Share

Bab 2

Penulis: Saus Ekstra Pedas
Tak lama kemudian, tubuhku mulai sedikit gemetar, dan aku merasakan sensasi hangat menjalar di antara kedua kakiku.

Aku membenamkan kepala di lutut, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menatap Dimas.

Kalau ada yang tahu kondisiku, aku pasti akan dicap jalang.

Aku tak akan punya muka lagi untuk bekerja di perusahaan ini.

Rekan kerjaku yang lain, Gilang, sudah mendengkur di dalam tenda.

Aku mengepalkan tangan, kuku-kuku menancap dalam ke telapak.

Rasa sakit membuatku sedikit lebih tenang.

Aku menjelaskan kepada Dimas, "Kak Dimas, aku bukannya mau menjauh darimu… Aku cuma sedang tidak enak badan."

Aku tidak menyangka Dimas tanpa banyak bicara langsung mendekat, mengulurkan tangan besarnya dan meletakkannya di dahiku.

Telapak tangannya yang hangat berhenti di sana beberapa saat.

Pandanganku dipenuhi oleh dadanya yang begitu dekat.

Aku bisa melihat jelas tulang selangkanya di balik kemeja, dan lekuk otot-otot dadanya.

Detik berikutnya, seluruh tubuhku menegang, dan aku mencapai klimaks pertamaku di tengah rasa malu yang teramat sangat.

Aku berusaha menahan suara lirih yang hampir keluar dari tenggorokanku.

Sisa-sisa rasa klimaks membuatku gemetar semakin hebat.

Tangan Dimas jelas merasakan gemetarku.

"Kenapa wajahmu merah sekali? Kamu tidak demam kok. Aneh sekali," kata Dimas dengan heran, lalu kembali menyentuh dahiku dan pipiku.

Aku gemetar semakin hebat.

Aku memalingkan wajah, berusaha menghindari tangannya.

Tetapi di belakangku ada kain tenda, aku tak punya tempat untuk menghindar.

Aku menggertakkan gigi, tak berani membuka mulut.

Takut kalau aku buka mulut sedikit saja, suara desahanku akan keluar.

Aku tahu, aku tidak bisa terus berada di ruang sempit ini lagi.

Hidungku dipenuhi aroma Dimas.

Dia tidak merokok, jadi aromanya mudah dikenali. Aroma sabun yang ringan dan menyenangkan, dan aroma hormonnya yang unik.

Setiap pori-pori di tubuhku terbuka, klimaks itu membuatku sangat sensitif.

Aku segera mendorong Dimas menjauh, membuatnya terdorong mundur dan duduk kembali.

Aku terhuyung-huyung keluar dari tenda, sama sekali tidak menyadari bahwa aku mengenakan rok mini dan celana dalamku yang basah kuyup terekspos padanya.

Dia segera menundukkan kepala, menghindari melihat bagian bawahku.

Namun dia bukan anak muda yang polos. Dengan ekspresi penuh pertimbangan, ia pun ikut menyusul keluar.

Aku benar-benar kehilangan kendali atas tubuhku.

Api di perutku berkobar hebat, aku belum pernah merasakan hasrat sekuat ini sebelumnya.

Kepalaku dipenuhi bayangan tulang selangka Dimas di balik kemeja putihnya.

Jakun di lehernya, lengannya yang berwarna kecokelatan, dan juga hangatnya telapak tangannya tadi.

Aku sama sekali tak mampu berjalan jauh. Baru beberapa langkah, lututku sudah lemas hingga aku berlutut di tanah.

Reaksi tubuh yang begitu kuat membuatku hampir tak merasakan sakit di lutut.

Dimas segera menyusul, mencoba menolongku berdiri.

"Rina, sebenarnya kamu kenapa?"

Aku tahu, siapa pun yang sakit dan jatuh seperti ini, dia pasti akan membantu tanpa ragu.

Meski biasanya diam dan jarang bicara di kantor, dia selalu dikenal sebagai sosok yang bisa diandalkan.

