesabarannya itu. "Jika kamu sampai minggu depan tidak menemukan lelaki yang akan menjadi suami kamu. Terpaksa ayah akan menikahkan kamu dengan Yugo," ancam Pak Jaksara tidak memberikan Dara waktu untuk membalas perkataannya. Lift terbuka, pak Jaksara segera keluar untuk keruangannya meninggalkan Dara yang masih terdiam mematung memikirkan semua itu. Hingga beberapa menit dia berdiam diri di dalam lift, kini dia akhirnya dengan berat hati keluar meskipun hatinya bergemuruh kesal. Brak! Sungguh hari ini Dara begitu sial. Mengapa disaat dirinya sedang menahan mati-matian rasa emosinya, tiba-tiba ada yang membuat emosinya semakin menjadi. Laki-laki itu... Dara tidak tahu mengapa dia menabrak Dara begitu keras dengan menumpahkan kopi di baju Dara pagi ini. "Maaf, saya tidak sengaja." Hanya itu perkataan yang terlontar dari mulut seorang laki-laki dengan pakaian kemeja putih serta bercelana hitam. Dia nampak seperti karyawan biasa. "Saya bisa kapanpun pecat kamu. Tapi saya sedang sibuk dan tidak bisa mengurus itu semua," ketus Dara mencoba meredam rasa emosinya. Laki-laki itu terlihat mengernyit bingung, namun semua itu dia hiraukan dengan mengambil sebuah sapu tangan dari dalam tasnya. Kemudian, laki-laki itu tanpa izin membantu membersihkan kotoran yang menempel dibaju Dara. "Maafin saya mba, saya beneran gak sengaja. Tadi saya buru-buru soalnya lagi mencari ruangan saya bekerja, terus saya masuk ke lantai ini. Ternyata ini lantai Direktur utama. Untung aja tadi OB bilang sama saya, dia juga kasih saya kopi yang gak sengaja terkena mba." Dengan kasar Dara menghempaskan tangan laki-laki itu sehingga sapu tangan ditangannya jatuh ke lantai. Laki-laki itu memandang Dara bingung. "Budayakan membaca dan bertanya. Bisa-bisanya kamu lolos interview perusahaan, padahal kamu tidak suka bertanya dan membaca letak ruangan yang ada di perusahaan ini." Dara terlihat begitu ketus menuturkan laki-laki itu. "Saya bukannya tidak bisa membaca mba, tapi saya gak bisa menggunakan lift, ini hari pertama saya bekerja diperusahaan besar." Dara mendesis. "Dasar kampung!" Dara yang tidak ingin berlama-lama menggubris laki-laki itu akhirnya segera pergi meninggalkannya untuk keruangannya. Laki-laki itu hanya terdiam bingung melihat Dara yang memasuki ruangannya. "Kenapa gayanya angkuh seperti itu? Apa dia Direktur utama disini? Kalo iya, gawat dong," gumam laki-laki itu merasa bersalah. "Ah, semoga aja bukan, lagian kata orang Direktur di perusahaan ini seorang pria." Laki-laki itu segera masuk kedalam lift menuju ruang bekerjanya yang di beritahu seorang Office Boy yang ia temui dilantai tadi. Senyumnya lebar, pasalnya ini hari pertama dia bekerja, alhasil dia harus tampil ceria didepan semua orang. "Maaf kak, apa disini ruang marketing?" Tanya nya kepada seorang perempuan yang hendak masuk kedalam ruangan itu. Perempuan itu melihatnya dari atas sampai bawah. "Kamu Devisi pemasaran baru ya?" Laki-laki itu mengangguk dengan senang karena akhirnya ada orang yang tahu tujuan dia bekerja. "Saya Arthala Narendra. Saya diutus untuk menggantikan seorang staf pemasaran yang sebelumnya berhenti bekerja." "Masuk jalur apa? Kok bisa gampang banget bekerja disini?" Artha seketika