Minggu pagi, venue intimate wedding itu nampak terlihat ramai tamu undangan. Bau tanah dan rumput terasa segar seusai gerimis pagi sehingga membasahi altar putih disana. Tapi untung saja gerimis itu sudah berhenti saat pernikahan sakral akan segera di laksanakan.
Suara keprokan ria dapat seorang laki-laki itu dengar saat ia sedang duduk menunduk dikursi akad. Wajahnya perlahan mendongak melihat kearah gadis cantik yang menggunakan dres kebaya putih berjalan di altar seraya membawa buket bunga ditangannya. Benar-benar seperti mimpi. Artha sama sekali tidak berfikir jika dia akan menikah secepat ini disaat kebahagiaannya tentang pekerjaan baru tercapai. Apalagi dia menikah dengan Dara yang statusnya lebih tinggi daripada dirinya. Saat Dara sudah berdiri dihadapan Artha laki-laki itu tidak bisa berkutik saat melihat senyum manis yang Dara lontarkan. Artha akui perempuan itu begitu cantik, tak mungkin jika Artha mendapatkan perempuan bak dewi seperti Dara. "Tolong dibantu pengantin perempuannya," suruh penghulu itu membuat lamunan Artha buyar. Artha dengan gesit menarik kursi akad tersebut dan mempersilahkan Dara untuk duduk disana. Setelah itu semua orang bersiap-siap melihat kearah mereka karena ijab kabul akan segera dimulai. "Bagaimana sudah siap?" Tanya penghulu itu kepada Artha. Artha melirik Dara sejenak lalu Dara meresponnya dengan anggukan kecil, lalu dengan sigap Artha menjawab. "Siap." Tangan pak Jaksara diletakkan diatas meja tepatnya dihadapan Artha. Dengan ragu Artha menjabatnya. Jantungnya berdegup dengan kencang, bahkan semua mata tertuju kearahnya. "Bismillahirohmanirohim... Saudara Arthala Narendra Bin Fakih Adi, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya yang bernama Dara Viora dengan mas kawin berupa logam mulia, dibayar tunai!" Tangan Pak Jaksara menekan begitu saja menandakan Artha harus segera menjawab perkataannya. "Saya terima nikah dan kawinnya Dara Viora Binti Jaksara Bima dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Seru Artha begitu lancar. Sang penghulu berucap. "Gimana para saksi?" "Sah!" Banyak orang yang menyaut. Artha melepaskan genggaman tangan Pak Jaksara dan mereka berdoa bersama. Disela-sela doanya masih ada perasaan tidak percaya yang permanen dihati Artha. Statusnya kian berubah bahkan rasa tanggung jawabnya telah berubah dalam sekejap. Meskipun itu adalah pernikahan main-main, tapi Artha merasakan jika pernikahan ini adalah pernikahan sungguhan. Mungkin dirinya bisa berbohong dihadapan penghulu dan semua orang, tapi Artha tidak bisa berbohong kepada yang maha kuasa atas janjinya yang dia ucapkan tadi. "Artha, makasih ya," ucap Dara seraya meraih tangan Artha untuk menciumnya dengan lembut. Matanya berkedip menahan air mata yang terkumpul menjadi satu di pelupuk. Dengan ragu dia mencium puncak kepala Dara dihadapan semua orang. ***** Selesai acara akad nikah itu, tidak ada pesta, meskipun ada itu hanya resepsi kecil dan semua itu telah selesai, pasalnya tamu undangan tidak banyak. Dara juga tidak mau berlama-lama merayakan hari pernikahannya yang sama sekali tidak ia harapkan. Sekarang pengantin baru itu berada didalam kamar mereka. Lebih tepatnya berada di rumah besar keluarga Jaksara. Terlihat Dara sibuk melepaskan pernak-pernik pernikahannya dan juga membersihkan make-upnya, sedangkan Artha dia sedang mengganti