Share

Bab 6

Penulis: Fatimah humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-06 08:50:25

Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya.

"Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku.

"Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."

Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.

("Halo, halo ....")

Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di genggam erat Kak Inggit, bukannya mengangkat kembali telponnya, kakak iparku itu malah menatap wajahku dengan tatapan benci penuh amarah.

Masa bodoh lah tak kuperdulikan lagi matanya yang terlihat melotot seperti hendak loncat dari kelopaknya. Aku senyum sinis sambil berlalu menghampiri Ibu di dapur.

"Bu, Dina berangkat dulu ya. Maaf tak sempat sarapan biar Dina bawa saja ke kampus, Bu. Nanti dimakan di sana saja sudah telat soalnya," kuraih Tupperware lalu mengisinya dengan apa yang sudah tersedia dimeja makan, untukku masakan Ibu adalah makanan paling bergizi dan paling nikmat walau hanya sekedar nasi goreng saja.

"Apa cukup bekalmu segitu, Nduk? bagaimana kalau nanti kamu masih lapar, ayok tambahin bekalmu biar gak kelaparan saat belajar nanti,"

Ibu menyodorkan kembali nasi goreng dalam wadah yang terlihat masih mengepulkan uap panas, baunya tercium sangat nikmat ingin sebenarnya langsung menyendokan makanan itu kedalam mulut, kalau tak ingat jam kuliahku sudah sangat mepet.

"Sudah cukup segini saja, Bu. Maaf Dina tak bisa menemani Ibu sarapan ya, Bu. Dina berangkat dulu, assalamualaikum."

Tanpa menunggu jawaban Ibu, kuraih tangannya lalu kusalami takzim. Bergegas aku keluar rumah dan menaiki kuda besi kesayanganku dengan secepat kilat ku lajukan kendaraanku membelah jalanan kota, yang msudah terlihat padat oleh hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang.

******

("Dina apa yang sudah kamu katakan tadi pada kakak iparmu, kenapa sampai dia menangis saat abang meneruskan menelponnya?")

Pesan dari Bang Gagas begitu kubuka ponsel setelah mata kuliah pertama selesai, ada juga beberapa panggilan tak terjawab darinya. 'Pasti nenek sihir itu sudah mengadukan hal yang tidak-tidak pada kakakku,' batinku kesal.

Langsung kuhubungi Bang Gagas untuk bertanya sekaligus menjelaskan keadaan yang sebenarnya, aku tak ingin ada kesalahpahaman dalam pikiran kakak laki-laki ku satu-satunya itu.

("Din, tolong kamu hormati Inggit! Walau bagaimanapun dia adalah istriku, kakak iparmu. Jangan selalu membuatnya lelah dengan semua tingkah manja dan juga sifat arogan mu, abang menguliahkan mu agar kamu menjadi wanita yang bisa mandiri, berakhlak dengan karir yang cemerlang suatu hari nanti. Bukan malah bisanya poya-poya dan menghamburkan uang saja, sesekali bantulah Ibu di rumah, istriku pun butuh istirahat sewaktu-waktu, karena dia ku nikahi untuk ku bahagiakan bukan menjadikannya babu gratisan di rumah kita!") Cerocos Bang Gagas panjang lebar, terdengar begitu emosi ketika sambungan telpon dariku baru saja dia angkat.

("Tapi, Bang—")

Baru saja aku mau menjelaskan tentang hal yang sebenarnya terjadi, Bang Gagas langsung mematikan sepihak sambungan telponnya.

Kucoba lagi berulangkali menghubunginya, namun hanya jawaban operator yang kudengar. Sial memang nenek sihir itu sudah menyebarkan aura negatifnya terhadap Bang Gagas. Ini tak bisa dibiarkan, jika tidak kutegur mungkin masalahnya akan semakin berlarut-larut.

Begitu perkuliahan selesai, aku bergegas menuju parkiran untuk kemudian langsung pulang ke rumah, tak sabar rasanya mulut ini ingin mengomel di depan nenek sihir mata duitan itu. Mantra apa sebenarnya yang dia tebar hingga Abangku bertekuk lutut seperti itu, baru kali ini seumur hidupku mendengar Bang Gagas menegurku sekasar itu.

Setelah memarkirkan motor di garasi, aku langsung masuk lewat pintu belakang, suasananya begitu hening di rumah ini seperti tak berpenghuni saja. 'Kemana ibu, apakah beliau sedang tidur?' pikirku sambil bergerak menuju kamar dan menyimpan barang-barang ku di sana.

"Haduh lelah sekali ya, Pak, Bu. Tapi walaupun lelah tetap hati ini senang karena akhirnya kita bisa membeli perhiasan yang waktu itu kita idamkan,"

Kudengar suara nenek lampir berbicara dengan orang tuanya, suara sepatu terdengar mendekat kearah ruang tamu. Sedikit kujulurkan kepalaku untuk melihat apa yang sudah mereka lakukan, nampak olehku saat ini si nenek lampir alias kak Inggit kakak iparku tengah merebahkan badannya diatas sofa ruang tamu, kedua kakinya di naikkan ke atas meja seperti orang yang tak pernah di didik sopan santun oleh kedua orang tuanya.

"Bu ... Ibu ...! Cepat bawa kemari belanjaannya kami sudah tak sabar ingin memakai perhiasan yang kami beli barusan." Teriak kak Inggit melengking sambil mendelik kearah orang yang jalan terseok-seok, dengan beberapa paperbag memenuhi genggaman tangannya. "Ibu ini kenapa sih lelet banget seperti orang kurang makan saja!"

Tanganku terkepal kuat saat aku mendengar hardikan yang dilontarkan Kak Inggit pada wanita yang sudah melahirkan ku, seolah-olah Ibuku adalah babu dirumahnya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 103

    "Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 102

    "Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 101

    Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 100

    "Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 99

    Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 98

    Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status