bingung, lalu tertawa pelan. "Jalur murni kak, saya ikut program lowongan pekerjaan, saya juga ikut tes secara murni kok." Perempuan itu sedikit mendesis karena Artha begitu banyak bicara. "Gue Karla, gue content writer disini. Kebetulan tugas lo ada hubungannya dengan tugas gue disini. Lo harus mengembangkan apa yang gue tulis untuk marketing." "Tau kok kak," jawab Artha dengan mengulaskan senyumnya. Karla mendesis lagi. "Panggil gue Karla, gue bukan mba lo." "Siap mba Kar.... Iya Karla." Buru-buru Artha mengoreksi perkataannya. Karla mencoba bersabar kali ini. Dia menyuruh Artha mengikutinya. "Gue kasih tau meja lo," ajak Karla dan Artha hanya membuntutinya dari belakang. "Ini meja lo, depan meja gue. Kalo gak ngerti Silahkan tanya, jangan diem bae, ketua perusahaan galak apalagi anaknya," tutur Karla dianggukan oleh Artha. Laki-laki itu segera meletakkan tasnya dan duduk dikursi putar itu dengan begitu senangnya. Pekerjaan yang ia impikan dari lama akhirnya terwujud juga, ia bisa bekerja diperusahaan besar. "Aneh banget sih," gumam Karla akhirnya menjatuhkan bokongnya ditempat duduknya sendiri. "Terimakasih ya Mba Karla udah bantu aku." Karla menggebrak mejanya. "Karla!" Artha tertawa seketika. "Iya Karla." ***** "Kalian tau gak sih? Gue denger-denger ya, katanya Bu Dara menolak di jodohkan sama Yugo anaknya Direktur batu bara, loh." "Emang iya?" "Iya, padahal Yugo tajir melintir. Tapi bisa-bisanya Bu Dara menolak." "Gue denger juga, Pak Jaksara sengaja menjodohkan Bu Dara karena dia ingin pensiun dari pekerjaannya. Dan mungkin perusahaan ini akan dikelola oleh Bu Dara dan suaminya kelak. Karena Yugo sudah berpengalaman jadi Pak Jaksara memilih Yugo, tapi Bu Dara menolak itu semua." Artha yang sedang mengambil minum di galon karyawan yang tersedia didalam ruangan itu seketika menjadi penasara dengan perempuan muda yang sedang mengobrol santai. "Pak Jaksara siapa?" Tanya Artha begitu saja. "Direktur utama." Artha mangut-mangut mengerti karena ini pertama kali dia mendengar nama direktur utama diperusahaannya. "Kalo Bu Dara?" Tanya Artha lagi. "CFO, ketua keuangan. Dia anak dari direktur utama. Hati-hati, Bu Dara galak," tutur perempuan muda itu. Artha hanya mangut-mangut mengerti tanpa ingin bertanya lebih dalam lagi. Lalu dia kembali ke mejanya seakan-akan pertanyaan tadi hanya rasa penasaran dia saja karena dua perempuan itu bicara dengan serius. Saat Artha kembali kemejanya dia melihat Karla sibuk dengan aktifitasnya seraya mengobrol dengan seseorang di ponselnya. Artha hanya duduk santai seraya melanjutkan pekerjaannya. "Gak bisa, Dara.... Gue beneran sibuk banget. Lebih baik lo turun, lo lihat sendiri prosedurnya, ya," ucap Karla kepada seseorang diseberang telfonnya. Artha melirik Karla karena perempuan itu menyebut nama Dara seperti yang dia dengar tadi dari perempuan muda. "Oke, gue bakal kasih lo prosedurnya. Tunggu, gak usah marah-marah!" Ucap Karla kepada seseorang diseberang telfon itu. Karla memutuskan sambungan telfonnya cepat, lalu dia melihat kearah Artha yang fokus dengan komputernya. Tak ingin sungkan, ia langsung memanggil Artha. "Artha?" Artha melihat kearahnya. "Iya?" "Tolong kasih prosedur pemasaran yang udah gue tulis ke Bu