pakaiannya didalam kamar mandi. Saat keluar, ia langsung ingin bergegas pergi. "Mau kemana?" Tegur Dara tiba-tiba. "Saya harus pulang, Bu. Ibu saya sendiri dirumah, dia sedang sakit." Dara memutar tubuhnya melihat kearah Artha. "Kamu boleh pulang, tapi besok pagi." "Bu, tapi–" "Ingat perjanjian kita, Artha." Artha menghela nafasnya, ia menjatuhkan bokong di pinggiran kasur seraya mengacak rambutnya frustasi. "Gak harus sekarang, kan, Bu? Ini baru awal pernikahan. Dan tolong kasih kesempatan saya untuk menerima semuanya. Mungkin Bu Dara saat ini merasa tenang karena sudah berhasil menikah dengan saya, tapi saya belum sepenuhnya menerima bu. Saya takut dosa." Dara melihat wajah sukar Artha yang bingung atas semua yang terjadi. "Saya sudah berjanji dihadapan Tuhan untuk mengikat Bu Dara menjadi istri saya. Tapi tentang perjanjian itu? Sungguh saya harus menanggung semuanya." "Kenapa kamu harus takut?" Tanya Dara terlihat bodoh bertanya seperti itu. "Karena pernikahan ini sudah membuat saya menjadi seorang Suami, Bu. Saya sudah menjadi kepala keluarga dan saya memiliki tanggung jawab terhadap Bu Dara. Mungkin dosa saya akan tercatat besar jika saya mengingkari janji saya kepada Tuhan." Dara beranjak bangkit menghampiri Artha. "Saya sudah bilang, tidak perlu berperan aktif menjadi suami saya. Saya hanya membeli sperma kamu, Artha." "Saya akan amat berdosa jika suatu saat nanti saya menelantarkan Bu Dara dan anak kandung saya sendiri," jawab Artha membuat Dara terdiam menatapnya. "Mohon pengertiannya Bu, berikan saya waktu untuk menerima ini semua." Artha beranjak bangkit dari duduknya. "Saya pulang dulu, Bu. Ibu saya pasti sudah menunggu..." Dara hanya bisa melihat Artha yang pergi meninggalkan kamarnya begitu saja. Laki-laki itu benar-benar takut akan dosa. Bahkan Dara bisa melihat dari raut wajah Artha, jika lelaki itu sangat begitu bingung dengan semuanya. "Dia bersungguh-sungguh mengucapkan janjinya dihadapan Tuhan." ***** Saat ini Artha berjongkok dihadapan Bu Hanna, ibu kandungnya. Dia memegangi tangan Bu Hanna seraya menciumnya beberapa kali seraya berkaca-kaca. "Jadi kamu sudah menikah?" Artha menganggukan kepalanya. "Iya Bu, Artha minta maaf gak kasih tau ibu. Artha cuma gak mau ibu kepikiran tentang pernikahan mendadak ini." "Menikah dengan siapa? Siapa perempuan itu?" Tanya Bu Hanna dengan wajah datarnya. "Dia anak dari direktur utama di tempat Artha bekerja, Bu." "Kamu belum lama bekerja, Artha... kenapa bisa kamu menikahi seorang yang terpandang seperti dia?" Heran Bu Hanna. Artha tidak bisa menjelaskan kepada ibunya maksud dan tujuan dia menikah dengan Dara. Artha takut jika ibunya akan syok jika tujuannya karena ingin membantu Dara untuk mendapatkan seorang anak. "Artha, jawab ibu." Bu Hanna merasa aneh dengan anaknya. "Artha sudah mengenal Dara sangat lama, Bu. Dan Dara mencintai Artha, jadi Artha menikahi dia." Perkataan Artha sungguh sangat berbohong. Dia hanya tidak ingin Bu Hanna kecewa dengannya. Mata Artha berkedip beberapa kali menahan tangisnya, bahkan Bu Hanna menatapnya tanpa berkedip seolah-olah sedang membaca apa yang anaknya rasakan, perkataan itu bohong atau jujur. "Semua perlengkapan pernikahan keluarga Dara yang atur karena mereka tahu jika Artha tidak punya apapun untuk menikah." Bu Hanna melepaskan tangan Artha begitu saja lalu mengangkat