Vee tidak berbohong kepada ibunya perihal obat aspirin yang selama dua hari ini terus mampir melewati tenggorokannya. Pusing teramat pening merenggut ketenangan kepalanya.
Bukan tanpa alasan, apa lagi sih jika bukan perkara cinta?
Semenjak Rose memutuskan untuk berpisah, sejak itu pula rumah Dera menjadi penampung tubuh malangnya. Lihat saja, wajah itu pucat, tidak ada napsu hidup sama sekali. Sampai sang mama uring-uringan melihat tingkah pria dewasa yang harusnya tak berlagak seperti remaja baru putus cinta.
"Kamu itu lho, mau sampai kapan terus begini. Dari dulu kok nggak becus ngurus diri. Goblok temen nduwe anak lanang gor siji."
Bla. Bla. Bla.
Kepala Vee seperti dihantam dengungan lonceng paling nyaring di dunia. Nyatanya bersama Dera tak membuat Vee bertambah lega. Setiap hari kerjaan ibunya itu mengomel saja. Selalu menyalahkan dia.
"Ma. Aku nggak paham mama ngomong apa. Pakai bahasa indo yang benar, jangan bahasa jawa, sumpah aku ng
"Dia sangat menyukai basket. Sama seperti Leon dan Lily. Terimakasih anda tidak lupa mendoakannya."Rose tersenyum mendengar kalimat itu. Decakan tawa pria di sampingnya menyambut hening yang sedari tadi datang bersama angin yang sedikit kencang.Di atas rumput Rose berdiri setelah mengirim bunga di pemakaman yang dulunya ia kira milik Leon putranya. Ia ingin mengubah nama di atas batu muaram, tapi sang ayah dari Alenso tak mengijinkan, katanya biar saja, yang terpenting adalah doa yang terkirim dengan rutin dan tidak lupa.Rose tak ingat berapa kali jemari lentiknya mengusap pipi yang berkali-kali basah akibat air mata. Rose juga tak ingat rasanya perih yang menggores lutut akibat menubruk tanah oleh sebab ia berlutut dihadapan Robert sebagai tanda permintaan maaf."Aku mengatakan pada Leon untuk tidak mengingat kejadian itu. Salah jika anda mengira saya menyesal karena kehilangan putra saya."Rose menyimak bersama desiran angin yang
Rose tidak ingat kapan ia pernah mengatakan alamat rumahnya yang berada si Australia kepada Vee, pun Rose tidak akan pernah lupa jika pria yang tepat berada diambang pintu rumahnya bisa melakukan apa saja. "Kak, aku tutup dulu teleponya. Percayalah aku baik-baik saja." Rose menggeser pelan ponsel yang semula berada di daun telinga untuk ditaruh dalam kantung celana. Candra memang menghubunginya. Mengatakan jika anak-anak terpantau oleh Dera, jadi kakaknya itu menyuruh Rose tetap diam dulu sampai keadaan cukup reda. Kali ini terlihat cukup sulit kata Candra, media masa cukup brutal, apalagi dengan tema perselingkuhan. "Masuklah." ucap Rose akhirnya saat Vee masih saja berdiam diri. Rose bukannya tidak ada pendirian setelah menolak Vee, tapi sekarang justru membiarkan pria itu masuk kedalam rumahnya. Hanya saja Rose tak begitu tega saat angin dingin diluar merembes kedalam hanya dengan pintu yang terbuka tak begitu lebar. Apa jadinya Vee yan
Senandung lirih dari bibir berwarna cherry itu terlihat biasa-biasa saja, bahkan kakinya terlalu sibuk untuk menata adonan di atas meja. Jangan lupakan juga tepung yang berserakan beserta alat-alat yang sudah tak berwujud rupa.Rose bisa juga dikatakan gila, atau mungkin tidak, tapi satu fakta setelah dirinya hampir dilecehkan tak bisa membuatnya lantas bisa bersikap layaknya orang bahagia. Tapi lihat, wanita itu masih bisa menyempatkan diri membuat kue manis dengan tiga penonton yang sedari tadi duduk mengamati dirinya."Shane. Sahabatmu itu kenapa sih tidak bisa jujur?""Itu juga sahabatmu, La. aku juga tidak mengerti. Tapi seharusnya kita juga paham jika keras kepalanya itu melebihi tempurung besi."Rose dengan jelas mendengar percakapan Lala dan Shane yang sama sekali tak jauh dari jangkauannya. Pun Rose juga sangat tahu jika kedua sahabatnya itu sedang menyindir dirinya."Rose. Kau mau begini terus? Keadaanmu sedang tidak baik-baik saja. Apa s