Dara dong. Gue lagi sibuk banget nih... dia cuma mau lihat aja, kok. Katanya keuangan bulan ini menurun jadi dia mau lihat teknik marketing kita." "Bu Dara?" Tanya Artha dengan raut wajah bingung. Karla mengangguk. "Ketua CFO. Ruangannya ada diatas, disamping ruang dirut. Tau kan?" Artha hanya diam, dia termakan ucapan orang-orang mengenai Bu Dara yang galak. Meskipun Artha laki-laki tapi dia begitu takut jika harus kena amuk dari atasan apalagi katanya Bu Dara adalah perempuan galak. Artha tidak mau hari pertama dia bekerja menjadi buruk karena satu kesalahan. "Artha?" Panggil Karla. "Yaudah, biar aku antar," pasrah Artha karena merasa tidak enak dengan Karla karena cuma dia yang mengerti Artha diruang tersebut. "Gak usah di jelasin, kasih ke Dara, habis itu lo langsung pergi," tutur Karla dianggukan oleh Artha. Karla memberikan sebuah dokumen kepada Artha lalu tak lama laki-laki itu bergegas keluar ruangan untuk menuju lantai paling atas dimana letak ruang direktur utama dan tugas tinggi lainnya. "Eh, mas lagi... kan saya sudah bilang ini ruangan dirut mas," ucap seorang Office boy saat berpapasan dengan Artha didepan lift. "Saya mau kasih dokumen ke Bu Dara kok, pak." "Oh, Bu Dara... ruangannya ada disamping ruang dirut ya mas, tau kan?" Tanya Office boy itu dianggukan oleh Artha. "Makasih ya pak," ucap Artha langsung bergegas keruangan itu. Didepan pintu Artha menghela nafas kasar, dia sedikit takut bertemu Dara karena perkataan orang-orang. Tapi Artha juga harus tau sendiri sikap Dara yang sesungguhnya bukan dari gibahan orang-orang. "Permisi Bu–" Mata Artha membulat saat tak sengaja melihat Dara akan terjatuh dari sofa setelah membenarkan lukisan besar di dinding. Dengan cekatan Artha menjatuhkan dokumen yang ia pegang lalu menarik tangan Dara sehingga perempuan itu jatuh tepat di dekapannya. "Awss.." Artha merasakan punggungnya yang terasa sakit karena harus terbentur lantai cukup keras. Sedangkan Dara berada diatas tubuhnya memandang wajah Artha begitu dekat. "Apa-apain ini?" Dara dan Artha reflek menoleh kearah Pak Jaksara yang datang secara tiba-tiba melihat mereka berdua yang sedang berpelukan di atas lantai. Dara dengan cepat beranjak bangkit dengan menekan tubuh Artha. Artha mendesis pelan lalu mencoba bangkit meskipun seluruh tubuhnya terasa sakit. Dara melihat kearah Ayahnya dengan gugup bahkan dibelakang ayahnya terdapat Yugo yang melihat kearahnya. "Ayah?" Dara merasa begitu gugup karena perlakuannya tadi. Artha tanpa rasa bersalah memungut dokumen milik Karla dihadapan Pak Jaksara yang menatapnya diam. "Siapa dia?" Tanya Pak Jaksara kepada Dara. Artha terdiam sejenak lalu dengan beraninya dia bersuara mewakili Dara. "Saya staf marketing, saya kesini ingin memberikan prosedur marketing dari Karla." Pak Jaksara menghela nafasnya pelan merasa tertegun atas keberanian Artha berhadapan dengannya. "Letakkan prosedur itu. Jika tidak ada urusan lain, Silahkan lanjutkan pekerjaan kamu." Artha hanya menurut. Dia meletakkan dokumen itu diatas meja, sedangkan Karla hanya menghela nafasnya pelan-pelan seraya melirik Yugo yang membawa sebuket bunga besar di tangannya. Ayahnya membawanya datang pasti ada sangkut pautnya dengan pernikahan