kakinya untuk naik keatas kasur. "Ibu mau istirahat, tolong tinggalkan ibu sendiri." Artha hanya diam ditempat, dia tahu jika ibunya seperti tidak percaya dengan perkataannya. Dia tahu jika ibunya terkejut atas kabar pernikahan Artha yang mendadak. "Lebih baik kamu kembali kerumah istrimu, bukankah ini malam pertama pernikahan kalian. Jadi buat apa kamu pulang?" Artha menitikkan air matanya melihat punggung ibunya yang tidur membelakanginya seraya berkata seperti itu. Jika Artha bisa, mungkin Artha akan berkata sesungguhnya dan meminta tolong ibunya tentang ini semua. Tapi Artha tidak bisa, dia takut membuat ibunya sakit hati. "Tinggalkan ibu sendiri. Pulang jika ibu menyuruhmu..."Keesokan harinya di kantor, semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sesuai dengan bagiannya. Begitupun Artha, dia sangat fokus didepan laptopnya mengerjakan semua pekerjaannya saat ini."Artha?" Panggil Karla membuat kefokusan Artha buyar seketika."Ada apa mba Karla?" Artha hanya mampu menghela nafasnya mencoba bersabar karena pasti Karla akan merepotkannya."Boleh minta tolong anterin berkas-berkas ini ke mba Andin di ruang sebelah?" Tanya Karla.Artha menganggukan kepalanya menurut. Karla memberikan setumpuk berkas kepada Artha dengan senyuman."Makasih ya, Artha!" Seru Karla saat Artha sudah bergegas keluar.Brakk!Baru saja Artha keluar dari ruangan tiba-tiba ia tidak sengaja tertabrak oleh seorang laki-laki hingga berkas-berkasnya berceceran dibawah. Laki-laki bertubuh tinggi, kulit putih serta bermata sipit. Ia terlihat membawa sebuket bunga ditangannya yang hampir saja terjatuh."Sorry, saya tidak sengaja," ucap laki-laki itu seraya membantu Artha memungut berkas-b
Saat jam kantor berakhir, Artha bergegas untuk pulang. Di lobby dia tidak sengaja berpapasan dengan Dara yang berjalan untuk sama-sama pulang. Artha hanya berjalan tanpa ingin menoleh kearahnya, mungkin Dara pun sama.Di parkiran Artha bergegas mengendarai motornya terlebih dahulu dari mobil Dara. Sebelum sampai rumah keluarga Jaksara, Artha memilih mampir ke warung pecel lele yang ada di pinggir jalan, berniat untuk makan. Artha juga sadar diri jika dia hanya orang asing yang numpang tidur saja, jadi dia tidak ingin merepotkan keluarga Jaksara.Dara menepikan mobilnya saat melihat Artha turun dari motornya di warung tersebut. Perempuan itu segera menghampiri Artha."Artha?"Artha mengerutkan keningnya tercengang. "Bu Dara? Ngapain ikut kesini?""Kamu ngapain disini?" Tanya Dara penasaran."Saya–saya mau makan," jawab Artha gugup.Dara menghela nafasnya pelan. "Kenapa kamu gak mau makan di rumah saya?""Makan disini lebih enak. Coba deh, Bu... saya pesenin ya?" Tawar Artha dan Dara ha
Malam harinya, Dara duduk didepan cermin besar sibuk membersihkan sisa-sisa makeup diwajahnya. Sedangkan Artha? Laki-laki itu duduk di tepian ranjang seraya menghirup beberapa kali inhaler sebelum tidur.Dara beberapa kali melirik Artha dari balik cerminnya. Kemudian, terlihat Artha mengambil satu bantal dari atas ranjang dan dia letakkan diatas karpet bulu tepatnya dibawah kasur."Artha?" Dara menoleh kearahnya."Ada apa Bu?""Kenapa kamu tidur di bawah?" Tegur Dara."Terus saya tidur dimana Bu? Di sofa lagi? Oke..." Artha bergegas bangkit membawa bantalnya tapi buru-buru Dara mencegahnya."Kamu gak perlu tidur di sofa, kamu bisa tidur satu ranjang bersama saya."Artha terdiam beberapa saat, dia melirik kearah ranjang seolah-olah membayangkan jika dia tidur berdampingan dengan Dara. "Gak perlu, Bu. Saya lebih baik tidur dibawah. Soalnya saya kalo tidur ngorok, suka nendang, jadi takut Bu Dara terganggu karena saya."Dara tau jika Artha sedang menolak ajakan Dara dengan berpura-pura