Rose menekan bibir pada cangkir berisikan cokelat panas. Menyesap sedikit demi sedikit, perutnya nyeri, sumpah demi Tuhan, tamu bulanan itu tidak bisa diajak kompromi. Jika biasanya Rose tidak kesakitan, tapi jika rasa lelah di campur kehilangan banyak darah serta pikiran yang tidak terarah, apalagi yang akan terjadi, semua akan lari memukul perut, mual, sudah pasti. Tapi, biarpun begitu, setelah Leon dan Lily pergi ke sekolah, tubuh lemah lunglai itu memaksa mengendarai mobil menuju perumahan Dealova—rumah yang ditempatinya dulu, bersama Jeffry, serta memohon pada pria itu untuk tidak masuk kerja. "Kamu mau membentuk aliansi pengangguran masa kini? Tidak memperbolehkan aku kerja?" Jeffry yang baru saja selesai berganti pakaian dari berjas rapi sampai hanya memakai kaos dan celana pendek itu pun bertanya. Rose mengangguk, menanggapi sarkasme pria itu. Jujur, Jeffry tidak keberatan. Justru ia ingin melakukan sedikit candaan. Tapi gagal total sebab Rose
"Saya tidak suka kebisingan atau keributan. Silahkan tulis semua yang ingin anda tanyakan. Nanti saya Jawab satu-persatu." Vee mengatakan itu dengan raut begitu datar.Sepasang lima meja kursi bersejejer dengan microphone yang sudah terpasang dengan rapi. Vee duduk paling tengah, disebelah kanannya ada Jeffry dan Fernandez, lalu disebelah kirinya ada James dan Yogi. Dihadapannya beberapa wartawan yang sudah terseleksi bisa memasuki perusahaan Vee.Berita keluar yang begitu heboh tak bisa mencegah Vee untuk langsung ambil tindakan, membuat pengumuman untuk membuat klarifikasi, secara dadakan. Persetan dengan Rose yang sebelum-sebelumnya melarang. Ini sudah termasuk kegawat daruratan, keterlaluan yang bisa merugikan banyak pihak."Vee, kau yakin?""Seratus persen bang." Vee menjawab pertanyaan Yogi yang tepat berada di sisi kirinya."Baik, semua sudah aku siapkan." ucapnya. "Jam, untuk skandal barusan, itu bagianmu." Giliran Yogi berbicara kepada Jam
Bel berbunyi, tepat pukul sepuluh pagi. Selama hidup, Leon tidak pernah merasa bahagia luar biasa setelah mendengar lonceng tanda istirahat seperti yang baru saja terjadi. Sebab, kurang lebih dari 30 menit yang lalu, ia mati-matian, menyelinap, mencuri-curi untuk menyembunyikan tangan yang dengan terang memegang ponsel di bawah meja, menyaksikan dan mendengarkan lewat earphones saat ayahnya berhadapan dengan sepuluh wartawan untuk menuntaskan kontroversi sialan.Belum terlambat. Secara otomatis, Leon menyusun rencana. Huh. Jika saja Mis Kendal adalah guru yang menyebalkan, Leon sudah pasti kabur dari kelas, tapi sayang, wanita berkacamata dan berpoles lipstik merah muda itu adalah idaman para pelajar, jadi Leon mengurungkan niat berbuat keributan."Dek. Mau ikut rencana kakak?" Lily yang membereskan buku di bangku paling depan lantas menoleh karena ucapan Leon menggugah selera.Rencana?Apakah Lily akan menjadi keren seperti kakaknya ini. Gadis itu sangat
Shane menarik tangan Lala yang hendak menerobos kamar Rose. Pasalnya wanita yang sudah pingsan sejak satu jam yang lalu sama sekali tidak memberikan pergerakkan sedikitpun. "Jangan masuk dulu, dia sedang menenangkan diri. Aku yakin kau bakal di diami." "Tapi dia baik-baik saja 'kan?" Shane memijat pangkal hidungnya. Pusing. "Tidak bisa dikatakan baik. Satu-satunya orang yang dibutuhkan hanya Vee." "Kau bercanda." Lala tersungut-sungut. "Vee hanya akan menambah Rose semakin tertekan." Rose memang sering mengatakan jika ingin berpisah, bahkan sudah terealisasiakan. Tapi sebagai Shane yang tahu sejarah keduanya, beranggapan jika Vee disini, Rose pasti akan lebih tenang. Benar saja, secara mendadak sosok Vee menerobos masuk. "Dimana kamar Rose?" "Disana." Jawab Shane tanpa sedikitpun ragu. Lagi, Shane menarik tangan Lala yang akan berlari mengejar Vee, berniat menggagalkan rencana pria itu untuk masuk ke kamar Rose.
Lily merasa pemandangan di depannya adalah hal yang sangat wajar, namun, dalam konteks tontonan anak-anak, jelas saja gadis itu harus menghindar. Tapi mau bagaimana jika yang beradegan seperti itu adalah orang tuanya sendiri, Lily tak harus berpaling. Terlebih. Lily sangat jelas melihat saat ibunya mendorong ayahnya untuk menjauh dengan spontan. Kasian. Lain kali Lily akan permisi, tidak main nyelonong seperti ini. “Ups. Sorry. Tapi Lily tetap akan masuk lho." ucapnya terlewat santai. "Lily sudah bilang, makanya cepat menikah." imbuhnya. Anaknya ini memang sudah kebal dengan kelakuan orang tuanya, atau mungkin terlalu terbiasa, atau juga memang itu yang diharapkannya. Hanya Lily yang tahu. “Mom, dad. Adek minta maaf. Untuk hal yang terjadi hari ini. Tapi jangan hukum Lily." Pintu menyibak lagi sebelum Rose berhasil menanggapi Lily. “Leon yang memaksa mom, dad. Maafkan Leon juga.”