dan Dara begitu kesal. "Mohon maaf, saya permisi..." "Dia laki-laki pilihan Dara. Dia yang akan menikahi Dara." Perkataan Dara berhasil membuat Artha memberhentikan langkahnya, bahkan ia berhenti tepat dihadapan Yugo yang menatapnya. "Dara–" Pak Jaksara ingin mengelak perkataan Dara tapi Dara dengan cepat menyela perkataannya. "Staf Marketing itu adalah calon suami Dara." Artha benar-benar bungkam seraya menatap lurus kearah Yugo.Dara berjalan tertatih menuju ruang ICU, ia berharap Artha berada disana. Saat dirinya hendak masuk kedalam, tiba-tiba seorang dokter keluar bersama beberapa perawat mendorong brankar sorong yang terdapat seseorang tertutupi kain putih."Stop!" Teriak Dara memberhentikan perawat itu yang membawa seorang tertutup kain putih tersebut.Dara melangkah mendekat meskipun rasanya terasa berat. Nafasnya memburu cepat, air matanya sudah berdesakan keluar, serta perasaan berkecamuk terus ia rasakan.Saat Dara berdiri tepat disamping pasien yang tertutup kain putih itu, ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya perlahan membuka kain tersebut. Tak ada larangan dari dokter, mungkin Dara juga ingin melihatnya."Artha–" Mata Dara melotot saat orang yang ia lihat ternyata bukan Artha melainkan pasien lain dengan wajah penuh luka."Maaf Bu, apakah pasien ini keluarga ibu? Dia mengalami kecelakaan tunggal dan tidak ada pihak keluarga yang bisa kami hubungi," Tanya Dokter tersebut kepada Dara.Dara kembal
Dara saat ini mencoba bersabar dan memperluas dirinya untuk berdoa kepada sang kuasa. Cuma itu yang bisa Dara lakukan untuk menolong Artha karena dia sudah tidak tahu harus berbuat apalagi.Setiap kali Dara bersujud pasti wajah Artha yang selalu terbayang dipikirkannya, ia cuma ingin laki-laki itu sembuh dan menjadi imam yang sesungguhnya untuk Dara.Setelah melakukan kegiatan rutinnya sholat lima waktu dan berdoa untuk kesembuhan Artha. Sore ini Dara turun dari kamarnya dengan hati-hati karena ia merasa lapar. Lagi pula tak mungkin Dara merepotkan ibunya terus menerus untuk mengantarkan makanan ke kamar Dara."Bunda?" Panggil Dara."Ayah?" Panggilnya gantian karena Dara merasa rumahnya sangat sepi padahal mereka berjanji untuk menemani Dara dirumah sampai Dara melahirkan.Drrtt...drttt...Suara ponsel rumah Dara berdering, Dara yang ingin melangkahkan kakinya ke dapur menjadi mengurungkan niatnya dan memilih mengangkat telfon tersebut."Halo?""Dara ini ibu."Tubuh Dara seketika mene
"Seafood pedas manis favorit Dara sudah siap."Dara melihat makanan itu terjejer rapih diatas meja makan. Sungguh, saat ia tau makanan itu menyakiti Artha, Dara menjadi sangat membencinya. Buktinya, saat ini Dara lebih memilih mengambil tempe goreng dan sayur soup saja.Pak Jaksara dan Bu Jessy saling lirik merasa heran dengan anaknya itu."Dara gak suka masakan Bunda ya?" Tegur Bu Jessy.Dara menoleh kearah Bu Jessy. "Mulai sekarang bunda gak usah mengingat makanan favorit Dara ya. Seafood bukan makanan favorit Dara lagi. Dara membencinya karena makanan itu sudah menyakiti Artha."Bu Jessy mengangguk pasrah, sepertinya ia sangat mengerti dengan perasaan Dara sekarang. "Yaudah, makanan ini bunda berikan ke bibi aja ya.""Bibi?" Panggil Bu Jessy dan seorang Art datang menghampirinya."Ada seafood untuk bibi, nanti dibawa pulang aja ya Bi," ujar Bu Jessy dianggukan oleh Art itu dengan senang."Terimakasih ya Bu, pak, non," ucap Art itu kepada mereka.Setelah itu, Bu Jessy duduk disana i