"Ekhemm..."Artha membuka matanya berat, raut wajahnya terlihat sangat acak-acakan, bahkan dirinya beberapa kali masih menguap ngantuk. Tapi pandangannya membuat Artha langsung beranjak bangkit karena Pak Jaksara duduk didekatnya seraya membaca koran.Semalam Artha memang kembali lagi kerumah Dara setelah diusir oleh ibunya. Namun, Ia tidak ingin mengganggu Dara yang beristirahat, alhasil Artha tidur di ruang tamu, meskipun sang pembantu menyuruhnya untuk masuk kedalam kamar Dara."Pagi Pak," sapa Artha kepada Pak Jaksara.Pak Jaksara melirik arlojinya, waktu sudah begitu siang, tapi Artha mengira jika itu masih pagi."Ini sudah jam sembilan," ucap Pak Jaksara membuat Artha sedikit terkejut."Saya kesiangan, saya telat masuk kerja," panik Artha."Tidak perlu ke kantor. Dara sudah berangkat kerja dari pagi. Ada pertemuan penting dengan rekan bisnis, jadi dia gak bisa mengambil cuti hari ini. Kamu lebih baik mandi terus jemput Dara nanti siang. Dia mengambil setengah hari kerja. Saya ha
Minggu pagi, venue intimate wedding itu nampak terlihat ramai tamu undangan. Bau tanah dan rumput terasa segar seusai gerimis pagi sehingga membasahi altar putih disana. Tapi untung saja gerimis itu sudah berhenti saat pernikahan sakral akan segera di laksanakan.Suara keprokan ria dapat seorang laki-laki itu dengar saat ia sedang duduk menunduk dikursi akad. Wajahnya perlahan mendongak melihat kearah gadis cantik yang menggunakan dres kebaya putih berjalan di altar seraya membawa buket bunga ditangannya.Benar-benar seperti mimpi. Artha sama sekali tidak berfikir jika dia akan menikah secepat ini disaat kebahagiaannya tentang pekerjaan baru tercapai. Apalagi dia menikah dengan Dara yang statusnya lebih tinggi daripada dirinya.Saat Dara sudah berdiri dihadapan Artha laki-laki itu tidak bisa berkutik saat melihat senyum manis yang Dara lontarkan. Artha akui perempuan itu begitu cantik, tak mungkin jika Artha mendapatkan perempuan bak dewi seperti Dara."Tolong dibantu pengantin peremp
Hari sial tidak ada di kalender dunia, begitupun hari keberuntungan. Entah mengapa di hari pertama Artha bekerja dia merasa sial, namun juga merasa beruntung. Seorang Dara Viora memilih lelaki biasa seperti Artha untuk menjadi calon pendampingnya. Sungguh itu pernyataan yang terdengar mustahil, tapi sangat nyata Artha rasakan."Staf marketing itu adalah calon suami Dara." Perkataan itu masih berputar dikepala Artha, bahkan dirinya sedaritadi tidak fokus bekerja. Artha mengacak rambutnya begitu frustasi. "Kenapa lo? Berat ya kerja di hari pertama?" Tegur Karla seraya merapihkan mejanya."Berat banget, mau cepet-cepet resign," jawab Artha seenaknya padahal jika boleh jujur dia sangat senang karena bekerja di perusahaan besar. Namun, perkataan Dara membuat semangatnya terputus begitu saja."Pasti habis dimarahin Dara ya? Kan, gue bilang kasih dokumennya, habis itu lo pergi. Pasti lo godain dia kan? Jangan sangka, walaupun Dara cantik, dia itu galak."Artha menghela nafasnya panjang, Ka