Tetapi sekarang, semakin banyak kontak fisik yang dia lakukan, semakin kuat reaksi tubuhku.

Bagian bawahku terus berkontraksi dan begitu sensitif, membuatku hampir tak mampu berdiri.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kau Adalah Obatku   Bab 8

    Tenagaku tidak sebesar dia, aku tak bisa melepaskan diri.Sambil melepaskan sabuknya, dia menekanku di wastafel, "Bukankah kau menggoda Dimas semalam?""Biarkan aku yang memuaskanmu hari ini."Aku ingin berteriak keras, tapi dia menutup mulutku sehingga aku tidak bisa bersuara."Simpan tenagamu. Semua orang di perusahaan sudah pergi sekarang, bahkan satpam pun tak ada di sini. Berteriak tak ada gunanya.""Mending biarkan aku bersenang-senang."Aku meronta, air mata mengalir di wajahku.Gilang merobek bra-ku dan mencubit putingku. Aku seperti merasakan sengatan listrik, tubuhku bereaksi hebat.Gilang menekan bokongku, dan aku memejamkan mata putus asa.Tepat saat Gilang hendak berhasil, Dimas masuk dan menendang pinggang Gilang.Gilang pun terjatuh keluar tanpa celana."Dimas!" Aku menangis, berlari ke pelukan Dimas.Dimas memelukku dengan protektif. Aku melihat tangannya terkepal, urat-uratnya menonjol."Rina, tidak apa-apa, aku di sini." Kalau bukan Dimas sedang memelukku, dia pasti

  • Kau Adalah Obatku   Bab 7

    Aku sangat ingin lepas dari tangannya Dimas.Tapi aku juga ingin terus merasakan sentuhannya.Dengan merasa malu, aku mengatupkan gigi dan berkata, "Kak, aku baik-baik saja, hanya kurang tidur semalam. Aku akan baik-baik saja setelah tidur sebentar." Kakak keuangan itu berhenti membujukku dan berkata kepada Dimas, "Dimas, bersikaplah sopan dan jagain Rina."Dimas menatapku sebentar, wajahnya tetap tenang, sementara gerakan jarinya terus berlanjut."Baik, Kak," jawab Dimas santai kepada kakak keuangan itu.Tiba-tiba, tekanan di tangannya meningkat.Aku terkejut. Dimas merasakan kontraksiku dan mengoreknya lebih dalam.Detik berikutnya, aku menggertakkan gigi dan mencapai klimaks di tangannya.Aku jelas melihat senyum licik di wajah Dimas.Tapi tak lama kemudian, ia kembali ke ekspresi seriusnya.Tangannya terus berlanjut.Aku mulai memohon padanya, "Nggak mau, nggak mau lagi."Namun, ia meraih tanganku dan menekannya ke selangkangannya.Aku mengerti maksudnya.Dalam sensasi klimaksku,

  • Kau Adalah Obatku   Bab 6

    Semuanya berlangsung dengan alami.Setelah itu, aku bersandar lemah pada Dimas, bagian bawahku basah kuyup.Aku merasa jauh lebih ringan, hasrat membara itu telah diredam oleh Dimas.Aku selalu mengandalkan obat untuk mengendalikannya.Aku tak pernah membayangkan bahwa melakukan ini akan memiliki efek yang sebanding dengan minum obat.Aku turun dari tubuh Dimas, menundukkan kepala, malu sampai tak berani menatapnya."Rina..." panggil Dimas lembut."Maukah kamu menjadi pacarku?"Pertanyaan Dimas yang tiba-tiba itu mengejutkanku.Aku tidak berniat membuatnya bertanggung jawab.Bahkan aku ingin berterima kasih padanya, karena telah membantuku saat penyakitku timbul."Aku...aku..." Aku merasa sedikit malu.Dimas memegang tanganku. "Apa kamu tidak berencana untuk bertanggung jawab?"Aku menyadari, setiap kali Dimas berbicara padaku dengan suara serak rendah, aku langsung terangsang hingga tak bisa berpikir jernih.Sensasi di bawahku mulai muncul lagi.Aku benar-benar malu. "Aku tidak tahu..