Tiga bulan kemudian...Kini kandungan Dara sudah memasuki bulan kelahiran. Tapi dia sama sekali tidak ada semangat sedikitpun untuk menyambut kehadiran sang bayi.Hari-hari Dara rasanya telah berubah setelah Artha dinyatakan kritis pada tiga bulan lalu. Laki-laki itu meskipun masih bisa tertolong, tapi tidak kunjung sadar dari komanya. Dan Dokter malah menambah pengawasan di ruang ICU karena Artha bisa sewaktu-waktu kritis kembali, bahkan dokter berkata jika tidak ada penanganan lagi yang bisa dilakukan jika Artha tidak kunjung sadar.Dara tidak bisa menjaga Artha seperti biasanya pasalnya dokter hanya mengizinkan untuk menjenguknya untuk beberapa menit saja dan itu hanya dilakukan satu orang bergantian.Seperti saat ini, Dara hanya terduduk didepan ruang ICU menunggu gilirannya dengan Bu Hanna seraya memegangi sebuah sarung tangan bayi yang dibelikan Bu Hanna untuk cucunya itu. Dara hanya terdiam, bahkan untuk bersedih saja dia sudah merasa begitu lelah.Tak lama pintu ruangan itu te
Hari berganti hari, Dara masih setia menjaga suaminya yang sudah dua minggu ini tidak sadar dari koma. Meskipun sedang hamil, Dara ingin dirinya selalu ada didekat Artha. Hidupnya terasa sepi saat wajah Artha tidak lagi ia lihat dirumahnya.Soal pekerjaan? Dara menghandle semua pekerjaan Artha. Meskipun pak Jaksara telah melarangnya dan dia sendiri yang akan mengerjakannya. Tapi bukan Dara namanya jika tidak keras kepala. Dara juga tidak ingin menyusahkan Pak Jaksara yang sedang sakit. Alhasil dia yang bekerja dalam kondisi hamil.Pagi sampai sore dia berada di kantor. Dan malamnya, Dara pasti akan menghampiri Artha dirumah sakit dan terkadang ia menginap disana."Permisi, mau minta tanda tangan."Dara yang tidak sengaja tertidur dengan tangan sebagai bantalan diatas mejanya seketika terbangun saat mendengar seseorang memasuki ruangannya."Kalo kecapekan lebih baik istirahat dirumah, Dara," ucap Karla karena seseorang itu adalah dirinya.Dara menandatangani dokumen milik Karla seraya
Dara membuka matanya perlahan-lahan, ia sudah tersadar di ruang rawat dengan selang infus yang menancap di tangannya. Erick duduk setia menunggu Dara."Dara?" Erick sedikit panik lalu berlari memanggil seorang perawat.Seorang perawat datang untuk segera memeriksa kondisi Dara. Erick sedikit panik karena Dara hendak bergegas bangkit tapi untung saja ia langsung melarangnya."Ra, kamu mau kemana?" Tegur Erick."Aku harus menemani Artha. Dia kasihan sendirian," ucap Dara dengan tubuh yang masih terlihat lemas dan wajah yang pucat."Artha baik-baik aja, dia sudah dipindah keruang perawatan vvip oleh ayah kamu. Gak usah khawatir ya," tutur Erick.Dara menghela nafas lega memandang Erick dengan mata berkaca-kaca masih merasakan sedih. "Aku gak tau kalo dia sakit. Selama ini dia menyembunyikan itu semuanya dari aku."Erick mengangguk pelan merasa kasihan dengan Dara yang sangat mengkhawatirkan Artha. Mungkin perempuan itu sudah nyaman kepada Artha atau bahkan sudah memiliki perasaan kepadan