  • Kau Adalah Obatku   Bab 5

    "Kupikir, kamu..." Dimas tidak menyelesaikan kalimatnya.Tapi aku tahu apa yang ingin dia katakan. Dia pasti mengira aku wanita genit yang sengaja menggodanya.Dimas adalah seorang pria dewasa yang beberapa tahun lebih tua dariku.Dia belum pernah gagal untuk mendapati wanita sebelumnya.Malam ini, dia salah menilai."Maaf, meskipun aku tidak obsesif keperawanan, kamu harus memikirkannya baik-baik." Dimas menghentikan semua gerakannya.Hasratku tidak berkurang karena dia berhenti.Sebaliknya, hasratku seolah membalas dendam, semakin kuat.Aku tahu Dimas juga terangsang.Dia sudah terangsang sepanjang malam dan pasti sudah mencapai batasnya.Tapi dia tetap berhenti, dan aku melihatnya menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Tubuhku tanpa sadar terus-menerus menggodanya.Aku tak yakin apakah itu hanya reaksi fisik atau aku benar-benar jatuh cinta padanya.Sikap Dimas yang terkendali bagaikan racun.Aku rela mati di bawahnya.Aku tak kuasa menahan diri lagi, dan menangis tersedu

  • Kau Adalah Obatku   Bab 4

    Ujung jari kasar menekan titik sensitifku."Mmm..." Gairah itu hampir tak terkendali.Aku membenamkan kepalaku di dada Dimas, mengeluarkan desahan lembut seperti anak kucing.Dimas menarik jari-jarinya, mengamati benang-benang keperakan yang telah ia bawa di hadapanku.Jari-jarinya membuka dan menutup. Benang-benang keperakan yang berkilauan di jari-jarinya, mengkhianatiku.Gelombang kekesalan muncul dalam diriku, kenikmatan bercampur rasa kesal karena dihentikan."Benar-benar tidak mau? Hmm?" Suara Dimas terngiang di telingaku, intonasi yang meninggi semakin merangsangku.Jari-jarinya perlahan mengusap pahaku. Rasa dingin dari jari yang basah itu membuat tubuhku semakin lemas.Nada bicaranya sudah bukan lagi tentang memperhatikan kondisiku.Rayuannya dingin dan blak-blakan.Aku menggertakkan gigi, tak mau mengakui bahwa aku menginginkannya.Tangan Dimas bergerak ke bawah lagi. Ia perlahan menelusuri bagian sensitif melalui celana dalamku.Jantungku berdebar kencang, bagian bawahku s

  • Kau Adalah Obatku   Bab 3

    Aku tidak boleh menimbulkan suara terlalu besar. Kalau sampai membangunkan rekan kerja di tenda lain, aku tidak akan bisa menjelaskan apa pun.Aku menggertakkan gigi, lalu meraih pinggang Dimas untuk menopang diri dan berdiri.Itu adalah pertama kalinya aku begitu dekat dengan tubuh seorang pria.Aku sudah tidak bisa peduli dengan payudaraku yang besar, menyentuh dari pinggangnya hingga perutnya.Aku menempel padanya untuk menopang tubuhku sendiri, otakku nyaris kosong.Dimas menopangku, membantu berjalan hingga ke bangku batu di tepi pemandian air panas.Setelah duduk, aku berusaha keras mendorongnya menjauh.Namun reaksi tubuh yang terus datang membuatku sama sekali tak punya tenaga lagi.Tiba-tiba, aku mendengar desahan samar dari sebuah tenda tak jauh di belakangku.Aku memegangi dahiku, dan dalam hati berpikir, 'Gawat.'Baru saja aku sedikit tenang, tapi justru pada saat seperti ini…Kakak bagian keuangan dan suaminya mulai ‘olahraga’.Dimas menatapku sekilas, lalu menarikku berse

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status